....

Minggu, 26 Juni 2011

Cara Bijak Melihat Uang

resensi ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu 26 Juni 2011

Judul buku : The Moneyless Man: Kisah Nyata Setahun Hidup Tanpa Uang
Penulis : Mark Boyle
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2011
Tebal buku: 349 halaman
Harga buku: 40.000,00

MANA mungkin orang bisa hidup tanpa uang? Di zaman modern seperti sekarang ini, rasanya mustahil orang bisa menjalani hidup tanpa uang di saku atau kartu kredit di dompet. Apalagi kalau fakta itu masih ditambah dengan tidak ada "tabungan" di rekening sebagai jaminan hari tua. Sungguh tak masuk akal dan sulit dipercaya. Pasalnya, nyaris tidak ada sumber kehidupan di dunia ini yang bisa didapatkan gratis atau cuma-cuma. Semua harus dibeli dengan uang. Praktis, sebagain besar orang menganggap uang ibarat nyawa kehidupan.

Tapi, pandangan itu ternyata mampu dipatahkan oleh Mark Boyle. Kisah nyata yang ia tuangkan dalam buku The Moneyless Man: Kisah Nyata Setahun Hidup Tanpa Uang ini tidak saja membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa uang tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa uang itu tidak lebih sebagai alat tukar. Uang bukan sebagai tujuan hidup. Ia yang sebelumnya pernah bekerja --sebagai manajer-- di sebuah perusahaan makanan organik, setelah menimbang-nimbang akan kompleksitas kehidupan yang diakibatkan oleh sistem keuangan global, kemudian memilih berhenti dan melakukan eksperimen gila; menjalani hidup tanpa uang selama satu tahun (sejak 29 November 2008).

Uniknya, meski pun hidup tanpa uang, ia tak lantas hidup di gua atau jauh dari kehidupan sosial. Ia tetap hidup di tengah masyarakat. Ia hidup dengan menempati karavan yang ia taruh di lahan yang disewa dengan cara bekerja jadi relawan. Untuk pergi ke kota, dia bersepeda --selain untuk tujuan puasa bahan bakar (minyak), juga untuk mengurangi polusi udara (ramah lingkungan). Sementara itu, untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia merakit kompor yang ramah lingkungan, menciptakan energi (tanpa bergantung pada listrik) bahkan mampu membuat kertas dari jamur.

Ia pun tidak berpuasa. Ia tetap makan teratur. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, kadang-kadang mendapatkan dengan cara "barter" ketrampilan, mencari tanaman dari alam, mendapat makanan dari toko tanpa harus mencuri bahkan untuk persediaan jangka panjang, ia memilih menanam tananan sendiri. Walau hidup tanpa uang, Mark tak pula memutuskan hubungan dengan teman-temannya, dan tak jauh dari wartawan. Ia tetap bisa menghadiri beberapa acara di kota bahkan bisa pulang ke rumahnya di Irlandia (dari tempat tinggalnya di Bristol, Inggris) di hari Natal tanpa mengeluarkan uang sepersen pun.

Ulah Mark itu mungkin oleh sebagian orang dianggap gila. Tapi di balik eksperrimen Mark hidup tanpa uang itu bukan sebagai ungkapan kebencian pada uang. Eksperimen itu semata-mata dilandasi "gagasan" bahwa seiring perjalanan waktu, uang yang semula sebagai alat tukar telah mengalami pergeseran. Di mata Mark, uang telah menjadikan manusia terputus hubungan dari apa yang dikonsumsi dengan orang yang membuat "produk". Dengan uang, orang menjadi rakus; tak membeli berdasarkan pada apa yang dibutuhkan, tapi lebih pada hasrat terus menkonsumsi secara berlebihan. Uang berdiri di atas sistem yang dibangun pada ketidaksetaraan dan itu menjadikan kerusakan lingkungan dan tidak manusiawi.

Jadi, dengan eksperemen hidup tanpa uang, Mark pada intinya tidak mengajak orang lain membenci uang. Ia sadar hal itu adalah utopia. Apalagi, di belahan dunia ini, Mark bukanlah satu-satunya orang yang pernah menjalani hidup tanpa uang. Di Jerman, ada Heidemarie Schwerner, seorang wanita berumur 60 tahun bahkan menjalani hidup hampir tanpa uang selama 13 tahun. Ia hanya "menggunakan uang" untuk naik kereta api. Selebihnya, ia hidup tanpa uang. Sementara di Amerika, ada Daniel Suelo. Lelaki berumur 48 tahun itu bahkan menganggap uang adalah "ilusi" dan karena itu ia jauh dari uang, dan menjauh dari kehidupan. Ia pun disebut sebagai "manusia gua".

Meskipun Mark, Daniel dan Heidemarie menjalani hidup tanpa uang dilatarbelakangi dengan motif berbeda tetapi ketiganya dipertautkan pada satu hal. Ketiganya ingin melihat persahabatan tumbuh di tengah masyarakat melalui tindakan sederhana dalam menebarkan kebaikan seperti semangat berbagi, memberi dan tolong menolong. Sebuah semangat yang jauh dari sentimen kerakusan dan semangat kebaikan itu, nyaris tak akan diperoleh ketika orang "diperbudak" uang. Itulah pesan dari pengalaman hidup tanpa uang yang dijalani Mark, Daniel dan Heidemarie.

Kisah hidup Mark yang hidup tanpa uang memang cukup mengesankan. Tak berlebihan, kalau kisah Mark yang ia ceritakan dengan apik dan menawan dalam buku ini, memberikan beberapa pesan penting bagi pembaca. Pertama, Mark telah "mengajarkan hidup" dengan elegan bahwa uang bukan segala-galanya. Maka, salah jika kebahagiaan itu ditentukan oleh uang. Bahkan Mark mengisahkan, pada awal menjalani "hidup tanpa uang" memang terasa sulit. Tapi, dalam beberapa hal lain, ia mengakui ternyata itu masa paling membahagiakan dalam hidupnya (hal 323). Karena uang bukan tujuan, melainkan sarana.

Kedua, jangan sampai dengan uang, "persahabatan" justru hancur lantaran uang membangun sekat berdasarkan perbedaan status sosial (kaya dan miskin). Ketiga, kisah Mark yang hidup tanpa uang telah mengajarkan eksistensi sebuah nilai sejati segala sesuatu yang ada. Dengan kata lain, tidak semua bisa dibeli dengan uang. Ada beberapa hal yang ternyata tidak bisa dibeli dengan uang. Keempat, meski pembaca tak harus meniru menjalani hidup tanpa uang sebagaimana yang dipraktekkan Mark, minimal dari kisah hidup Mark ini pembaca akan memetik pelajaran untuk bisa berhemat. Hidup berdasarkan pada kebutuhan. Karena eksperimen hidup Mark ini telah mengajarkan "cara bijak dalam melihat uang".

*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar: