....

Minggu, 23 Desember 2007

Otobiografi dan Percikan Pemikiran Obama

resensi ini dimuat di harian SURYA, Minggu 23 Des 2007)

Judul buku : Menerjang Harapan, Dari Jakarta Menuju Gedung Putih, Penulis : Barack Obama, (Penerbit : Ufuk Press, Jakarta Cetakan : Pertama, 2007), Tebal buku : 526 halaman

SETELAH menduduki jabatan sebagai senator di tingkat federal mewakili Negara Bagian Illinois dan berkantor di Capitol Hill, Washington DC (tahun 2005), nama Barack Obama mulai diperhitungkan di kancah politik Amerika Serikat. Ia boleh dibilang sukses meniti karir dengan gemilang, tercatat sebagai senator kulit hitam kelima dalam sejarah AS, kritis terhadap pemerintahan Bush, dikenal peduli dengan masalah kesejahteraan sosial rakyat miskin dan pendidikan anak. Tak salah, jika nama Obama semakin bersinar terang dan dikenal luas oleh rakyat Amerika bahkan dunia internasional.

Tapi, sinar terang itu tampaknya belum membuat Obama puas. Dia pun kemudian menggebrak gelanggang perpolitikan Amerika Serikat untuk jabatan politik lebih tinggi dengan "mengumumkan diri" sebagai calon presiden dari partai Demokrat di dalam pemilihan presiden AS pada 2008. Meski dari hasil jajak pendapat, tingkat popularitas Obama masih berada di bawah senator Hillary Clinton (calon terkuat dari partai Demokrat) sekitar 8-10 persen, tapi ia tetap berani menerjang harapan.


Buku Menerjang Harapan; Dari Jakarta menuju Gedung Putih ini, selain mengisahkan tentang riwayat hidup Barack Obama sejak kecil (yang sempat tinggal di Indonesia), perjuangannya menangani hak-hak sipil, perjalanan politik jadi senator, pandangan Obama tentang masalah politik, agama, sosial hingga dunia internsional dan alasan kenapa ia terjun ke dunia politik bahkan mencalonkan diri sebagai calon presiden. Tak pelak lagi, jika buku ini bukan sekadar outobiografi, melainkan juga sebuah atribut kampanye dari Obama.

Lahir di Hawai, 4 Agustus 1961 dari pasangan Barack Husein Obama Senior (seorang penganut Muslim dari Kenya) dengan Ann Dunham (wanita kulit putih dari Kansas) Obama tumbuh dalam kabut dua warna kulit, juga gunjang-ganjing rumah tangga yang tidak benderang. Kedua orangtua Obama bercerai saat ia berusia 2 tahun. Ibu Obama lantas menikah dengan orang Indonesia, Lolo Soetoro. Konsekuensi itu membuat Obama yang saat itu berusia 6 tahun (pada 1967) hijrah ke Indonesia.

Tak pelak Obama pun sempat mengenyam pendidikan di Jakarta, di SD Franssiscus Assisi dan SDN Menteng dengan riuh duka dan kenangan yang sampai kini masih tak terlupakan. "Tak punya uang masuk sekolah international, saya masuk sekolah lokal dan bermain dengan anak-anak petani, pelayan, penjahit dan juru tulis," kenang Obama (hal. 37). Sewaktu ekonomi ayah tirinya membaik, selepas dari angkatan bersenjata lalu bekerja di perusahaan minyak Amerika, dia baru menikmati jok empuk sedan. Tetapi hal itu tak berlangsung lama karena tahun 1971, ibunya mengirim Obama ke Hawai untuk tinggal bersama kakek-neneknya. Setahun kemudian, ibu dan adik tirinya menyusul (hal 39).

Di sana, Obama menghabiskan masa remaja hingga lulus pendidikan SLTA. Selepas SLTA, dia kuliah di Columbia University, New York City dan sempat bekerja di bursa saham, di Wall Street. Tahun 1985 ia bergabung di community organizer (di Chicago). Dia bertemu dengan Michelle tahun 1988 ketika keduanya bekerja di Sidley & Austin kemudian menikah, dan kini, sudah dikaruniai dua putri, Malia dan Sasha. Setelah Obama berhasil menamatkan pasca sarjana di Harvard Law School (1991), dia terjun ke dunia politik.

Awalnya ia terpilih sebagai senator di Negara Bagian Illinois. Setelah berkantor selama delapan tahun di Chicago, tahun 2005 ia terpilih sebagai senator tingkat federal mewakili Negara Bagian Illinois, di Capitol Hill, Washington DC. Kini, tahun 2007, dia menerjang harapan mencalonkan diri sebagai calon presiden AS dari partai Demokrat yang akan digelar pada 2008. Apakah Obama bisa menerjang harapan itu? Hanya sejarah yang nanti bisa menjawab!

Tapi sebagai senator dan calon presiden AS, Obama bukanlah seorang politisi yang tidak punya nilai jual. Selama delapan tahun di Senat Negara Bagian Illinois, prestasi Obama juga tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan getol ia telah memperjuangkan program kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin, perluasan program pendidikan anak dan dikenal cukup menggebu-gebu memperjuangkan undang-undang etika politik yang kerap menjadi celah untuk sebuah skandal korupsi. Lebih dari itu, dia sempat menjadi anggota di sejumlah Komisi yang tidak bisa anggap tanpa prestasi.

Dengan prestasi itu, Obama ingin meraih harapan lebih tinggi untuk menjadi orang nomor satu di AS. Dengan latar belakang perpaduan dua ras dalam diri Obama, dia menjual visi (pernah dilontarkan saat tampil di Konvensi Nasional Partai Demokratr 2004) yang ternyata mengundang rasa simpati, "Tak ada orang Amerika hitam atau Amerika putih, orang Amerika Latino atau Amerika Asia -yang ada hanya Amerika Serikat." (hal. 196-197). Dengan visi itu Obama ingin membawa AS ke arah yang dicita-citakan pendiri bangsa AS. Karena ia mencintai AS! Ia berharap, dengan sumbangan yang diberikan, AS menjadi yang lebih baik!

Buku yang aslinya berjudul The Audacity of Hope; Thoughts on Reclaiming the Amirican Dream ini tak dapat disangkal lagi, meski merupakan kelanjutan dari buku pertama Obama Dream My Father; A Story of Race and Inheritance yang ditulis sekitar sebelas tahun lalu, tetap tidak bisa dilepaskan sebagai 'obor perjuangan politik' Obama untuk mewujudkan harapan itu. Memang pada satu sisi, buku ini adalah atribut kampanye Obama tapi di sisi lain tetap sebuah perjalanan hidup sang fajar baru bernama Obama sebagai pemimpin masa depan Amerika yang bisa ditepis menginspirasi sejuta orang.

Karena, di buku ini ia menjelaskan pandangan politik baru yang menggali pemahaman bersama yang bisa menyatukan warga Amerika dengan tanpa memandang ras dalam memberi penilaian terhadap seseorang. Sebuah keberanian yang bisa meneteskan harapan akan masa depan AS sebagai bangsa dan polisi dunia. (n mursidi adalah alumnus Filsafat UIN Yogyakarta)

Tidak ada komentar: