....

Sabtu, 30 Juni 2012

Kota Istambul dalam Lintasan Sejarah


resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Sabtu 30 Juni 2012


Judul buku: Istanbul: Kota Kekaisaran
Penulis : John Freely
Penerbit   : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal       : 476 halaman
Harga : 67.000,-

KOTA Istanbul bisa disebut satu dari sekian banyak kota besar dan tua yang menyimpan sejarah panjang. Tetapi, dilihat dari sudut sejarah, kota Istanbul tidak saja tergolong unik, melainkan juga merekam jejak tiga kekaisaran besar dunia. Sebab, kota Istanbul secara berurutan pernah dijadikan ibu kota kekaisaran Byzantium, Romawi hingga Usmani. Lebih dari itu, Istanbul tak bisa ditepis adalah kota legenda dunia, terletak di dua benua --dibelah oleh Bosporus, selat indah yang memisahkan Eropa dan Asia antara Marmara dan Laut Hitam.



Keunikan kota Istanbul itulah yang mengundang minat John Freely, sebagai penulis buku perjalanan dan sejarah (yang di antaranya meliputi sejarah tentang Athena, Venesia, Turki, Yunani, dan Kekaisaran Ottoman) untuk melakukan "kajian mendalam" tentang kota Istanbul yang kemudian "dituangkan" dalam buku Istanbul: Kota Kekaisaran ini. Maklum sebagai kota tua, Istanbul menyimpan jejak kenangan sejarah kurang lebih dua puluh enam abad. Selama rentang waktu itu, kota Istanbul telah berkali-kali digulung prahara politik, yang kemudian diikuti dominasi status agama, bahasa, hingga pranata hukum.

Tetapi, kota tua itu tidak tergerus zaman. Dalam lintasan sejarah, dulu kota kekaisaran itu -yang dikenal dengan nama Byzantium merupakan koloni Yunani. Dalam catatan Herodotus Byzantium didirikan tujuh belas tahun setelah pendirian Khalsedon. Banyak negara mengakui dan mengklaim memiliki peran penting dalam pendirian Byzantium. Tetapi sebagian besar sejarawan klasik dan modern berpendapat jika Megara adalah pendiri pertama dari Byzantium (hal 12). Dilihat dari sudut politik, kota Byzantium memiliki nilai strategis. Maklum, kota itu dikenal dikelilingi "karangan bunga air" di selat Bosporus yang membelah Eropa dan Asia.

Tak salah, jika kota itu jadi rebutan banyak penguasa --termasuk kekaisaran Romawi. Bahkan kota itu diperkirakan oleh John Freely berusia seribu tahun saat Konstantin Agung menjadikannya ibu kota kekaisaran Romawi (pada 330 M). Sejak itu, kota itu tak lagi dinamai Byzantium tapi diubah menjadi Konstantinopel, kota Konstantin. Kendati demikian, beberapa orang menyebut kota itu dengan Stamboul, dan orang Yunani selalu menyebut Constantinopolis atau dalam bahasa Inggris sebagai Constantinople, dan dalam bahasa Indonesia sebagai KOnstantinopel.

Setelah menjadi "ibu kota" kekaisaran Romawi, akhirnya pada 1453, bangsa Turki di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II merebut kota ini (bisa dibaca secara gamblang di buku 1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim, karya Roger Crowley yang sudah diterjemahkan penerbit Alvabet; 2011). Lalu kota Konstantionopel pun dijadikan sebagai ibu kota kekaisaran Usmani, tapi tak memakai nama Konstantinopel lagi melainkan dengan nama yang sekarang; Istanbul. Pada 1923, kekaisaran Usmani berakhir, setelah pendirian Turki modern. Ibu kota negara kemudian dipindah ke Ankara, dan Istanbul tak lagi menjadi ibu kota kekaisaran dunia walaupun pada tahun-tahun setelah itu tetap menjadi kota paling penting di Turki (hal. 4-5).

Selama kurang lebih 2600 tahun, kota Istanbul yang sebelumnya bernama Byzantium kemudian berubah nama KOnstanstinopel itu memang tidak saja memiliki sejarah panjang sebagai kota kekaisaran --sehingga menjadi rebutan banyak penguasa. Tapi lebih dari itu, secara geografis, kota Istanbul --tak dapat dimungkiri-- mengundang decak kagum bagi para pelancong. Sebab kota itu menyimpan keindahan yang luar biasa bagi peradaban dunia. Kota itu terletak di selat Borporus yang membelah Eropa dan Asia -- sehingga dikenal dengan "kota yang dikelilingi kalung air". Itulah yang mentasbihkan Istanbul disebut sebagai kota legendaris nan cantik di belahan dunia ini.

Meski John Freely menceritakan zaman kekaisaran Romawi yang menjadikan kota Konstantinopel sebagai ibu kota, kemudian juga kekaisaran Usmani (setelah berhasil merebut KOnstantinopel dari tangan Romawi), penulis kelahiran New York pada 1926 ini tidak menjadikan buku ini sebagai buku sejarah tentang dua kekaisaran itu. Buku ini, bagi Freely --yang pada 1960, memutuskan hijrah ke Istanbul untuk mengajar fisika di Bogazici University- lebih sebagai biografi kota Istanbul dalam lintasan sejarah. Tak berlebihan, jika Freely lebih menyoroti kota Istanbul dari sudut budaya. Maka, dia pun bercerita banyak tentang keindahan kota Istanbul, bahkan kehidupan sosial penduduk Istanbul sejak pemukiman paling awal sampai sekarang.

Freely mencatat bahwa sepanjang sejarah, kota Istanbul telah didiami oleh orang-orang dari berbagai suku bangsa, dan lebih dari itu bahkan dijadikan ibu kota oleh tiga kekaisaran masyhur --Byzantium, Romawi, Usmani-- tetapi Istanbul menyimpan karakter dan ruh hingga sekarang ini. Di bawah kendali kekaisaran Byzantium, Romawi dan Usmani, tak dapat diingkari jika kota Istanbul sebenarnya digeret dalam prahara polirik, status bahasa, bahkan agama, tetapi Istanbul seperti kota kokoh yang tidak tergoyahkan oleh prahara besar itu. Istanbul seperti memiliki ruh yang abadi sebagai kota tua yang memiliki karakter sejati.

Itulah keunikan, keindahan, dan bahkan karakter sejati kota Istambul yang dicatat dengan apik oleh Freely dalam buku ini. Sebab lewat buku ini, Freely tak saja mengenalkan sejarah kota yang dulunya dikenal dengan sebutan Byzantium itu, tetapi seolah-olah menarik dengan kuat hati pembaca untuk tergerak mengunjungi Istanbul lantaran Freely dalam buku ini merekam jejak dan sejarah keindahan kota Istanbul, kota yang dikenal paling memesona di dunia lantaran indah dan memiliki sejarah panjang.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah


Tidak ada komentar: