....

Minggu, 01 Agustus 2004

Sosok Galileo dalam Lipatan Surat

resensi ini dimuat Kompas Minggu, 01 Agustus 2004


Judul buku: Sang Putri Galileo: Kisah Sejati tentang Pergulatan Agama, Sains, dan Cinta
Penulis: Dava Sobel
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Februari 2004
Tebal buku: 403 halaman

BUKU Sang Putri Galileo: Kisah Sejati tentang Pergulatan Agama, Sains, dan Cinta ini jelas bukan satu-satunya buku yang berbicara tentang Galileo. Sudah cukup banyak buku tentang Galileo yang ditulis, entah itu dalam bentuk biografi (misal, Galileo at Work: His Scientific Biography, Memorials of Galileo Galilei 1564-1642, dan A Life Galileo), lakon, (Lebens das Galileo karya Bertolt Brecht) maupun kajian lain. Semua itu lahir dari dorongan, kepentingan, dan sudut pandang yang berlainan.

Kendati demikian, kalau mau dibandingkan dengan buku-buku lain dalam bentuk biografi, buku karya Dava Sobel ini setidaknya patut diperhatikan karena tiga alasan. Pertama, buku ini merupakan suatu upaya realistis dalam menampilkan sosok Galileo. Lewat 124 surat Maria Celeste (putri Galileo yang memilih takdir sebagai biarawati) yang pernah dikirim kepada Galileo, Sobel coba menghadirkan sisi lain kehidupan Galileo di balik mitos dan kontroversi yang kerap melingkupinya, dengan sudut pandang kesaksian putri Galileo.

Kedua, di tengah hujatan dan cercaan gereja saat itu atas kiprah spektakuler dan menakjubkan yang diperankan Galileo di dunia sains, buku ini tidak lebih dari suatu pembelaan atas pengadilan Galileo. Ketiga, gaya tutur Sobel yang enak, bahkan mengalir dengan bertolak dari 124 surat sang putri, kemudian dirangkai dalam bentuk narative science history membuat buku ini memikat untuk dibaca.

***

SEJARAH tidak akan pernah bisa melepaskan nama Galileo dari dunia sains. Ia merupakan meteor yang pernah menjulang tinggi di dunia sains melalui serangkaian penemuan astronomi yang cukup mengejutkan. Ia tidak saja mengamati benda-benda langit, tetapi dengan dibantu alat teropong telah melihat bintik-bintik gelap yang bergerak terus-menerus di hadapan matahari sehingga ia sepenuhnya yakin akan kebenaran teori Copernicus, bahwa matahari adalah pusat semesta. Upaya yang telah dilakukan itu menjadi bukti awal perintisan pranata sains modern di kemudian hari.

Sayangnya, gereja yang seharusnya bangga dengan prestasi yang telah diukir Galileo dalam dunia sains itu, ternyata tak menyemati "hadiah" apa-apa, malahan membalasnya dengan menuduhnya sebagai pemikir kafir. Semua itu terkait dengan keberanian si genius itu yang lantang menyuarakan pandangan: matahari sebagai pusat semesta dan bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Hal itu dikemukakannya lewat buku yang terbit pada 1932, Dialogue Concerning the Two Shief World Systems. Dalam buku itu, ia melalui mulut Salviati mengusung kosmologi Kopernikan untuk membantai kosmologi Aristotelian dengan memaparkan sejumlah bukti yang ditandaskan dari teori pasang surut.

Meskipun buku itu mengundang decak kagum dari sejumlah fisikawan dan ia dianggap sebagai ilmuwan cerdas, tetapi saat itu di mata Dinas Suci Inkuisisi Gereja Katolik justru dianggap melenceng. Dengan tuduhan kafir, otoritas tertinggi kemudian merasa terganggu dan berkewajiban memanggilnya. Sejarah mencatat, Rabu, 22 Juni 1632, vonis terhadap Galileo dijatuhkan dan dia dikenai hukuman rumah karena dianggap telah mengganggu keimanan umat.

Lebih tragis ia dicap pemberontak dan dianggap melecehkan kitab suci dengan membuat tafsir sendiri. Tetapi, sejarah mencatat bahwa sekalipun Galileo dihinakan dan sampai maut menjemput, ia masih dalam kondisi tahanan rumah, toh pembelaan atas tokoh setengah mitos itu tak kunjung padam.

Salah satu pembelaan itu juga datang dari penulis buku ini. Itu lantaran, sosok Galileo sebagaimana dihadirkan dalam surat-surat suster Maria Celeste tidak dekat dengan apa yang dituduhkan gereja. Di mata sang putri, Galileo adalah sosok yang tidak mengenal "pemisahan" antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam kesaksian putrinya, Celeste, Galileo adalah seorang Katolik yang taat, percaya kekuatan doa serta menyesuaikan tugasnya sebagai seorang ilmuwan dengan takdir jiwanya (hal 32-33). Meski pada saat itu putrinya dihadapkan pada posisi pelik, ia tetap menerima "pencarian" Galileo karena ia tahu betapa dalam keimanan sang ayah.

Apalagi Celeste tahu bahwa tanggapan masyarakat luas atas pendirian sang ayah memang benar, sebab para mahasiswanya tetap mengagumi ayahnya, dan di mana pun di Eropa, mereka menentang perlakuan tidak adil terhadap hukuman itu. Di antara para pendukung itu adalah Rene Descartes (di Belanda), Pierre Gassendi (ahli astronomi), Marin Mersenne dan Pierre de Fermat (dua orang ahli matematika di Perancis).

Dari sudut keintiman hubungan ayah dan sang putri inilah yang tidak banyak diketahui publik. Dengan 124 surat yang dihimpun, Sobel (penulis yang mantan wartawan ini) berhasil dengan gemilang menyibak sosok Maria Celeste, yang tidak rahasia lagi, lahir dari hubungan tak sah antara Galileo dengan wanita cantik, Marina Gamba. Selain lahir Celeste (dibaptis Virginia), dari hubungan itu pula lahir dua anak lagi, yaitu Livia (Arcaangela) dan Vincenzio. Dari ketiganya hanya Maria Celeste yang mewarisi kecerdasan dan ketabahan sang ayah.

Sobel melukiskan pula perjuangan sang putri mendampingi "bapak fisika modern" itu meski hanya dari balik biara dengan rutin mengirimi surat, obat, dan memberi dukungan sampai pada puncaknya, saat Galileo menghadapi pertentangan dengan Dinas Suci Inkuisisi pada 1633. Sayang, sang putri lebih dulu meninggal dunia pada 2 April 1634.

***

BUKU yang aslinya berjudul Galileo’s Daughter: A Drama of Science, Faith, and Love ini terbagi dalam enam bagian. Bagian pertama, Ke Fiorentina, bercerita tentang latar belakang, masa kecil, dan perjuangan Galileo-lahir di Pisa, 15 Februari 1564-dalam menapaki lembaran hidup hingga ia menjadi pengajar di Universitas Pisa dan Padua meski sebenarnya ia tak meraih gelar sarjana. Galileo memang berotak cerdas dan tak menyerah melihat langit untuk disibak, sehingga ia yakin kebenaran teori Copernicus, sebagaimana ia tuangkan dalam buku The Starry Messenger dan The Theory of the Tides yang selain sempat mengantarnya ditegur gereja, juga membawa ia disemati sebagai matematikawan dan fisikawan besar.

Bagian kedua, Di Bellosguardo, mengisahkan sikap bungkamnya sejak ditegur lalu pindah ke vila Bellosguardo. Tapi di vila itu Galileo justru menulis buku dahsyat, Dialogue Concerning the Two Shief World Systems yang membuat ia dipanggil Dinas Suci Inkuisisi untuk diadili.

Bagian ketiga, Di Roma, mengisahkan derita sang rajawali itu yang pontang-panting karena tuntutan pengadilan. Sementara di bagian keempat, Di Kedutaan Tuscan, Villa Medici, Roma, menuturkan bagaimana selama dua bulan ia membuang waktu menunggu putusan yang berakhir tragis.

Berkat kebaikan Uskup Agung Siena, bagian kelima, Di Siena, buku ini, Galileo diberi tempat terhormat di vilanya. Juga atas permintaan uskup agung itu, di bagian keenam, Ke Arcetri, ia diizinkan pulang ke Arcetri meski "masih berstatus tahanan rumah". Beberapa saat kemudian maut menjemputnya, 8 Januari 1642.

Sobel dapat dikata cukup serius menulis buku ini. Wujud keseriusan itu bisa dilihat dari usahanya untuk melakukan penelitian seputar pencarian data tentang semua hal yang berkaitan kehidupan Galileo. Demi buku ini, penulis longitude ini tak saja mendatangi berbagai tempat penting, melainkan juga bertemu dengan puluhan tokoh yang cukup layak untuk dimintai keterangan seputar sejarah, peninggalan, dan dokumentasi tentang Galileo. Tak pelak, dari upaya itu tergelar "drama menakjubkan" tentang ilmu, iman, dan cinta. Selain itu, tentunya, tak bisa dimungkiri telah menghasilkan sebuah karya memukau yang enak, bernas, dan mengalir untuk dibaca.

Nur Mursidi Cerpenis, Alumnus Pesantren An-Nur Lasem, Jateng, dan Alumnus Filsafat UIN Yogyakarta

Tidak ada komentar: