....

Kamis, 20 Agustus 2009

potret hubungan Islam dan Negara di Indonesia

resensi ini dimuat di duta masyarakat, kamis 20 agustus 09

Judul buku : Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante
Penulis : Ahmad Syafi`i Ma`arif
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta
Cetakan : (Edisi Revisi) Pertama, 2006
Tebal buku : xxi + 228 halaman

Hubungan antara agama dan negara dalam konteks Indonesia -tidak dimungkiri- kerap menjadi perdebatan sengit, bahkan dalam suasana stigmatis. Perdebatan itu tak hanya terjadi di tingkat wacana, melainkan telah diikuti tuntutan riil tentang konsep negara Islam yang perlu dibumikan di Indonesia. Sejarah mencatat, sejak Indonesia merdeka tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan dasar negara itu seperti tidak pernah surut.

Silang perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata kehidupan sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia mendapatkan anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat aturan dan sistem yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan. Tuntutan itu pun sempat terakomodir.

Tapi, tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… yang tertuang di mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula baru Pancasila.

Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung Pancasila dalam mengokohkan dasar negara menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan --November 1957 sampai Juni 1959— tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius

Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati.

Studi Komprehensif
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.

Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam –yang menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila mewarnai sidang.

Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”

Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari mereka –di mata Syafi`i—masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.

Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.

Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno. Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan Demokrasi Terpimpin –sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Menjawab Tantangan Zaman
Meski kajian yang ditulis oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini adalah terjemahan disertasi dan pernah diterbitkan tahun 1985, tapi tema buku ini masih tetap memiliki relevansi dengan kondisi Indonesia saat ini. Memang, isu tentang negara Islam tak mengeras lagi, tapi isu negara Islam seperti tak pernah padam. Sayangnya, tuntutan yang kerap didegungkan kelompok Islam garis keras lebih memilih jalan undergroun dengan jalan melakukan teror, bukan lewat jalur partai politik.

Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam menjadi cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan.

Di sisi lain, kekuatan PKS yang solid dan berjuang lewat jalan partai jika ditelisik lebih jauh juga bukan karena mengangkat isu negara Islam melainkan lebih pada konsep yang dijual ingin yang menjadi partai yang bersih. Jadi upaya untuk mengangkat lagi isu negara Islam sudah tidak lagi menjanjikan.

Apalagi, dalam teks al-Qur`an maupun hadits nabi, penulis tak menemukan pola teori tentang negara yang harus diikuti umat Islam di berbegai negara, dengan catatan asal prinsip syura dijalankan dan dihormati. Teori politik Islam yang dikembangkan pemikir muslim, seperti al-Baqillani dan al-Mawardi tidak lebih usaha intelektual untuk menjawab tantangan zaman. (Nur Mursidi, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Help Muslims in needs by searching on Al-Islam !!
Al-Islam-Search is on a mission to help Muslims.When you search the Web on Al-Islam-Search, a portion of revenue generated will be donated to Muslims.The more you search, the more you can help us rescue Muslims and reach our ultimate goal of raising $1 million by the end of 2009.No cost to you. Just use Al-Islam-Search like you use Google,Yahoo or any other search engines.
Please visit us at http://Al-Islam-Search.com