....

Selasa, 11 September 2007

Mengajak Remaja Kritis Nonton

(Resensi ini dimuat di Solo Pos, 13 Februari 2005)


Judul buku : Remaja Doyan Nonton; Why Not?
Penulis : Ekky Al-Malaky
Penerbit : Dar Mizan! Bandung
Catakan : Pertama, 2004
Tebal buku : 144 halaman

FILM sebagai satu hiburan -tak pelak lagi- sudah merupakan hal yang tak asing bagi masyarakat, terutama kaum remaja. Bahkan dapat dikata, hampir semua remaja doyan nonton film. Itu terbukti, dengan fenomena semarak dunia film Indonesia yang akhir-akhir ini diputar di gedung-gedung bioskop, selain selalu dipenuhi penonton kaum remaja, juga telah menjadi tonggak kebangkitan film nasional. Sebut misalnya; film Ada Apa dengan Cinta, Eiffel... I'm in Love, Cinta 24 Karat, 30 Hari Mencari Cinta, Mengejar Matahari dan satu film yang baru-baru ini jadi polemik, Buruan Cium Gue.

Tidaklah salah jika Garin Nugroho menilai kalau remaja sebagai "raja penonton" dalam dunia menonton film nasional. Itu karena, kaum remaja sudah menganggap dunia film adalah hiburan dan sosok yang omnipresent. Tapi sayang seribu sayang, ternyata banyak di antara kalangan remaja ternyata seringkali berbondong-bondong pergi ke bioskop lebih sebagai hiburan dan terpesona pada sosok sang bintang pujaan serta sekedar ikut-ikutan teman. Dengan kata lain, mereka jarang sekali mau mengapresiasi untuk mencari pelajaran dari "pesan" yang disampaikan, apalagi untuk memperkaya siraman batin demi merengkuh satu pencerahan.

Untuk itu, Ekky Al-Malaky (penulis buku Remaja Doyan Filsafat: Why Not?) sangat menyanyangkan akan hal itu. Tak pelak, kalau buku Remaja Doyan Nonton; Why Not? ini ditulis oleh Ekky untuk menyapa kaum remaja agar saat nonton film, mereka tidak sekadar mencari hiburan belaka, melainkan menonton dengan nilai lebih dengan jalan mencari "hikmah", pelajaran dan bahkan untuk pencerahan batin. Sebab di balik "pemutaran" film, menurut Ekky, ada sesuatu yang sebenarnya bisa diambil, diteladani dan dijadikan pelajaran untuk hidup ini. Sebab nonton film itu, dapat juga membuka pikiran dan memberikan sebuah inspirasi.

Selain itu, buku ini ditulis Ekky dikarenakan di tengah masyarakat dan keluarga Islam kerap mengeluarkan semacam fatwa larangan bagi anak-anak mereka --remaja-- untuk nonton. Alasan yang kerap dikemukakan adalah nonton itu sesuatu yang tak ada manfaatnya, sia-sia belaka, buang-buang waktu serta bisa melupakan kewajiban dan ditengarai juga -untuk film Hollywood-- merusak citra Islam dengan opini massa penyebaran ideologi sesat lewat misi tertentu (zionisme), seks bebas dan kekerasan.

Padahal pandangan yang didasarkan pada alasan di atas, menurut Ekky, belum tentu benar. Sebab film, sebagaimana dikutip Ekky dari pendapat Yusuf Qardhawi, merupakan karya cipta seni dan budaya sebagai alat komunikasi yang sangat vital untuk mengarahkan dan memberikan hiburan. Kedudukannya netral, seperti "alat atau pisau". Dengan kata lain, tergantung penggunanya. Apakah akan menggunakannya untuk jalan kebaikan atau kemaksiatan. Jadi film maupun bioskop, menurut Ekky, hukumnya halal dan baik. Status hukum film tergantung pada penggunanya --dalam hal ini dari tujuan dibuatnya film atau tujuan kita menontonnya (hal. 32).

Jadi bukan soal perkara hukum Islam atau fiqhnya, tetapi dampak yang ditimbulkannya. Malahan sebaliknya, karena film bersifat memberi hiburan dan manusia hidup di dunia butuh kesenangan, maka hal itu sudah menjadi fitrah. Sah-sah saja dan tak ada yang salah. Apalagi, jika film itu merupakan sarana dakwah, semisal dalam film diketengahkan "nilai buruk" narkoba dan perbuatan zina, maka itu merupakan amar ma'ruf nahi munkar. Karenanya, bukan langkah "bijak" dengan melarang nonton tanpa sebelumnya mengkritisi terlebih dahulu. Apalagi jika larangan nonton itu dimaklumatkan tanpa tahu isi film. Alangkah baiknya, kalau melawan karya film dengan karya film. Dengan jalan, membuat film tandingan.

Sebab, bagi Ekky, film adalah "arsip sosial" yang merekam pernyataan hidup masyarakat sesuai dengan waktu dan tempatnya. Tak salah, jika di balik tanyangan film pastilah ada yang bisa direngkuh dari pesan yang disampaikan si pembuat film. Untuk itu, nonton film harus dinikmati serius, diapresiasi dan kritis. Sebab nonton film (dengan kritis) akan memperoleh banyak manfaat dan tahu pula mana yang buruk dan baik, sehingga pada akhirnya bisa menjaga diri dari pengaruh negatifnya.

Syukur-syukur, jika saat nonton bisa mengkritisi dengan menafsirkan film hingga detail sampai keseluruhan unsur film. Dengan langkah itu, lalu ditindaklanjuti dengan menulis resensi dan kritik film, tak saja mendapatkan keuntungan dengan "menggali makna" yang bermanfaat, tetapi sekaligus menolak hal-hal yang tak asyik. Bahkan lebih dari itu, menurut Ekky, kita sudah ikut berdakwah lewat tulisan (hal. 40) dan juga mendapatkan imbalan honor. Itulah yang sebenarnya dianjurkan Ekky saat dan sesudah nonton film, bukan sekedar mencari hiburan, lantas pesan film dilupakan begitu saja.

Meski buku ini tergolong tipis, namun cukup padat dan bernas penulis memberikan penjelasan tentang dunia film dan seluk beluknya. Bahkan, dalam hal sejarah film, Ekky (yang kini sedang bersiap untuk ujian tesis Jurusan Filsafat UI) malah bisa sampai detail menelisik "awal kelahiran film" sampai perkembangannya di zaman sekarang ini, termasuk sejarah perkembangan film di negeri ini. Lebih dari itu, Ekky mengungkap pula apa yang terlibat di balik film, termasuk keberadaan dan tugas sutradara, produser serta kru-kru lain.

Juga, soal sistematika tulisan buku, bisa dikata tersusun rapi, urut dan detail. Berbeda dengan buku Remaja Doyan Filsafat; Why Not yang terkesan cukup amburadul, dalam buku ini tampaknya Ekky sudah membenahi dengan cukup teliti masalah itu. Buku ini tak lagi tampil apa adanya, tapi runtut, logis, dan bahkan berbobot untuk ukuran buku, jika ditengok buku ini sasaran utama yang ingin dibidik adalah kaum remaja.

Selain itu, gaya tutur yang dipilih Ekky dengan mencomot idiom-idiom remaja dan bahasa ngepop, menjadikan buku ini tak cuma mudah dipahami, tapi juga punya daya greget yang cukup kuat untuk menggugah kepekaan kaum remaja yang doyan nonton, agar mereka tak sekedar nonton untuk mencari hiburan saja tapi nonton guna menemukan nilai lebih; "mengapresiasi film", serta terlebih lagi jika sampai pada upaya menulis resensi film atau kritik film.***

*) Nur Mursidi, cerpenis dan peminat film, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: