....

Minggu, 02 Juni 2013

Belajar Menulis dari Berjualan Koran

Oleh: Ferida Ardiyanti *)

Judul     : Tidur Berbantal Koran, Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan : 1/Februari 2013
Tebal   : xiv + 243 halaman
ISBN    : 978-602-020-594-6
Harga   : Rp 44.800


Novel berjudul Tidur Berbantal Koran merupakan novel pertama yang ditulis oleh si penulis. Sebelumnya namanya telah banyak mengisi kolom-kolom berbagai surat kabar lokal seperti resensi maupun essai. Kemampuan tersebut ia peroleh secara autodidak ketika ia masih berprofesi sebagai pedagang koran asongan. Pekerjaan itu ia lakukan demi mendapatkan pundi-pundi uang untuk melanjutkan kuliahnya. Berlatarkan setting di Yogyakarta, penulis menuangkan seluruh kisahnya selama ia merantau di Kota Pelajar.


Penulis juga menggambarkan keadaan keluarganya ketika ia ingin melanjutkan kuliah dengan mengungkapkan secara jelas bagaimana pola pikir orang tua si penulis mempertimbangkan untung-rugi serta biaya yang akan mereka keluarkan untuk anaknya. Dengan sedikit keraguan akan kekurang suksesan si penulis dalam menempuh pendidikan akhirnya dengan tekad kuat dia mencoba untuk meyakinkan kedua orangtuanya agar memberikan restu agar anaknya dapat melanjutkan kuliah. Kedua orangtuanyapun akhirnya menyetujui dengan syarat tidak mau tahu jika mereka tidak dapat lagi membiayai kuliah si penulis.

Akhirnya ia hijrah ke kota Yogyakarta dan berkuliah di salah satu kampus swasta. Masalah demi masalah ia hadapi. Mulai dari kabar ayahnya sakit dan tidak mampu lagi membiayainya sehingga ia harus memutar otaknya untuk mencari uang untuk tetap hidup. Dengan berjualan koran setiap pagi ia terpaksa membagi waktunya untuk berjualan di pagi hari dan kuliah di siang hari. Hingga akhirnya ia mengalami ketertinggalan dalam perkuliahan. Ia merasa tak mampu lagi untuk melanjutkan kuliah dengan alasan biaya yang sangat mahal tak mampu dirinya untuk mencukupi hal tersebut. Ia keluar dari kampus tersebut dan melanjutkan mengisi hari-harinya dengan berjualan koran.

Selain itu ia mencoba untuk menulis beberapa cerpen dan di kirimkan di berbagai surat kabar. Keinginan tersebut termotivasi dengan surat pertama dari ayahnya yang dikirimkan kepadanya. Tahun berikutnya ia mencoba peruntungannya untuk mendaftarkan kuliah lagi di IAIN dan akhirnya diterima. Tak hanya itu peruntungannya di dunia tulis menulis pun juga terjawab. Kehidupannya mulai membaik ketika beberapa surat kabar mau menerima tulisannya dan memuatnya di beberapa media massa. Tak jarang ia mendapatkan beberapa buku sebagai timbale balik serta tambahan honor melalui rekeningnya. Tak hanya itu, kisahnya yang masih panjang hingga ia menjadi seorang wartawan dan sedikit kisah percintaannya dengan seoarang perempuan bernama Aida juga ia tulis dalam novel ini.

Dalam novel Tidur Berbantal Koran, si penulis juga menyisipkan beberapa kata-kata mutiara dan motivasi dirinya untuk menulis seperti Saya bukan seorang penulis, tapi upaya saya yang tak kenal lelah ini telah membuat perubahan besar dalam hidup saya (Jessie Lee Brrown Foveaux) dan beberapa potong kalimat milik William Shakespeare, Socrates, Marcus Aurelius, Mario Teguh, Toyotomi Hideyoshi dan masih banyak lagi. Hal tersebut memberikan kesan bahwa si penulis memiliki banyak wawasan melalui buku-buku yang telah ia baca. Ia juga menyisipkan beberapa buku beserta pengarang yang menemani perjalanan awal ia belajar menulis.

Penilaian di atas merupakan bukti bahwa novel Tidur Berbantal Koran sangat layak untuk dibaca. Selain kisahnya yang sangat inspiratif, novel tersebut juga sekaligus sebagai motivator. Tidak hanya melalui potongan-potongan kalimat motivasi yang disisipkan oleh si penulis saja tetapi juga sikapnya yang tidak mudah putus asa. Beberapa saran serta sedikit prosedur dalam menulis di media massa juga diterangkan dalam novel ini sehingga pembaca yang terinspirasi dan ingin mengikuti jejaknya sebagai penulis bisa belajar melalui novelnya.

Hanya saja dialek pada tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut tidak ditonjolkan sehingga atmosfir dengan setting kota Yogyakarta kurang begitu dapat dirasakan. Serta percakapan antar tokoh mayoritas sama dan seakan-akan para tokoh tidak mempunyai idialek. (Ferida Ardiyanti)

Tidak ada komentar: