....

Kamis, 05 Maret 2009

Cara Picik Meraih dan Mempertahankan Kekuasaan

Resensi buku

Judul buku : Il Principle (Sang Pengeran)
Penulis : Nicollo Machiavelli
Penerbit : Narasi, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal buku : 184 halaman

KEKUASAAN itu bisa diibaratkan serupa emas. Ia menyilaukan mata siapa pun, dan mengundang orang terpikat untuk merengkuhnya. Wajar sebagian orang seperti terhipnotis ingin meraih empuknya kursi kekuasaan. Tapi ironisnya, demi kekuasaan itu sebagian orang kadang gelap mata. Maka, untuk meraihnya, tak jarang ia buta, tak memiliki belas kasihan juga tuntunan agama dan iman. Ujungnya, dia menghalalkan segala cara. Tidak salah, kalau sejarah dunia tidak pernah sepi dari kisah-kisah penguasa yang beringas dan tiran. Padahal dibalik tindakan itu --tak lain-- hanya untuk merengkuh dan mempertahankan kekuasaan semata.

Tetapi bagi Nicollo Machiavelli, meski tindakan kejam itu tidak dapat digolongkan sebagai tindakan bermoral dan memiliki agama, namun dapat memberikan kekuatan. Dengan kata lain, kekuatan itu dibutuhkan pangeran, jika dia ingin meraih dan mempertahankan kekuasaan. Di mata Machiavelli, orang bisa jadi pengeran dalam sebuah negera kerajaan lantaran ia diberkahi dengan keberuntungan. Sebab dalam negara kerajaan, orang bisa diangkat jadi pengeran berdasarkan keturunan. Tapi, tanpa didukung kemampuan, jelas keberuntungan itu pasti sirna. Keberuntungan tidak cukup tanpa ditopang kemampuan besar, genius, tahu bagaimana cara memimpin, bertahan dan bertindak demi mempertahankan kekuasaan itu.

Kisah kesuksesan pemimpin-pemimpin besar, seperti Musa, Cyrus, Romulus dan Theseus adalah satu contoh para pangeran yang diberkahi keberuntungan, dan kemampuan besar. Kalau semata sekadar mengandalkan keberuntungan, tentunya bisa berakhir lain. Cesare Borgia (Duke Velentine) misalnya. Awalnya, Cesare menduduki dudukan berkat pengaruh ayahnya. Tapi kemudian dia kehilangan kekuasaan ketika pengaruh ayahnya tak lagi bertahan. Padahal, dia sebenarnya bisa jadi satu contoh jika dia tak melakukan satu tindakan buruk terkait pengangkatan Paus Julius II. Rupanya ia telah melakukan tindakan salah. Meski ia sebenarnya bisa menghalangi diangkatnya paus yang tak ia kehendaki, tapi itu tidak dia lakukan.

Selain didukung dengan kemampuan dan keberuntungan, Nicollo Machiavelli melihat seseorang bisa menjadi pangeran dengan cara lain, bahkan untuk sebuah negara republik. Pertama, dengan cara yang licik serta penuh tipu muslihat. Kedua, berkat bantuan teman-temannya warga sipil. Agatholes sebelum menjadi raja Syracuse bukan hanya berasal dari kalangan rendah, bahkan hina. Keberhasilan Agatholes, di mata Machiavelli, tidak semata ditopang kebertungan; bukan berkat bantuan siapa pun melainkan kekuatan pasukan militernya yang dikembangkan melalui kerja keras bahkan jerih payahnya sendiri dan ketika ia menduduki posisi pangeran ia dapat mempertahankan posisinya --setelah itu-- dengan sebuah keberanian; membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tak memiliki rasa kasihan, juga tak memiliki agama (hal. 67).

Bagi Machiavelli, memang semua itu tidak dapat digolongkan bermoral tapi metode itu dapat memberi kekuatan, sekali pun juga tidak mengantarkan pada kemuliaan. Setali tiga uang dengan cara yang ditempuh Agatholes, dapat disebutkan Oliverotto da Fermo. Dia membunuh Giovanni, dan setelah itu menangkap para pejabat kemudian mengangkat dirinya sebagai raja.

Setelah para pengeran meraih kekuasaan, lantas bagaimana para pangeran itu mempertahankan kekuasaan yang diduduki? Dengan pondasi undang-undang serta pertahanan pasukan yang bagus. Tetapi lebih penting dari itu, menurut Machiavelli, penguasa harus membangun sebuah kesan dicintai, dan ditakuti di mata rakyat. Tetapi, lantaran dua hal itu sulit berjalan berbarengan maka Machiavelli merasa lebih aman apabila sang pengeran ditakuti daripada dicintai. Pasalnya manusia (rakyat) tak segan-segan membela yang ditakuti daripada yang dicintai karena rasa cinta diikat tali kewajiban, tapi rasa takut dipertahankan hukuman menakutkan yang tidak pernah gagal (hal. 119).

Machiavelli memandang, sekali pun sang pengeran itu kejam, ditakuti bahkan tidak dicintai oleh rakyatnya, tetapi jangan pernah sang pengeran menimbulkan "kebencian" di hati rakyat. Karena tujuan pangeran tak lain kecuali berusaha menguasai dan mempertahankan kekuasaan, dan tindakannya itu harus selalu dianggap terhormat bahkan terpuji. Maka, pangeran harus menghidari untuk dibenci dan dihina. Adapun bagaimana agar ia tak dibenci dan dipandang hina, tidak ada cara lain ia harus tegas berpendirian, berani dan kuat.

Lantaran buku Il Principle ini dengan gamblang dan jujur mengumbar rencana dan cara busuk bagi para pengeran dan penguasa dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan maka buku yang ditulis oleh Nicollo Machiavelli ini sering disebut-sebut sebagai buku kontroversial. Ditulis tahun 1513, buku ini semula dihadiahkan Machiavelli kepada "keluarga Medici" yang telah kembali ke atas tahta setelah sebelumnya harus terusir dari Florence. Ceritanya, saat republik Florence digulingkan dan keluarga Medici kembali berkuasa, Machiavelli sempat ditangkap atas tuduhan berkomplot. Tetapi ia bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah dan kemudian dibebaskan.

Tidak lama kemudian Machiavelli pensiun dan mengasingkan diri di sebuah perkebunan kecil, di daerah Casciano untuk menulis buku Il Principle ini dan kemudian mempersembahkan pada keluarga Medici. Tapi, Machiavelli tak pernah membayangkan, jika buku karyanya ini kemudian justru menjadi semacam kitab suci bagi para diktator. Dalam buku ini, ia dengan detail menjelaskan metode-metode yang diterapkan para pangeran yang pernah berkuasa dalam sejarah, tapi menganalisis kelemahan dan kelebihan dari para pangeran itu untuk kemudian dijadikan pelajaran bagi para diktator agar tidak bisa ditumbangkan.

Tak pelak, jika buku ini pun disebut oleh Michael H. Hart (penulis buku The 100 a Ranking of The Most Influence Persons in History) sebagai buku pedoman para diktator. Pasalnya, pengarang buku Il Principle ini mengajarkan para pangeran untuk bertindak kejam bahkan beringas demi meraih dan mempertahankan kekuasaan, sekali pun hal itu tidak mengantarkan pada kemuliaan. ***

*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta.

4 komentar:

achmad ridwan mengatakan...

biarkan kekuasaan tetap menjadi emas, sejatinya ia memang emas yang di sepuh oleh mas-mas. ada mas dewan, mas presiden dan terakhir mas mursidi. he..he..

penulis mengatakan...

lha, di mana kabar kekuasaan untukmu? Aku dengar kamu jadi calon anggota legislatif??? Awas, jika besok kamu korupsi, aku mungkin akan jadi orang pertama yang memenggal lehermu....

htanzil mengatakan...

wah, buku yg berat..
gimana terjemahannya mas?
bagus?

penulis mengatakan...

terjemahannya lumayan, tetapi masih kurang memuaskan.