....

Sabtu, 08 September 2007

Kisah Cinta Seorang Skizofrenik


--------------------------------------------------
Judul buku : Payudara (Sebuah Novel Filsafat)
Pengarang : Chavchay Syaifullah
Penerbit : Melibas, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2004
Tebal buku : 235 halaman
--------------------------------------------------

APA yang ada dalam benak seorang skizofrenik, kalau dia sedang jatuh cinta setengah mati terhadap seorang perempuan? Bisa jadi terpaan halusinasi akan mengalahkan "pikiran sadar" dari pada tindakan yang sadar diri, mungkin lebih pas untuk mengambarkan kecenderungan letupan hasrat cinta itu. Karena, tidak terelakkan, kemunculan gambar dan bayangan yang berlintasan di pikiran sang skizofrenik hampir saja dianggap nyata semua dan benar adanya. Padahal, itu semua tak lebih hanya halusinasi yang dilahirkan si skizofrenik sendiri. Tidak berlebihan jika orang normal, akan tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah si skizofrenik saat semisal, menganggap sebuah poster yang tertempel di kamar adalah sang kekasih.

Tapi kegilaan memang selalu mengundang kontroversi. Tak salah, kalau Michael Foucault dan Sigmund Freud selain cukup berani menganggap "kegilaan" tidak semata-mata sebagai penyakit, juga berhasil merumuskan "teori" dengan brilian. Bagi Fauchault, "kegilaan" tidak harus semena-mena dipisahkan dari rasio. Sementara bagi Freud lebih melihat kegilaan bukanlah suatu penyakit, tetapi potensi manusia yang terpendam dalam ranah unconsciousness yakni alam bawah sadar. Kenapa? Sebab bagi Frued, manusia dihinggapi neurosis, dengan mengidap kegilaannya masing-masing, karena banyak sekali ketidaksadaran yang disimpan dalam relung jiwa itu dan anehnya tak disadari.

Kisah cinta seorang skizofrenik yang "diracik" dengan merefleksikan teori psikologi dan juga filsafat itulah, yang coba diangkat Chavchay dalam novel Payudara ini. Sekilas, memang judul Payudara selain mengundang "kesan" jorok juga sungguh menyesatkan jika itu dianggap mewakili isi novel. Tetapi, kesan itu akan berangsur pupus jika sudah mulai disimak alur ceritanya. Tak ada pengambaran payudara sebagai sebuah materi dan seonggok daging perempuan yang diumbar. Mungkin lebih tepatnya, sebuah telikungan yang disengaja, juga soal pencantuman titel; sebuah novel filsafat.

Kisah dalam novel ini menuturkan seorang skizofrenik bernama; Sakti. Ia setengah mati mencintai Payudara, seorang perempuan juga dokter jiwa yang pernah merawatnya. Karena itulah, segala upaya mulai dari keinginan menulis surat cinta ingin ditempuh agar Payudara tahu "isi" hatinya. Tetapi, setiap kali Sakti mencoba menulis surat cinta, dia selalu gagal. Sebab, kata-kata baginya tak mampu menampung pengertian "cinta" itu sendiri. Itu kian membuat Sakti gelisah. Karenanya, dia selalu berjanji akan menulis surat cinta pada sebuah poster di kamarnya yang dianggap sosok payudara.

Anehnya, poster Payudara di kamar Sakti yang selalu dipujanya adalah sosok Payudara, yang terlukis dari cipratan darah pasien sakit jiwa setelah memotong kakinya dari penghayatan puisi Sutardji yang berjudul Luka. Si gila itu sempat dirawat Bayu, dokter jiwa terkenal, yang kini jadi teman sekamar Sakti. Melihat semua itu, entah karena kasihan atau apa, Bayu lalu mengajak Sakti jalan-jalan daripada diam di kamar.

Sakti yang lapar, tak bisa menolak. Keduanya, keluar menyusuri jalan dan kemudian mampir di sebuah warung. Tetapi, tempat itu ternyata lokalisasi pelacuran. Sempat juga keduanya mencicipi perempuan yang ditawarkan, sebelum kemudian melesak pergi lagi, mencari warung di tempat lain. Lagi-lagi, bukan warung yang ditemukan, kali ini malah tersesat di kuburan. Tahu kalau tempat itu menyeramkan keduanya lalu berlari terbirit-birit. Hanya sayangnya, Bayu tak bisa lari sekencang Sakti, sehingga dia ditangkap Pak Kubri, si penjaga kuburan.

Semula Bayu memang takut, tapi setelah ngobrol dengan Pak Kubri dan memberitahu kalau sepeda motor Bayu juga disimpan Pak Kubri, ia nurut masuk ke pekuburan lagi. Tetapi, betapa terkejutnya Bayu setelah ia tahu Pak Kubri hilang dan ia malah dikerubungi mayat-mayat yang bangkit dari kubur. Untung Isabela --setan perempuan-- menolong dan mengantarnya pulang. Saat keduanya melintas pasar, orang-orang di sana malah mendesak Bayu dan Isabela menikah. Tak cuma itu, pernikahan itu pun dijadikan awal lahirnya revolusi kebudayaan demi sebuah kedamian setan-manusia. Untuk merayakan revolusi itu massa setan dan manusia itu merayakan dengan mabuk sampai berhari-hari, sementara Bayu, Isabela dan Sakti pulang.

Sosok Isabela yang cantik, oleh Sakti pun sempat dikira Payudara dan ia tak habis-habisnya merayu dan ingin menikahinya. Hanya, karena sudah jadi milik Bayu, ia pun mengalah. Tiba-tiba, Sakti teringat sepeda motornya, lalu mengajak Sakti dan Isabela mencari. Saat kembali ke pekuburan itu, ternyata tak ditemukan Pak Kubri. Bahkan pekuburan itu dijaga oleh sekumpulan cacing dan belatung. Sempat ketiganya bentrok dan berpencar.

Tetapi, dalam pencarian itu Sakti menjumpai ada sebuah kuburan baru. Semula, dia menduga itu kuburan Pak Kubri, tapi salah. Sebab setelah di atas kuburan itu dijumpai secarik puisi dan ia sempat berdialog, ternyata mayat yang barusan dikubur adalah Bayu. Sakti heran dan bertanya dalam hati apakah yang menguburnya Sapardi Djoko Damano. Dihadapkan pada keheranan, Sakti pun sejak itu mulai berikrar untuk berkata "tidak". Saktipun sembuh dan menjadi seorang tukang sapu mayat-mayat di jalanan. Dari Aceh ia menyusuri sepanjang jalan hingga kemudian sampai di Jakarta, dan di situlah Sakti bertemu dengan Payudara, sang pujaan hatinya, yang selama ini juga mencari Sakti.

Cerdas juga Chavchey merangkai alur dengan kisah, yang dapat membuat pembaca terkecoh. Sebab, sejak awal Chavchey tak pernah menjelaskan Payudara yang tak lain adalah dokter jiwa yang dicintai Sakti. Payudara, digambarkan tak lebih sebuah poster, juga sosok Isabela (setan). Juga soal sindiran khas yang bernuansa pergerakan politik dalam menggambarkan "revolusi kebudayaan". Lebih tajam lagi, refleksinya terhadap pemikiran filsuf-filsuf yang dikemas dalam bentuk novel tentang konsepsi "cinta" dan tentang tokoh-tokoh di dalam novel yang sebenarnya hanya halusinasi Sakti.

Semua itu, membuat novel ini penuh dengan letupan. Hanya, Chavchav boleh dikata kurang berhasil menggelindingkan bahasa dan diksi dalam menulis novel. Kepiawaian Chavchey dalam menulis puisi, memang boleh memikat, tetapi sama sekali jauh dari kesan itu untuk novel ini. Jadinya, novel ini kurang puitis, meski dalam upaya pendobrakan tabir kegilaan telah sedikit disingkap Chavchey. Apalagi Chavchey dalam novel ini tak menyimpulkan kegilaan sebagai sesuatu yang perlu dikutuk. ***

*) Nur Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng. Kini, wartawan sebuah majalah di Jakarta.

Tidak ada komentar: