....

Kamis, 27 Agustus 2009

pancasila dan UUD 1945 di era reformasi

resensi ini dimuat di duta masyarakat, kamis 27 Agustus 2009

Judul buku : Pancasila dan UUD `45 dalam Paradigma Reformasi
Penulis : H Subandi Al Marsudi
Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta
Cetakan : Edisi revisi, 2008
Tebal buku : xii + 364 halaman

GELOMBANG reformasi yang bergulir sebelas tahun lalu, memang mengusung setumpuk agenda yang siap ditancapkan untuk membangun kembali Indonesia menjadi negeri yang kokoh atau tidak bopeng. Tak salah, jika agenda reformasi yang digulirkan oleh rakyat itu pun menuntut perubahan di segala bidang, tidak hanya sekedar suksesi kepemimpinan melainkan juga tuntutan perubahan di bidang ekonomi, hukum bahkan politik --tidak terkecuali reformasi sistem ketatanegaraan.

Salah satu tuntutan reformasi sistem tata negara adalah perubahan/amandemen UUD 1945. Untuk memenuhi tuntutan itu (selama waktu 1999-2002), UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Tahap-tahap perubahan itu tak bisa ditepis; cermin tuntutan reformasi akan perubahan cara pandang, nilai dan prinsip dalam memecahkan persoalan dan mengantisipasi kebutuhan bangsa dan negara Indonesia di masa depan.

Di sisi lain, latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 itu, di era Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu luwes (sehingga bisa menimbulkan multitafsir), dan kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Buku Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi karya H. Subandi Al Marsudi bisa dijadikan sebagai referensi dalam menelusuri perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap UUD 45. Di sisi lain, penulis mengupas keberadaan Pancasila. Sayang, di buku ini, penulis tak mengupas sejarah Pancasila yang sempat menimbulkan perdebatan sengit semisal Piagam Jakarta, sidang Majelis Konstituante yang menjadikan Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli dan Indonesia kembali ke UUD 1945. Di sisi lain, penulis tidak menyoroti Pancasila di era reformasi yang kerap dijadikan kambing hitam, akibat kekuasaan Orba menafsirkan Pancasila dan membatasi tafsir lain yang berbeda. Adapun satu hal yang baru dari buku ini adalah penjelasan yang detail seputar tahap-tahap amandemen UUD 1945.

UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara RI. UUD 1945 pun memiliki sejarah panjang. Disahkan sebagai UUD negara oleh PPKI 18 Agustus 1945, UUD 45 sempat digantikan dengan UUD lain sebab 27 Desember 1949 Indonesia memberlakukan Konstitusi RIS dan 17 Agustus 1950 memakai UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 pun diberlakukan lagi.

Sejak reformasi bergulir, selama 1999-2002, UUD 1945 sudah mengalami 4 kali perubahan (amandemen). Ada beberapa perbedaan sebelum dan sesudah amandemen. Sebelum amandemen UUD 1945 terdiri Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Setelah 4 kali perubahan, UUD 1945 mencakup; 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, serta 2 pasal Aturan Tambahan. Juga, penjelasan UUD 45 telah ditiadakan (diadakan pencabutan secara diam-diam/implicit), lahirnya lembaga-lembaga baru seperti DPD (lihat Bab VIIA pasal 22C dan 22D) Komisi Yudisial (Pasal 24B), Mahkamah Konstitusi (lihat Pasal 24C) dan dihapusnya lembaga lama, yakni DPA (Bab IV).

Selain itu, perbedaan lain setelah diamandemen adalah berkurangnya kekuasaan dam wewenang (juga berubahnya) kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yakni tidak lagi tak terbatas, tidak lagi menetapkan GBHN (Pasal 3 ayat (1), tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden (lihat Pasal 6A ayat (1),). Dengan kata lain, MPR menjadi lembaga negara biasa.

Tuntutan reformasi 98 adalah adanya perubahan UUD 1945. Tujuan perubahan itu menyempurnakan aturan dasar, seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, dan hal-hal lain yang sesuai perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 itu, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Perubahan yang telah dilakukan sebayak 4 (empat) kali (sejak tahun 1999-2002) terhadap UUD 1945, tak bisa disangkal telah mewarnai kehidupan ketatanegaraan. Dari hasil amandemen UUD 1945 itu, setidaknya telah membawa implikasi perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem perpolitikan Indonesia.

Tapi, jika dikritisi secara komprehensif, amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR itu dapat dikata belum sepenuhnya jadi problem solving penyelesaian masalah ketatanegaraan bangsa Indonesia selama kurang lebih enam dasawarsa di bawah UUD 1945 sebelum amandemen. Selain itu, amandemen UUD 1945 masih jauh dari semangat reformasi Mei 1998, yakni semangat membangun negeri Indonesia ke arah kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan semangat untuk menata kelembagaan negara serta hubungan antar-lembaga negara yang sesuai dengan prinsip saling mengontrol.

Meski amandement sudah memberikan warna lain, tapi masih belum memenuhi tuntutan rakyat secara terang benderang. Ada tiga faktor yang menjadi penyebab kenapa hasil amandemen UUD 1945 masih belum memberikan titik terang benderang. Pertama, MPR yang menjadi satu-satunya institusi negara mendapat mandat rakyat dan memiliki kewenangan melakukan amademen UUD 1945 sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, tetapi dalam melakukan amandemen UUD 45 tak punya paradigma perubahan dan kerangka kerja (framework) yang jelas, sehingga menjadikan hasil amandemen UUD 1945 parsial, tak komprehensif, memenuhi pesanan kekuasaan, berdasarkan keadaan dan kebutuhan. Pendek kata, amandemen hanya sepotong-sepotong atau tidak lebih tambal sulam.

Kedua, adanya tarik-menarik dan tawar-menawar (bargaining politic) elit politik. Ketiga, aspirasi rakyat yang nyaris tak mendapat wadah, karena minimnya keikutsertaan rakyat dalam proses amandemen UUD 1945. MPR tak maksimal dan sungguh-sungguh memberi ruang pada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses amandemen. Perjaringan aspirasi rakyat hanya formalitas guna memenuhi mekanisme dan prosedur. Padahal, hal ini jadi bagian penting dalam proses amandemen UUD 45 terutama dalam membangun sense of belonging dan keyakinan rakyat pada hukum dasarnya.

UUD 1945 sudah diamandemen 4 kali. Tetapi, berbagai problem ketatanegaraan muncul satu per satu mewarnai ketatanegaraan Indonesia. Tak salah, jika agenda untuk melakukan amandamen kelima tidak lagi sebagai hal tabu. ***

* ) Nur Mursidi, blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008

1 komentar:

Fadhli Dzil Ikrom, M.Pd. mengatakan...

"pancasila dan UUD 1945 di era reformasi"