....

Selasa, 02 Oktober 2007

Bilik Sempit Perempuan

(resensi ini dimuat di Surya, Minggu, 12 Maret 2006)

Judul buku : Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Pengarang : Ihsan Abdul Qudus
Penerbit : Alifia Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2005
Tebal buku : 248 halaman


Setiap orang, seperti halnya mata uang, memiliki dua sisi kehidupan. Sisi pertama adalah kiprah serta perjuangan demi keberpihakan untuk orang lain. Sebab tak diingkari, manusia adalah makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat sehingga --mau tidak mau-- dia dituntut untuk hidup secara sosial demi kepentingan umum. Di sisi lain, secara individu manusia merupakan pribadi yang memiliki ego yang tidak ingin hidup terbengkalai dan merana. Ada rasa dahaga dalam jiwanya demi meraih kebahagiaan dan kepuasan untuk dirinya sendiri.

Dengan dua sisi itu, seandainya seseorang bisa menggabungkan keduanya, maka ia akan menjadi orang hebat. Tetapi, penggabungan itu mungkin merupakan sesuatu yang sulit. Tidak jarang kita menjumpai orang yang sukses di dunia publik, secara sosial mapan dan cukup populer, namun anehnya dia justru gagal dalam kehidupan rumah tangganya. Potret akan sosok wanita yang sukses di dunia publik, tetapi gagal dalam mempertahankan perkawinan itulah yang diusung Ihsan Abdul Qudus dalam novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan ini.

Novel ini menuturkan kegelisahan seorang wanita yang telah mencapai kesuksesan. Apa yang diimpikan sejak kecil sebagai seorang pemimpin, setelah ia mencurahkan tenaga dan pikiran dalam menjalani hidup dengan tidak menyia-nyiakan waktu sampai harus tak memiliki kesempatan untuk berpacaran dan kerap berseberangan pendapat dengan sang ibu, pada akhirnya jadi kenyataan. Setelah ia lulus, ia mendapatkan jabatan sebagai dosen (dengan gelar doktor). Tak lama kemudian ia mencalonkan diri jadi angota DPR dan tidak mendapatkan ganjalan. Jabatan lain, ia sebagai Ketua Asosiasi Wanita Karier (AWK) dan sekretaris Ikatan Purti Arab (IPA).

Dengan setumpuk jabatan itu, tentu ia bukanlah sosok orang biasa. Ia adalah pemimpin dan sekaligus sebagai seorang wanita yang bisa jadi panutan bagi wanita lain. Apalagi kehidupan dan budaya di tempat ia hidup (Mesir), masih cukup kuat menempatkan wanita hanya sebagai makhluk yang hanya dilipat dalam "ruang sempit", seperti di rumah dan pasar. Tidak salah, jika status dan jabatan sebagai politisi perempuan telah menempatkan dirinya dalam lingkaran elit kekuasaan.

Tetapi, di saat semua cita-cita yang telah diimpikan itu berada dalam "genggaman tangan" ternyata ia merasa dirinya hidup dalam sebuah keterjepitan nasib. Sebagai seorang wanita sukses, ternyata dia tidak bisa mencicipi kebahagiaan sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Hal itu dikarenakan ia gagal mempertahankan keharmonisan rumah tangga yang telah dirajut berasama Abdul Khamid, seorang laki-laki yang memiliki banyak perbedaan dengan dirinya. Ia akhirnya bercerai.

Sebenarnya dia menikmati kehidupan sebagai seorang single parent. Anaknya, bernama Azizah lalu ia titipkan kepada ibunya dan ia aktif kembali sebagai seorang dosen, aktivis politik dan wanita karier yang kerap mengisi seminar. Namun, posisi sebagai seorang janda, ternyata memiliki risiko yang tidak cukup enteng untuk ditangung. Ia kerapkali diterpa isu, terlebih ketika dia mulai dekat dengan seorang aktivis politik kiri bernama Adil. Padahal. ia tak bisa mengingkari kata hatinya bahwa ia mencintai Adil. Namun ambisi politik dan kekuasaan yang bersemanyam kuat dalam dirinya, membuat ia membunuh cintanya itu dan dia memilih keputusan rasional; menikah dengan seorang dokter yang berstatus duda, Kamal Ramzi.

Pemaknaan akan cinta yang dijadikan prinsipnya bahwa "cinta" tak lebih sebagai pengisi waktu luang, ternyata memperpuruk pernikahan keduanya. Saat gesekan dominasi dalam rumah tangga dengan Kamal Ramzi memuncak, ia pun harus menerima kenyataan pahit untuk menjadi janda kembali. Saat itu ia merasa dunia sudah tak lagi diisi sekelompok orang yang berjenis kelamin lelaki-perempuan. Ia kemudian memilih untuk melupakan dirinya sebagai seorang perempuan agar lupa terhadap beban berat yang mencekram hidupnya. Dengan demikian, dia tak lagi merasa gagal dalam menjalani hidup, terutama dalam berumah tangga. Ia melakukan apa saja untuk sekedar melupakan bahwa ia perempuan dengan terjun ke arena politik.

Novel ini boleh dikata luar biasa. Pergulatan batin dari tokoh "aku" (perempuan bernama Suad) dalam mencapai puncak karier, ratapan hati yang merana serta konflik makna cinta dirangkai pengarang dalam bahasa yang sederhana namun tetap mengesankan. Novel ini juga dibubuhi "percikan filsafat", sehingga layak untuk jadi bahan renungan. Lebih dari itu, gugatan kesetaraan gender yang digelindingkan oleh pengarang dituangkan lewat "pergulatan batin" tokoh "aku" perempuan, tentu menjadikan novel ini tak saja jadi bacaan yang penuh inspiratif tapi juga bernuansa pemberontakan terhadap budaya patriarkis.

Hanya sayang, novel yang mencoba menguak sisi batin (psikologis) tokoh aku ini mengalir dalam bentuk narasi yang tak sebanding lurus dengan kekuatan deskriptif (gambaran) pada setting dan latar cerita. Jadinya, penggambaran fisik serta karakter tokoh yang ada dalam novel ini kurang kuat, kecuali karakter tokoh "aku". Akibatnya, novel ini mengalir lancar bak arus sungai ke hulu, tetapi kering akan "situasi" sebagai penguat dari bangunan karakter tokoh-tokoh lain demi membangun kesadaran bagi pembaca.

Belum lagi, masalah kekurangan dalam hal teknis. Novel ini tak disebutkan judul aslinya. Juga, biografi pengarang tidak ditulis di akhir novel ini sebagai pelengkap sebuah buku. Padahal, novel ini memiliki debut serta reputasi yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Artinya, seberapa banyak karya yang telah dihasilkan oleh pengarang tak disinggung sehingga kita seakan-akan diajak menikmati jalanannya cerita, dan menganggap bahwa pengarang telah mati. Namun, semua kekurangan itu tidaklah mengurangi keseriusan pembaca, sebab novel ini cukup memiliki greget. ***

*) Nur Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng.

Tidak ada komentar: