....

Selasa, 02 Oktober 2007

Mengenang sang perajut kebudayaan

(resensi ini dimuat di Sinar harapan, Sabtu 25 Februari 2006)

Judul buku : Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana
Penyunting : S. Abdul Karim Mashad
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2006
Tebal buku : xcii + 555 halaman

SUTAN Takdir Alisjahbana memang telah tiada. Dia telah menutup mata pada 15 Juli 1995, di usia 87 tahun. Tetapi gema gagasan kebudayaan yang sempat diletupkannya 70 tahun yang lalu, saat ia masih berusia 27 hingga kini masih terasa menggedor kesadaran beberapa pemikir negeri ini. Dengan bahasa yang menggebu-gebu, dia tak saja menghendaki kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa, melainkan lewat Polemik Kebudayaan ia juga mencanangkan kemajuan Indonesia agar menjadi sebuah negara modern di tengah globalisasi.

Selain lewat Polemik Kebudayaan, Takdir juga mengamdikan hampir seluruh hidupnya demi masa depan Indonesia. Tak salah, untuk mendukung kemajuan itu ia ingin bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa modern. Karena baginya, bahasa bukan semata-mata "alat untuk berpikir", melainkan pikiran itu sendiri. Modernisasi bisa dikata sebagai "kunci" dari pemikiran Takdir, yang sering diidentikkan orang bahwa ia berkiblat Barat. Padahal, maksud Takdir bukan taklid Barat secara "membabi-buta", melainkan lebih menjadikan "semangat Renaissance" yang telah menjadikan Barat maju sebagaimana sejarah Yunani Kuno dan Islam abad ketujuh sampai ketiga belas bisa mengilhami kebudayaan Indonesia. Itulah yang terus ditabuh Takdir sejak bergulirnya Polemik Kebudayaan sampai dia meninggal.

Tak ingin kenangan sosok Takdir sebagai tokoh besar kebudayaan serta seruak Polemik Kebudayaan sebagai fakta sejarah (sebagaimana dikatakan Taufik Abdillah) yang tak bisa dilupakan karena masih berlanjut di tahun 1980-an, Sukandi (penyunting buku ini) kemudian merekam "serpihan" tulisan tentang sosok Takdir dan Polemik Kebudayaan tahun 1980an itu dari beberapa pakar dan ilmuwan untuk dikumpulkan dalam sebuah buku. Tak ada tujuan lain kecuali untuk mengenang 70 tahun Polemik Kebudayaan menyongsong satu abad S. Takdir Alisjahbana.

Takdir memang tokoh kontroversial. Meski demikian, Takdir adalah pemikir brilian. Sejumlah sebutan tersemat di pundaknya; mulai dari pejuang kemerdekaan, pecinta seni, pendebat yang ulung, pemerhati berbagai bidang kehidupan, seorang filsuf, ahli hukum, dan bapak bahasa Indonesia modern. Lebih dari itu, satu sebutan yang tak bisa ditepis baginya adalah seorang sesepuh dari pemikir kebudayaan.

Dengan keluasan pengetahuan yang dimiliki, tak salah kalau Mochtar Lubis menjuluki Takdir sebagai manusia unggul. Bahkan saat Indonesia belum merdeka, sekitar tahun 30-an Takdir sudah melihat jauh ke depan. Karena itu, Asikin Arif dalam sebuah tulisannya menilai Takdir sebagai pemikir post-modern. Sementara Marwah Daud Ibrahim menjulukinya sebagai seorang futurolog.

Sebagai tokoh multidimensi, Takdir juga tak bisa ditepis dari gelanggang sastra Indonesia. Beberapa sajak dan novel telah lahir dari tangan emasnya, yang selalu dijiwai dengan ide kamajuan dan kemanusiaan. Dalam novelnya, seperti dikatakan Leonard Gultom dan Riris Kusumawati, Takdir tak hanya berbicara Indonesia, tetapi juga dunia, mengharagai perempuan dan masa depan manusia. Meski diklaim condong ke Barat, dalam novelnya ia juga tak menepis nuansa religius dan penghayatan terhadap agama. Malahan, dalam sajak Takdir yang berjudul Menghadapi Maut, yang ditulis di penjara bida dikata cukup jelas akan pegangan Takdir atas agama dan Tuhan.. Hampir dalam sebagian besar sajak dan novelnya, nuansa optimisme juga cukup kuat. Takdir selalu melihat ke depan dan kemodernan dilihat sebagai tantangan yang harus dihadapi dan ditaklukkan.

Sebagai seorang yang kontroversial, Takdir --yang lahir di Natal Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 11 Februari 1908-- bukanlah seseorang yang tak memiliki lawan dalam berdebat. Dengan menjadikan sastra sebagai alat perubahan, Gunawan Mohammad ternyata menolaknya mentah-mentah. Bagi Gunawan, kalau hendak merubah masyarakat bukan lewat sastra, melainkan lewat jalur politik. Setidaknya, Takdir --dikatakan Sutardji Calzoum Bachri-- juga telah menempatkan seni di luar porsinya. Juga, Takdir menolak spesialisasi sebagaimana kritik yang dilontarkan Subagio Sastrowardoyo. Lebih dari itu, Takdir --kritik Arief Budiman-- telah meletakkan "koridor" gagasannya dalam konteks universal, bukan dalam konteks sebuah sistem.

Pengaruh pemikiran Takdir tak bisa diputus dari zamannya, sehingga dapat menancapkan cengkraman amat kuat pada kehidupan sastra dan budaya pada zaman revolusi dan dekade awal zaman kemerdekaan. Afiliasi ke partai politik, pemikiran Takdir pun serasi dengan SPI. Namun saat SPI dibubarkan oleh Soekarno, pengaruh itu kemudian menjadi melemah. Kendati demikian, gaung ide kebudayaan Takdir bukanlah sebuah pemikiran yang tak memiliki gema lagi. Bahkan memasuki tahun 1980-an, Polemik Kebudayaan itu kembali mencuat.

Harus diakui, bahwa buku ini punya niat mulia ingin mengenang dan mencoba memunculkan lagi betapa pentingnya gagasan yang sempat digelindingkan Takdir 70 tahun yang lalu. Karenanya, buku ini tidak saja cukup urgent, melainkan patut diajungi jempol karena bermaksud menorehkan nama Takdir untuk diingat selalu. Selain itu, pilihan akan judul buku ini; Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kemudayaan Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana rupanya pas karena semua orang pasti tak ada yang menolak Takdir disemati sebagai sang pujangga.

Tetapi sayang, buku yang mencoba mengenang sosok dan pemikiran Takdir ini ternyata masih ada satu tulisan yang tak menyinggung sama sekali pemikiran maupun sosok Takdir, yakni tulisan Iskandar Alisjahbana, tentang Perkembangan Kebudayaan dilihat dari Sudut Teori Evolusi. Juga, kelemahan teknis lain, seperti tidak lengkapnya sumber tulisan, tiadanya indeks dan nuansa tulisan gaya lama yang dibiarkan begitu saja.

Tapi, semua hal itu wajar karena setebal apa pun sebuah buku tak akan pernah bisa menorehkan sosok Takdir sebagai "sang perajut kebudayaan". Apalagi kalau bangsa Indonesia sekarang ini sadar akan pentingnya pemikiran Takdir, tampaknya tidak akan separah seperti sekarang ini. Karena itulah, dalam pengantar buku ini, Haidar Bagir sempat berkomentar, "Indonesia sekarang pasti sudah jauh lebih baik kalau saja banyak belajar dari Takdir." ***

*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta.

Tidak ada komentar: