....

Senin, 27 Agustus 2007

Menepis Mitos, Mengajak Berpikir Realistis

(Resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Jumat 7 Februari 2003)


INDONESIA dalam tahun-tahun belakangan ini adalah sebuah negeri yang gelisah. Kegelisahan itu tak lain sebagai akibat dari semrawutnya tatanan kehidupan (pemerintahan) di negeri ini yang memang tak kunjung dapat terselesaikan. Krisis ekonomi masih belum pulih bahkan menjalar menjadi krisis multidimensi yang semakin akut. Sementara di sisi lain, disintegrasi telah mengancam kesatuan bangsa. Belum cukup dua masalah itu teratasi, justru diperparah lagi soal anarki hukum. Hukum yang seharusnya dijunjung tinggi telah dicabik-cabik. Supremasi hukum bukan lagi memperjuangkan kebenaran, melainkan lebih memihak pada kekuasaan (penguasa).

Sejarah Indonesia memang sudah seharusnya berubah. Tak salah jika reformasi kemudian lahir di tengah kepongahan negeri dan Soeharto harus tumbang. Namun, lahirnya reformasi yang dalam sketsa awalnya menginginkan perubahan dalam segala hal ternyata tak mampu menjadi obat mujarab dalam mengobati luka dan penyakit yang diderita bangsa ini. Reformasi pun kemudian menjadi semacam perjalanan sejarah yang tanpa arah. Karena ia tak berhasil mengubah semuanya, ia justru melahirkan orde-orde berikutnya yang tak jauh berbeda dengan cara dan gaya Orde Baru.

Buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas ini adalah sebuah refleksi kritis dan analisis yang cukup tajam dari Kuntowijoyo—seorang dosen, sastrawan, budayawan, kolumnis dan aktivis gerakan—atas kegelisahan negeri ini akibat kebopengan dan kepongahan tersebut. Dengan berpijak pada sejarah, pengalaman dan kesadaran (baca: akal dan nurani), Kunto membongkar berbagai kebobrokan di berbagai segi kehidupan negeri ini atas perkembangan mutahir yang bukan saja bersangkutan dalam masalah politik, melainkan pula dalam ranah yang lebih luas, yakni budaya bangsa.

Dalam Kubangan Mitos
Dari kecermatan analisisnya, Kunto menyadari bahwa sebagai bangsa, ternyata Indonesia masih berada dalam kubangan mitos. Tak hanya soal cara berpikir, di mana adanya kepercayaan pada mitos masih menggelayut di benak sebagian rakyat, seperti ketika ketiban "sial" harus perlu dihadapi dengan acara semisal ruwatan. Soal konkret pun, seperti perilaku politik misalnya, ternyata tak terbantahkan adanya mitos tentang tokoh agung. Makanya, ketika krisis melanda negeri ini, yang dibutuhkan adalah tokoh sakti sebagai pemimpin bangsa. Karena diharapkan—nantinya—bisa terhindar dari malapetaka yang menimpa bangsa ini.

Padahal, dengan mengangkat tokoh-tokoh karisma itu, ternyata tak membuktikan Indonesia lebih baik, melainkan mitos sang mesias itu dalam sejarah berikutnya dijungkalkan dengan lahirnya mitos Fir`aun. Tatkala Soekarno berkuasa, rakyat pun mengagungkannya sebagai sang Ratu Adil (digelari Pemimpin Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat dan Seniman Agung) yang bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Begitu pun dengan Soeharto (Bapak Pembangunan), dianggap mampu membawa negeri ini hengkang dari keterbelakangan menuju pembangunan. Tetapi ketika "pulung" itu telah pudar, yang terjadi adalah kecaman yang tak ubahnya seperti pada Fir`aun.

Tak cuma dua tokoh itu, naiknya Abdurrahman Wahid pun oleh Kunto juga dinilai tak lepas dari mitos. Dia yang dimitoskan sebagai wali oleh para pengikutnya, setelah ditengarai dari dua celah kerentanan Habibie dan Megawati, akhirnya menjadi sang mitos nomor satu di negeri ini. Tak sampai masa baktinya usai, ia pun dijatuhkan. Begitu pun soal kemenangan PDIP, tak bisa dilepas dari mitos pula. Tak bisa dingkari oleh para pemilihnya bahwa PDIP diyakini membawa pulung kerajaan murca (menghilang sementara) yang dimiliki oleh keluarga Soekarno. Selain itu juga karena mitos tumbal (korban 27 Juli). Tak beda dengan PDIP yang dihinggapi mitos, partai-partai lain juga lahir sebagai reinkarnasi dari partai-partai terdahulu.

Upaya Demitologisasi
Pendeknya, Kunto dengan serentetan bukti membeberkan sejumlah mitos yang tak cuma ditepisnya, tetapi ingin ditiadakan (demitologisasi). Karena baginya, masalah yang menimpa negeri ini harus dihadapi dengan realistis dan tidak dengan cara berpikir berdasarkan mitos. Dan untuk melakukan demitologisasi itu, Kunto lewat buku ini mengajukan empat upaya sebagai kekuatan pendukungnya.

Pertama, dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan (Barat). Karena dengan cara itu, orang tidak lagi berpikir berdasarkan mitos, seperti terjadinya gerhana bulan tidak akan mungkin dijelaskan dengan mitos raksasa yang coba memakan matahari.

Kedua, lahirnya gerakan puritanisme dalam agama. Sebab, gerakan puritanisme jelas-jelas menolak mitos. Lahirnya Muhammadiyah, misalnya, sejak mula telah melakukan agenda utama pemberantasan taklid, bid`ah dan khurafat, di mana semua itu dianggapnya sebagai mitos.
Selain itu, yang ketiga adalah dengan analisis sejarah. Dengan cara itu, manusia akan berpikir kritis kepada mitos dan gejala mitologisasi. Analisis sejarah yang rasional dan faktual terhadap mitos akan menjadikan sejarawan tak lagi menjadi partisipan, tetapi mampu melihat dari suatu jarak. Keempat adalah melalui seni. Jika dalam mitologisasi telah terjadi abstraksi dari yang konkret, maka menurut Kunto, seni adalah sebaliknya, konkretisasi dari yang abstrak. Karena lewat seni, semua nilai-nilai dikonkretisasikan (hal. 96-97).

Dengan keempat upaya demitologisasi itu, manusia akan menjadi sadar akan realitas dan kekonkretan masalah sesungguhnya. Jika orang masih berpikir berdasarakan mitos, menurut Kunto, tidaklah akan bisa menghadapi kenyataan. Seperti halnya keruwetan yang dihadapi bangsa ini, haruslah dihadapi dengan cara berpikir realistis tidak dengan cara berpikir berdasarakan mitos. Sebab yang dihadapi bangsa ini adalah konkret (keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum) dan hal itu—tak bisa tidak—harus dihadapi dengan cara berpikir secara realistis.

*) n. mursidi adalah pecinta buku, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: