....

Sabtu, 14 Maret 2009

perjuangan menjadi samurai

resensi ini dimuat di Koran Jakarta Sabtu, 14 maret 2009

Judul buku : Tokaido Inn
Pengarang : Dorothy & Thomas Hoobler
Penerbit : Dastan Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2008
Tebal buku : 368 halaman
Harga : 39.900,00

SETIAP anak yang lahir di atas muka bumi ini, tidak pernah "ditawari" Tuhan untuk memilih siapa kelak yang akan menjadi orang tuanya. Tidak salah, kalau Tuhan tidak pernah membeda-bedakan suku, ras bahkan golongan umat manusia yang menghuni bumi ini. Di mata Tuhan, "semua manusia" itu sama. Tetapi sekelompok umat manusia kerap kali bersikap picik; membeda-bedakan sekumpulan manusia dalam tipologi sistem kasta. Ironisnya, sistem kasta itu nyaris berlaku hampir di negara mana pun di atas bumi ini, tidak terkecuali di negara Jepang yang pernah menganut sistem feodalisme.

Dalam kasta Jepang, samurai dianggap sebagai sekelompok orang yang berdarah kesatria, dan dipandang sebagai petarung yang dianugerahi predikat kesetiaan, keberanian bahkan kehormatan. Tak mustahil, kalau Seikei Konoike --seorang lelaki yang baru beranjak remaja-- merasa nasibnya tidak beruntung karena ia lahir dari keluarga saudagar. Padahal, di mata Seikei, samurai adalah manusia mulia. Maka, saat menginjak umur empat belas tahun Seikei bercita-cita ingin jadi samurai. Tetapi sistem kasta feodalalisme masa itu berakar kuat di tengah masyarakat, dan nyaris tak memungkinkan Seikei berpindah kasta atau mengubah nasib; dari anak saudagar menjadi samurai.

Tetapi kecerdikan dan keberanian Seikei --sebagaimana dikisahkan Dorothy & Thomas Hoobler dalam novel Tokaido Inn-- ternyata tak menutup kemungkinan Seikei bisa mengubah garis nasib sebab dalam darah "sang anak saudagar itu" tertanam jiwa samurai; berani, memegang teguh etika samurai, menjunjung kesetiaan dan kehormatan. Keberanian yang dimiliki Seikei itulah yang kemudian menarik hati hakim Ooka, tatkala sang hakim itu dihadapkan pada masalah pelik untuk menyelidiki hilangnya batu rubi milik Tuan Hakuseki sewaktu menginap di penginapan (di Tokaido). Padahal, batu berharga itu akan dihadiahkan Tuan Hakuseki kepada Shogun.

Seikei -bersama ayahnya- yang kebetulan menginap di penginapan tersebut, sempat memergoki si pencuri. Meskipun Seikei mengira sosok pencuri itu adalah hantu, tetapi ia memiliki keberanian untuk memberikan kesaksian. Hakim Ooka menangkap kejelian Seikei, lalu mengajak anak saudagar itu melakukan penyelidikan. Petualangan Seikei dan Hakim Ooka menemukan jejak pencuri; membawa Seikei ke jalan samurai. Tidak saja ia diajari oleh Hakim Ooka tentang etika samurai yang harus dipegang teguh melainkan pernah ditinggal sendirian untuk menempuh jalan berliku.

Di luar dugaan, Seikei dapat mengendus jejak pencuri --yang tak lain adalah Tomomi (ketua kelompok pementasan Kabuki). Dari penyelidikan yang cermat, Seikei dapat menemukan motif di balik pencurian batu rubi itu. Tomomi yang tak lain Genji, adalah anak daimyo Takezaki yang dulu sempat dijatuhi hukuman akibat tak mau melepaskan kepercayaan Kirishitan, ternyata mencuri batu rubi itu karena dua alasan; mengambil haknya lantaran batu rubi itu dulunya milik ibu Tomomi yang dirampas Tuan Hakuseki, dan untuk balas dendam kematian ibunya yang "memilih mati" daripada menikah dengan Tuan Hakuseki. Tak hanya itu, Tuan Hakuseki membantai semua keluarga Takezaki Kita lalu mengambil alih kekuasaan Takezaki. Tapi Tomomi (Genji) kecil berhasil meloloskan diri. Setelah ia menginjak dewasa, ia pun ingin balas dendam pada Tuan Hakuseki.

Kecerdikan Seikei dalam mengungkap kasus tersebut, akhirnya bisa mengubah garis nasibnya; dia bisa jadi samurai. Setelah dia berhasil melewati ujian berat yang diterapkan Hakim Ooka untuk mengikuti langkah Tomomi bersama kelompok pementasan Kabuki, bahkan berhasil mengungkap motif di balik pencurian itu, rupanya membuat Hakim Ooka tak menutup mata untuk mengakui keberanian Seikei yang memiliki jiwa samurai.

Setelah Tomomi berhasil menjebak Tuan Hakuseki untuk mendapat balasan setimpal, kemudian Tomomi dijatuhi hukuman mati, dalam sebuah pesta minum teh bersama Shogun, Hakim Ooka mengajukan Seikei untuk diangkat menjadi bushido. Pasalnya, di mata Hakim Ooka, Seikei berhasil membuktikan diri tidak saja mampu menjalani ujian yang ditempuh seorang samurai sejati tetapi Seikei memiliki keberanian, terhormat dan setia padahal ia masih remaja.

Shogun sempat ragu karena Seikei mengakui lahir dari keluarga saudagar. Tetapi Hakim Ooka tidak kehilangan akal. Keraguan Shogun itu ditepis dengan mengangkat Seikei menjadi anak angkat. Siasat Hakim Ooka mengadopsi Seikei itu praktis menjadikan "sang anak saudagar" itu akhirnya bisa berpindah kasta; dari anak saudagar menjadi samurai.

Novel berlatar sejarah Jepang yang mengangkat kisah Seikei Konoike karya Dorothy & Thomas Hoobler (sepasang suami-istri yang dikenal sebagai sejarawan) ini memang karya fiksi. Tapi, kedua pengarang tidak menepis bahwa tokoh Hakim Ooka sepenuhnya tidak fiksi. Sang Hakim, bahkan dikenal sebagai teman dan penasehat Yoshimune, Shogun kedelapan keluarga Tokugawa. Kebaradaan Hakim Ooka yang cukup dikenal dalam sejarah Jepang ini menjadikan kisah dalam Tokaido Inn ini seperti cerita nyata. Apalagi, dalam novel ini sang pengarang mengaitkan tentang kepercayaan Kirishitan, upacara persembahan kepada Ameterasu dan sistem kasta ala feodalisme Jepang.

Kelebihan cerita debutan kedua pengarang yang kini tinggal di New York ini ternyata masih dilengkapi dengan "taburan suspense" sejak awal cerita. Juga, capaian estetis yang dapat menjerat pembaca untuk terus membaca hingga halaman akhir. Tak mustahil, jika novel ini --sekali pun untuk segmen remaja/pembaca muda-- tetap enak dinikmati oleh pembaca segala umur. Jurus bertutur itulah yang membuat kedua pengarang ini --yang sudah menghasilkan lebih dari 60 buku; baik fiksi maupun non fiksi-- memiliki keunggulan tersendiri! ***

*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008.

4 komentar:

penulis mengatakan...

thanks, buat mas Eko S putra (alias penyok) --wartawan koran jkt (wil Yogja) atas kabar pemuatan resensi ini lwt sms. tanpa sms-mu, pasti aku tk tau jk resensi ini dmuat. maklum, aku sdh tk lg disibukkan dg resensi, bung. apalagi resensi ini aku buat 2 bln lalu. Tentu tulisan ini py sejarah panjang hingga kmdn dimuat d koran jkt. he 3x.

slmt bekrj, bung. slm buat lutfi, jk ktm!

M.Iqbal Dawami mengatakan...

selamat,kang Murshid!

htanzil mengatakan...

selamat ya...
saya hingga kini tak pernah 'tembus' ke koran jakarta...hehehe

penulis mengatakan...

@ iqbal dawami: thanks. eh, di jogja kt teman-ku jg beredar koran jakarta loh.

@ tanzil: thanks, kawan. tentu saja, tidak berarti anda berhenti kirim. mngkin resensi anda terlalu panjang, smentara di koran jakarta butuh sktr 3500-4000 karakter. selamat berjuang.