....

Sabtu, 09 Juli 2011

Buku yang Mengisahkan tentang Buku

resensi ini dimuat di Harian Pelita, Sabtu 9 Juli 2011

Judul : The Man Who Loved Books Too Much
Penulis : Allison Hoover Bartlett
Penerbit : Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal buku : 300 halaman
Harga : Rp. 59.900,-

SECARA fisik, tidak dapat disangkal, bahwa buku hanya lembaran-lembaran kertas (yang dijilid dengan dibalut sebuah cover). Tapi, tatkala lembaran-lembaran kertas itu digores dengan tinta ilmu pengatahuan --dilengkapi setumpuk data, rangkaian alur cerita memikat, bahkan sentuhan pengalaman hidup yang bisa dikenang, buku itu pun bisa berubah menjadi barang berharga dan memiliki nilai lebih --karena buku itu telah menjadi semacam artefak dan tumpukan kenangan. Dengan kata lain, buku tidak semata-mata berupa lembaran kertas, melainkan menyimpan "setangkup kenangan yang bisa menyimpan ingatan dari masa lalu".

Sebagai "artefak dan kumpulan kenangan", buku pun menempati kedudukan yang istimewa. Apalagi, kalau buku itu telah ditulis di masa lampu dan kemudian seiring dengan berlalunya waktu menjadi berumur ratusan tahun, ditambah lagi ditulis itu oleh seorang penulis terkemuka dan waktu diterbitan hanya dicetak terbatas, tak ditepis akan termasuk kategori buku langka. Buku yang harganya bisa melonjak naik, bahkan jauh lebih mahal daripada harga ketika buku tersebut diterbitkan.

Pada aras inilah, ada seguhan ironisme tentang cerita sebuah buku. Anggapan terhadap buku lalu menjadi berubah. Buku langka itu tidak ubahnya seperti sebuah lukisan. Harga buku dapat melonjak tidak wajar. Tentu bagi pecinta buku langka berkantong tebal, hal itu tak jadi masalah. Maka mereka rela mengeluarkan isi dompet ratusan dollar untuk mengumpulkan atau mengoleksi buku-buku langka. Tapi bagi Gilkey yang miskin, ceritanya ternyata menjadi lain. Kecintaannya pada buku (langka), membuat dia rela melakukan apa pun --demi cinta yang buta pada buku. Meski ia harus rela menebusnya dengan "dijebloskan ke dalam penjara".

Itulah kutub pertama dari cerita penggila buku yang dikisahkan Allison Hoover Bartlett dalam The Man Who Loved Books Too Much ini. Semua itu bermula, ketika Gilkey dipenjara di Stanislaus County Jail (karena penipuan) dan dia membaca buku Booked to Die karta John Dunning -sebuah novel tentang seorang kolektor perempuan yang melakukan banyak penelitian buku langka. Dari situ, Gilkey "terilhami" untuk lebih serius dan lebih seksama lagi dalam penelitiannya mengenai buku langka dan berbuat gila: mencuri buku.

Bukan Pencuri Bodoh
Apa yang membuat Gilkey melewati batas dari pengagum jadi pencuri? Bagi Gilkey --tokoh penggila buku yang dikisahkan oleh Allison Hoover Bartlett dalam buku ini--, mencuri buku itu menjadi tindakan yang sah. Maka, dia pun nyaris tidak pernah membeli buku dengan uangnya sendiri. Karena bagi Gilkey, tidak adil rasanya dia tidak memiliki cukup uang untuk mendapat buku-buku yang dia inginkan. Karena keadilan, bagi Gilkey adalah kepuasan. Jika dia merasa puas, maka itu artinya adil (hal. 45). Maka, dia pun kemudian mencuri. Pendek kata, cara apa pun untuk mendapatkannya akan dianggap adil dan benar (hal. 225)

Tetapi, Gilkey bukan pencuri bodoh yang mudah dijerat dan ditangkap. Ia dikenal sebagai pencuri buku langka yang licin nomor wahid di seantero Amerika. Berbeda dengan Libri (1803-1869), yang tercatat sebagai tukang katalog manuskrip sejarah di perpustakaan umum di Prancis dan dengan profesi itu membuat dia mendapat kemudahan untuk mencuri buku-buku langka (dengan cara menukarnya dengan buku-buku yang tidak terlalu berharga dan membawa pulang buku yang ia inginkan dengan tidak mendatanya dalam katalog). Gilkey juga tak sebodoh Blumberg, dalam melancarkan aksi pencurian dengan melompat tembok dan mencuri buku-buku langka dari perpustakaan. Gilkey berbeda dengan dua orang pencuri tersebut, karena Gilkey cerdas. Dalam melancarkan pencurian itu, dia menggunakan kartu kredit (dengan nomor kwitansi kartu kredit orang lain)- dan hanya sekali dua kali menulis cek kosong. Dengan cara itu Gilkey bisa menipu sejumlah toko buku langka di Amerika.

Dilihat dari impian Gilkey, ia sebenarnya memiliki cita-cita luhur: ingin memiliki perpustakaan dan koleksi buku-buku utama dan langka. Paling tidak, ia ingin mengoleksi seratus buku terbaik sepanjang masa ---menurut versi Modern Library. Sayang, ia miskin dan tidak memiliki uang. Ujungnya, niat mulia itu ditempuh dengan menghalalkan segala cara demi kecintaannya pada buku. Ia menempuh jalan keliru: mencuri buku.

Ulah Gilkey itu, membuat Sanders yang dikenal sebagai bibliodick --penjual buku sekaligus merangkap sebagai detektif-- dibakar amarah. Sanders ini pun mewakili kutup kedua penggila buku. Ia yang geram dengan ulah Gilkey kemudian memburu Gilkey. Bahkan selama tiga tahun, ia mengintai, mengincar, mengejar bahkan berusaha menangkap Gilkey. Pasalnya, sejak akhir 1999 sampai 2003, Gilkey telah mencuri sejumlah buku langka dengan nilai sekitar 100.000 d0llar.

Tetapi, sepandai-pandai tupai melompat, tetap akan jatuh. Itulah yang akhirnya terjadi pada Gilkey. Dia akhirnya, ditangkap detektif Ken Munson yang berhasil menemukan apartemen Gilkey di Treasure Island. Gilkey digugat dengan pasal pendurian identitas dan pencurian akses kartu kredit serta kepemilikan barang curian (hal. 165).

Dua Kutup Penggila Buku
Kisah kegilaan Gilkey dan Sanders terhadap buku dan bagaimana mereka memandang buku itu ibarat "dua kutup" wajah penggila buku, tetapi keduanya menjalani kehidupan yang berbeda. Gilkey sang pencuri. Sementara itu, Sanders adalah sosok yang berjuang mati-matian mengejar Gilkey, sampai rela mengorbankan stabilitas tokonya demi menangkap Gilkey.

Allison Hoover Bartlett --penulis buku ini-- tidak saja mampu menuturkan dua kutup penggila buku itu dengan manawan melainkan juga sangat menakjubkan karena tidak semata-mata mengandalkan kisah Gilkey yang misterius dan penuh teka-teki. Itulah tantangan penulis ketika dia harus dihadapkan pada setumpuk rahasia Gilkey tapi ia berusaha mengorek keterangan dan melakukan investigasi di balik kehidupan misterius sang pencuri buku tersebut. Untuk tujuan penulisan buku ini, penulis tak semata-mata melakukan wawancara dengan Gilkey dan Sander melainkan juga dilengkapi wawancara dengan sejumlah kolektor buku. Dengan ketelitian, kecermatan dan kecerdikan dalam menulis petualangan Gilkey itulah, tak mengagetkan, kalau buku yang ditulis dengan serius ini pun kemudian menjadi salah satu buku terbaik 2009 versi Library Journal.

Pasalnya, penulis mampu menggali kehidupan Gilkey dengan cukup lengkap. Kehidupan Gilkey itu, kemudian disandingkan dengan sosok Sanders yang berseberangan dalam melihat buku (langka). Kisah itu pun akhirnya menjadi kisah yang unik dan menarik karena menyimpan aroma paradoksal. Dengan keberadaan dua tokoh yang sama-sama memiliki kecintaan pada buku --tetapi keduanya berada pada jalur yang berseberangan. Dua kutub itu dikisahkan oleh penulis ibarat kucing dan tikus.

Lebih menarik lagi, kisah dalam buku ini dituturkan dengan renyah, dan menawan. Penulis bisa menyeret pembaca tidak hanya pada dua sosok itu, melainkan lebih jauh mengajak pembaca mengenal dan memasuki dunia buku langka. Jadi, buku ini sebenarnya merupakan sebuah buku yang mengisahkan tentang buku (langka).

*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar: