....

Selasa, 02 Oktober 2007

Konstelasi Gerakan Anti-Kapitalisme

(Resensi ini dimuat Surabaya Post, Minggu 9 April 06)


Judul buku : Antikapitalisme
Penulis : Simon Tormey
Penerbit : Teraju, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal buku : xxxiv + 300 halaman

FRANCIS Fukuyama di dalam bukunya The End of History? (1989) berpendapat, bahwa runtuhnya tembok Berlin telah menjadi tanda dari akhir sejarah. Sejarah di sini bukan sejarah dalam arti waktu yang telah berlalu, melainkan dalam terminologi politik. Karena dengan runtuhnya tembok Berlin, diakui atau tidak, bahwa komunisme terbukti tak lagi "ampuh" sebagai sebuah ideologi yang cukup kredibel untuk dipeluk. Dari fakta itu Fukuyama lalu mentasbihkan kapitalisme keluar sebagai pemenang. Pun, anehnya penduduk dunia juga diam-diam mengakui kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi yang memang layak untuk dianut.

Tetapi, sejarah berjalan dengan derap kaki yang tidak terduga, sehingga prediksi Fukuyama itu pun seperti kandas di ujung waktu. Apalagi, kapitalisme tak dapat diingkari telah gagal membawa dunia menjadi lebih baik. Karena itu, gerakan yang mencoba menumbangkan kapitalisme pun lahir, salah satunya adalah perlawanan Seattle. Aksi protes yang terjadi pada bulan Desember 1999 itu dapatlah dimaknai sebagai wujud dari gerakan antiglobalisasi (antikapitalisme). Karena aksi yang telah melibatkan 70-an ribu orang itu, ternyata telah mampu "menghentikan" pertemuan WTO. Pendek kata, aksi itu telah mampu menghadang laju kapitalisme.

Mengapa muncul sebuah gerakan yang ingin mendepak kapitalisme yang sudah tahunan menghuni bumi dan jadi sebuah ideologi yang dianut penduduk dunia? Siapa saja yang ada di dalam aksi itu? Ke mana gerakan itu nanti bermuara? Pertanyaan-pertanyaan itu yang coba dijawab Simon Tormey dalam buku Anti-Kapitalesme ini.

Sebagai sebuah ideologi, kapitalisme dicatat lahir pada awal abad-17 yang semula di-"setting" untuk mendobrak fondasi dari bangunan feodalisme. Tidak salah lagi, jika kelahiran kapitalisme dapat dimaknai telah membebaskan biang perbudakan dan memberi angin segar akan adanya ruang kebebasan bagi manusia. Tetapi, niat suci kapitalisme itu tidak bisa dicatat sebagai "pahlawan sejati" karena pada perkembangannya, toh kaum buruh tak bisa menikmati kehidupan yang layak. Sebab -dalam terminologi Marx- buruh telah dieksploitasi dan ditindas.


Buruh toh tetap saja miskin, sebab tak punya modal dan tak menguasi alat-alat produksi. Apalagi, sejak pecah Perang Dunia II yang menjadikan kapitalisme tidak lagi berskala lokal, dengan model transnasional yang kian menyimpulkan dunia dalam genggaman, justru semakin melipat buruh dan negara berkembang dalam jepitan kemiskinan yang akut. Sebab, negara kapitalis bisa membangun "sebuah kerajaan" bisnis (perusahaan) di negara berkembang, dan lagi-lagi kaum borjuis-lah yang selalu dalam limpahan keuntungan.


Dengan fakta itu, sistem kapitalisme dianggap tak adil. Meskipun tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet pecah dalam kepingan negara-negara kecil, toh gerakan yang bermaksud menumbangkan ideologi kapitalisme tak serta merta ikut mati. Gerakan anti-kapitalisme muncul dalam varian ideologi serta organisasi. Tormey dalam buku ini, memetakan gerakan antikapitalisme (disebut juga antiglobalisasi, antikorporasi dan antineoliberalisasi) dalam dua kelompok dan mencatatnya sebagai kelompok reformis dan radikal. Secara mudah, kelompok antikapitalisme reformis bisa dimaknai mencoba menentang kapitalisme korporasi, tetapi tidak dalam artian kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, dalam terminologi kaum reformis, hanya ingin memperbaiki nasib orang yang dimarginalkan. Dalam kelompok ini, bisa dicatat ada gerakan intervensionisme liberal dan sosial demokrat.


Adapun kelompok yang berhaluan radikal, tampaknya tidak mau tanggung basah dalam pelukan kapitalisme lanjut, karena itu kelompok ini menginginkan pembebasan dunia dari kapitalisme, termasuk adanya kepemilikan pribadi serta alat-alat produksi. Yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah aliran Marxis (juga neo-marxis), anarkis dan radikal lingkungan (enveronmentalisme). Bahkan bisa ditambahkan, Zapatismo.


Dari semua gerakan itu anehnya tak bisa dikerucutkan dalam satu wadah ideologi tunggal sehingga antara satu kelompok dengan kelompok lainnya kadang memiliki perbedaan cukup tajam. Apalagi dalam gerakan anti-kapitalisme, tidak ada kitab suci yang bisa dirujuk. Toh, kalau kemudian ada "figur-figur utama" seperti; Marcos, Naomi Klein, Walden Bello, Susan George, Noam Chomsky, Toni Negri, Jose Bove, perjuangan gerakan antikapitalisme kerap dicatat sebagai "gerakan tanpa pemimpin".

Selain itu, gerakan anti-kapitalisme juga telah "gagal" memunculkan wajah baru dari konstruk ideologi seandainya kapitalisme bisa ditumbangkan. Karena itu, gerakan anti-kapitalisme dianggap tidak memiliki muara. Sebab, ke mana dunia ini akan dibawa oleh "gerakan" itu? Tak jelas!

Bisa dikatakan, sebagai buku pengantar yang coba memetakan gerakan anti-kapitalisme, buku Tormey ini cukup gamblang memberikan pilihan dan rasionalisasi akan varian gerakan anti-kapitalisme. Apalagi, sebagai seorang ilmuwan, Tormey (guru besar politik dan teori-teori kritis di Universitay of Nottingham, Inggris) boleh dicatat "berdiri di kursi" pijakan yang netral. Tak salah, ulasan yang diberikan dalam buku ini, bisa terpaparkan dengan cukup obyektif.

Tetapi, tak bisa dimungkiri kalau ada yang luput dalam sorotan Tormey sehingga karakter umum serta contoh gerakan yang dipetakan pun, kemudian tak digambarkan dengan detail. Juga, soal kekurangan pemaparan aspek historis dan adanya perbedaan-perbedaan secara ketat yang itu melandasi bangunan aksi dari gerakan anti-kapitalisme yang hakekatnya cukup luas dan beragam.

Terlebih, kalau mau berbicara jauh mengenai perkembangan anti-kapitalisme kontemporer dengan "cengkraman" sistem neo-liberalisme yang telah menjadikan dunia seperti sebuah perkampungan kecil, di sini Tormey tidak memasukkan pula bagaimana perkembangan gerakan antikapitalisme yang terjadi di Venezuela, Vietnam dan Kuba. Padahal, gerakan anti-kapitalisme di tiga negara itu tidak bisa dinafikan begitu saja!


*) n. mursidi, alumnus Theologi-Filsafat UIN, Yogyakarta.

Tidak ada komentar: