....

Minggu, 16 September 2007

Kisah Cinta Sejati yang Memesona

(resensi ini dimuat di Media Indonesia, Minggu 5 Juni 2005)


---------------------------
Judul buku : Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu; Kisah Cinta tentang Spiritualitas dan Pengorbanan
Pengarang : Paulo Coelho
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2005
Tebal buku : xiv + 210 halaman
---------------------------

JIKA Tuhan telah memercikkan "setetes cinta" di hati dua insan lawan jenis untuk saling mencinta(i) dan hal itu justru menghalangi bakti manusia untuk melayani Tuhan, lantas untuk apa Tuhan mencipta lelaki-perempuan berpasangan? Mungkin, pertanyaan itu sungguh "dilematis" untuk dijawab. Tetapi tidak untuk seorang sufi seperti Rabi`ah al-Adawiyah. Karena itulah, tidak bisa disalahkan bila Rabiah kemudian lebih memilih "menutup hati" bagi cinta seorang lelaki, karena ia takut setitik cinta buat lawan jenis itu nantinya bisa mengikis sebongkah cintanya kepada Tuhan.

Alkisah, suatu hari datang seorang lelaki kepada Rabi`ah. Tapi, Rabi`ah hanya menanggapi kedatangan lelaki itu dengan enteng. Dia dengan berseloroh bertanya, "Apa yang kamu cintai dari diriku?" Lelaki itu berkata, "Aku terpesona akan keindahan matamu". Rabi`ah, lalu cukup sarkatis membalasnya, "Jika kau terpesona mataku, aku pun tidak keberatan mencongkel mata indah ini untuk kuberikan padamu." Jawaban Rabi`ah itu bukan main-main. Sebab, dia tak mau keindahan matanya bisa membuat ia terhalangi untuk mengabdi kepada Tuhan. Tanpa mata, dia sudah merasa cukup hanya untuk mencintai Tuhan.

Namun, kisah seorang lelaki yang sedang jatuh cinta terhadap sahabat kecilnya dalam novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu karya Paulo Coelho ini juga tak bisa disalahkan meski bertolak belakang dengan pilihan Rabi`ah. Sebab laki-laki dalam novel ini juga dihadapkan pilihan dilematis sebagaimana Rabi`ah. Namun, lelaki itu tak membunuh cintanya meski ia seorang biarawan, sekaligus pemimpin spiritual yang punya mukjizat bisa menyembuhkan orang sakit sehingga mendapat "misi agung" menolong orang yang membutuhkan dan lantaran misi agung itu, ia seharusnya membuang rasa cinta terhadap lawan jenis. Akan tetapi, lelaki itu bukan Rabi`ah, sehingga ia tak membunuh cinta yang berkobar di dada.

Setidaknya, kekuatan "cinta sejati" dan keteguhan memegang "misi agung" secara bersamaan itulah yang sengaja dikemas oleh pengarang lewat novel ini. Sebab bagi Paulo Coelho, cinta sejati terhadap lawan jenis tidak harus dengan serta merta melupakan Tuhan dalam melaksanakan satu misi agung yang memang harus diemban ketika seseorang mendapat tugas keagamaan.
***

KISAH novel karya Paulo Coelho ini, menceritakan cinta sejati seorang tokoh spiritual dan perempuan kampus. Sejak kecil, keduanya sudah bersahabat. Lalu, sang lelaki memilih meninggalkan kota kecil Soria --kota kelahirannya-- untuk keliling dunia. Setelah lama, perempuan sahabatnya itu tumbuh dewasa, lalu melanjutkan kuliah ke Zaragosa. Suatu hari, perempuan itu menerima surat dari sang lelaki yang meminta untuk bertemu di Madrid -saat si lelaki itu punya jadwal ceramah di sana. Di kota Madrid itulah, keduanya kemudian bertemu setelah berpisah selama 20 tahun.

Tapi dari pertemuan itu justru Pijar, si perempuan harus terkejut dan terperanjak. Sebab, ia tak menduga jika sahabatnya sudah mengalami kemajuan. Selain, berpengetahuan luas juga dikenal sebagai pemimpin spiritual ternama. Karenanya, banyak yang terpesona untuk menghadiri ceramahnya. Lebih membuat perempuan itu terkejut, justru laki-laki itu kemudian mengajaknya untuk menemani ceramah di Bilbao dan ia tak bisa menolak.

Lalu, keduanya melakukan perjalanan bersama, menginap di hotel dan pergi ke pegunungan Pyrenees, gereja di Saint-Savin dan sumur dekat alun-alun untuk menghabiskan malam yang tersisa. Di luar dugaan, lelaki itu mengatakan cinta dengan menyerahkan sebuah medali yang sejatinya milik si perempuan yang dulu pernah dimintanya untuk dicarikan sewaktu hilang 20 tahun yang lalu. Saat mendengar ungkapan hati dari si lelaki, perempuan itu ragu meski tidak dipungkiri kalau di dalam hatinya terbersit rasa cinta. Karena itu, ia butuh waktu untuk berpikir dan setelah tiga hari, si perempuan baru menyadari bahwa cinta memang tak bisa dipendam.

Tapi saat ia sudah mencintai sepenuh hati, justru persoalan pada diri si lelaki sebagai seorang murid seminari yang punya mukjizat menyembuhkan orang sakit, sehingga mendapat misi agung melayani Tuhan, membuat sang lelaki sempat berpikir panjang. Jika dia harus meneruskan "hubungan" cinta, maka tak mustahil harus meninggalkan misi agung yang diembannya. Tapi, ia akhirnya memilih melanjutkan hubungan dengan perempuan itu. Dengan komitmen bahwa di tempat mana dan dalam kondisi apapun, ia akan melayani Tuhan dengan menolong orang. Apalagi, ia sendiri telah menyadarkan Pijar yang sebelumnya sudah jauh dari iman.

Lalu, keduanya melanjutkan perjalanan dan si perempuan meminta untuk berkunjung ke biara Piedra, sebelum berangkat ke Barcelona untuk mengunjungi air terjun sekedar mengenang masa kecil dahulu. Tetapi perempuan itu, kemudian terjatuh saat hendak menaiki tebing di balik gua. Untung, penjaga biara menolong dan merawat meskipun si lelaki kehilangan jejak sehingga pontang-panting, mencari ke sana ke mari (Soria, Zaragosa dan Balbio) dan akhirnya dari keterangan biarawati, ia memperoleh kabar tentang keberadaan Pijar, sedang di duduk tepi sungai Piedra menulis "catatan harian". Buku catatan harian itulah yang tak lain adalah novel ini.
***

HARUS diakui, novel tema cinta bukanlah tema baru dalam dunia sastra. Tokoh sekaliber dan sebesar Williem Sakespiare pun membuat orang terpesona setelah dibuai novel Romeo-Juliet. Tidak berlebihan jika novel karya pengarang kelahiran Rio De Janero ini layak untuk diacungi jempol, selain berkisah tentang cinta sejati yang luar biasa, juga karena novel ini sungguh mempesona. Sebab, novel ini tak sekedar menuturkan perjalanan kisah cinta sejati setelah keduanya berpisah 20 tahun, tetapi juga dilingkupi dengan masalah agama (Katolik), Tuhan, Trinitas serta pemahaman "yang lain" dalam diri manusia.

Kelebihan lain, tidak diragukan kalau gaya penuturan Coelho dengan cara membuat novel ini dalam bentuk buku catatan harian. Tak salah, membaca novel ini seolah menguak kisah cinta sejati diri kita sendiri. Apalagi, pengarang novel Sang Alkemis ini cukup lihai dalam "merangkai kata" dengan diksi yang tepat dan tanpa ada kata yang seakan sia-sia.

Karenanya, novel ini mirip sebuah puisi yang punya alur cerita (balada) dan daya sentuh yang luar biasa karena setiap kata yang dipilih pengarang cukup menyentuh hati, meski pengarang memakai sudut pandang pencerita "Aku" (perempuan). Tidak salah juga, kalau dari semua kepiawaian itu, Coelho kemudian dinobatkan sebagai salah satu dari 15 sastrawan ternama serta berpengaruh sepanjang sejarah peradaban sastra.***

*) Nur Mursidi, cerpenis, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta.

Tidak ada komentar: