....

Sabtu, 01 September 2012

Membangun Kembali Kejayaan Bahari Indonesia

resensi buku ini dimuat di Harian Pelita, Sabtu 1 September 2012

Judul buku    : Tahun 1511 - Lima Ratus Tahun Kemudian
Penulis        : Y. Didik Heru Purnomo dkk
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan        : Pertama, Desember 2011
Tebal buku    : 276 halaman
Harga buku    : Rp. 65.000,-

INDONESIA adalah negeri yang dilimpahi dengan setumpuk anugerah kekayaan. Sebagai negeri kepulauan terbesar, Indonesia memiliki kurang lebih 17.840 pulau, dan luas wilayah lautan sebesar 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 95.000 km --bahkan terpanjang kedua setelah Kanada. Tak berlebihan, jika kondisi itu menjadikan Indonesia cukup berpeluang menjadi negeri yang mampu mengeruk keuntungan besar dari lalu lintas perdagangan internasional melalui laut. Tapi Indonesia telah melupakan laut yang dianugerahkan Tuhan. Sekali pun memiliki laut yang luas, tapi Indonesia menganggap laut seperti "anak tiri" dan mencurahkan segenap pikiran ke daratan.

Tak pelak, jika laut Indonesia yang kaya akan hasil, justru tak menuai banyak manfaat. Sebagian besar nelayan mengalami kenestapaan. Padahal, sejarah telah mencatat bahwa negeri Nusantara --yang diperankan kerajaan Sriwijaya, Singosari, Majapahit dan Demak-- dulu pernah jaya dengan mengandalkan kekuatan maritim. Kondisi itulah yang mengundang keprihatian Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya TNI Y Didik Heru Purnomo dan mengajak wartawan berbagai media massa untuk menulis buah pikiran tentang laut dan masa depan kemaritiman Indonesia yang kemudian terangkum dalam buku ini. Sebab menurutnya, baik atau buruk pandangan wartawan tentang pengelolaan laut Indonesia adalah sumbangsih yang tidak kecil bagi terbangunnya kembali kejayaan bahari Indonesia. (hal. 23).

Keprihatinan Didik Heru Purnomo --dan beberapa wartawan yang jadi kontributor dalam buku ini-- memang cukup beralasan. Pasalnya, Indonesia adalah negeri yang memiliki luas laut 2/3 dari keseluruhan wilayah NKRI. Bahkan anak-anak di negeri ini berkata bahwa nenek moyang mereka adalah pelaut. Ironisnya, meski mengklaim sebagai "cucu pelaut", justru belum berbuat banyak untuk laut Indonesia. Sejak kerajaan Demak gagal mengambil alih Malaka dari tangan Portugis (pada 1513 dan 1521) tak satu pun kerajaan di Nusantara yang punya kekuatan laut sebagaimana Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Kejayaan maritim yang berakhir sejak masa Demak itu pun hingga kini -kurang lebih 500 tahun kemudian sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis- nyaris tak dikelola, dan dimanfaatkan dengan semestinya.

Keprihatinan lain yang dikemukakan Didik adalah soal ketiadaan penjaga pantai. Fakta Indonesia adalah bangsa pelaut, tak bisa dibantah siapapun. Ironisnya, sampai kini ini bangsa Indonesia tak punya penjaga laut (coast guard). Padahal negera kelautan dan kepulauan seperti Amerika memiliki kekuatan penjaga laut. Bahkan, negara Malaysia dan Singapura memiliki penjaga laut. Tak salah lagi, jika laut Indonesia bisa dikata belum dijaga dan dikelola dengan semestinya.

Keprihatinan itu baru sekelumit kisah dari persoalan besar kelautan Indonesia. Sebab, pada aras yang lain, Indonesia pun masih kerapkali digoncang sengketa tentang batas wilayah laut dengan negara tetangga dan pelayaran lintas kapal asing. Itu tak lain karena Indonesia masih belum tuntas menerapkan konvensi tentang yurisdiksi nasional tentang titik-titik pangkal, koordinat laut wilayah, ketentuan tentang pelayaran, penetapan zona tambahan 12 mil laut di luar laut wilayah atau 24 mil laut dari garis pangkal perairan Nusantara, penetapan perbatasan laut wilayah Indonesia baik dengan Singapura maupun dengan Malaysia hingga perbatasan ZEE. Tak salah jika Indonesia sering bersitegang dengan negara tetangga soal batas wilayah laut.

Setumpuk keprihatinan tentang laut Indonesia itu, membuat Didik Heru Purnomo bermimpi untuk membangun kembali kejayaan bahari Indonesia. Apalagi pada masa lalu kerajaan Sriwijaya, Singosari dan Majapahit dikenal besar bekat maritim. Karena itulah, ia bermimpi membangun kembali kejayaan bahari Indonesia. Pertama, dengan mengubah cara berpikir (mindset). Sebab baginya, laut itu menyatukan, bukan memisahkan. Jika laut dipandang memisahkan pulau-pulau Indonesia, impian untuk membangun kejayaan bahari itu tak akan terjadi. Tapi jika dipandang yang menyatukan, maka itu akan jadi langkah awal untuk membangun Indonesia yang besar.

Kedua, dengan melakukan reformasi birokrasi --hal itu tidak lain karena peraturan dan institusi yang terkait laut banyak tumpang tindih. Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan laut (Bakorkamla) sebagai wadah tunggal dengan multitugas adalah cita-cita luhur. Tetapi, Bakorkamla tersebut belum bisa jadi badan tunggal. Pasalnya, pemangku kepentingan Bakorkamla di bawah payung Menteri Pertahanan, Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan Ham, Menteri Kelautan dan Perikanan, Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), Kapolri, Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung.

Tak bisa dinafikan jika keprihatian Didik dan wartawan yang menorehkan buah pikiran dalam buku ini patur disambut pemerintah, kalau ingin Indonesia kembali jaya. Dengan memperkuat maritim, mimpi untuk membangun kembali kejayaan Indonesia pun bukan mimpi di siang yang bolong. Tidak salah, jika buah pikiran yang dituangkan buku ini adalah sumbangsih yang besar bagi kepentingan bangsa. Pada aras yang lain, kalau apa yang jadi keprihatinan para penulis ditindaklanjuti pemerintah, maka ke depan Indonesia tak lagi sebagai bangsa yang menganggap laut sebagai anak tiri atau anak haram, tetapi Indonesia akan dikenal sebagai bangsa yang memiliki visi yang jelas tentang laut atau kemaritiman.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: