....

Selasa, 02 Oktober 2007

Mozart di mata Sang Ayah

(Resensi ini dimuat di Riau Mandiri Minggu 7 Mei 06)

Judul buku : Mozart; Simponi Hidup Sang Maestro
Penulis : Peter Gay
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal buku : 233 halaman


SEJARAH mencatat nama Mozart sebagai komposer besar yang menjulang tinggi bak intan permata. Meski Mozart tak sempat berumur panjang justru takdir telah menjadikan Mozart sebagai legenda. Sebab alunan dan variasi musik nan indah dari susunan nada ciptaan Mozart, tidak dimungkiri hingga 200 tahun kemudian masih dinikmati manusia seantero dunia. Mozart pun dikenal sebagai sosok dan maestro musik legendaris yang mungkin tidak akan pernah lahir lagi dalam sejarah dunia.

Sebagai sang maestro di dunia musik, sejarah kehidupan Mozart tidak bisa ditampik merupakan sejarah agung yang memikat untuk disimak. Tidak salah jika tidak sedikit buku tentang kehidupan Mozart ditulis orang. Salah satu dari buku itu adalah Mozart; Simponi Hidup Sang Maestro, karya Peter Gay. Buku karya seorang sejarawan dan penulis yang sudah kenyang akan penghargaan ini selain mengisahkan tentang kehidupan Mozart sejak kecil hingga meninggal, juga memotret hubungan subtil antara Mozart dengan sang ayah.

Dilahirkan di Salzburg, 27 Januari 1756, Mozart memiliki nama lengkap Joannes Christostomos Wolfgang Gottlieb Mozart. Terlahir sebagai anak bungsu dari Leopold Mozart --musisi profesional, violis, serta asisten konduktor (seorang kapelmaster) pada pangeran-uskup di Salzburg-- Mozart adalah metoer yang dimiliki Leopald. Saat berusia 5 tahun, Mozart sudah mampu mengusai beberapa instrumen dengan cakap, dan di usia 6 tahun Mozart sudah ikut tour ke Munich, pada Januari 1762 yang mengundang decak kagum banyak orang. Sukses itu, kemudian membuat Leopold tahun 1763 mengadakan tour akbar selama tiga tahun ke London, Paris serta negara-negara Eropa lain.

Saat pulang pada 1766, Mozart sudah berusia 10 tahun. Kemampuan Mozart sebagai komposer tak diragukan lagi. Sebab selama tour itu Mozart selain menjadikan sebagai ajang meraup uang juga untuk menimba ilmu. Ketika di Italia, Mozart belajar kepada Padre Martini di Bologna untuk kontrapung. Ia juga belajar banyak pada Johann Christian Bach yang banyak berpengaruh baginya. Tak cuma itu, kepada Joseph Haydn, Mozart belajar kuartet. Tidak salah, jika beberapa tahun kemudian Mozart lebih dikenal daripada sang ayah, Leopold.

Meski menguasai hampir semua genre, tapi minat Mozart terhadap seni drama yang terkandung dalam opera justru mengarahkan seluruh bakatnya pada seni lakon. Dari situ, konserto-konserto piano dan simfoni-simponi lebih memberikan wadah baginya untuk mengekspresikan bakat itu di bidang seni drama. Mozart pun, akhirnya dikenal sebagai komposer sekaligus dramawan.

Memang benar, sudah tak terhitung buku Mozart yang ditulis oleh para penulis biografi. Tetapi buku ini tak ditepis memiliki sudut pandang lain karena coba memotret hubungan epidemik antara Mozart dan sang ayah. Seorang ayah, diakui atau tidak, adalah motor yang mencetak sang anak jadi manusia agung atau manusia biasa. Leopold rupanya orang yang berjasa besar mencetak Mozart sebagai sang musisi. Sejak masih belia, Mozart pun tahu siapa yang paling berjasa melambungkan namanya. "Selain Tuhan," katanya, "Papa-lah yang paling banyak berjasa."

Hal itu tak bisa ditepis. Sebab Leopold adalah guru, kolaborator, penasehat, perawat, sekretaris, impresario, agen pres, sekaligus pemandu bagi Mozart. Tetapi, hubungan baik Leopold dengan Mozart itu tak berlangsung "lama". Ada dua peristiwa yang telah membuat hubungan itu renggang. Pertama, pilihan Mozart untuk pindah dan tinggal di Wina. Alasan kepindahan Mozart itu karena di Salzburg ia merasa tidak nyaman dan hubungan baik antara Mozart dan Colorado, rupanya kian menambah runyam sehingga dia tak bisa lagi mengandalkan kota itu untuk sebuah keberuntungan. Peristiwa yang kedua, adalah pilihan Mozart yang nekat menikahi Constanze Weber. Padahal, sang ayah tidak memberikan restu.

Sejak itu hubungan keduanya tidak lagi mesra. Leopold tak mau tahu, sekalipun Mozart sebagai orang genius bisa menghasilkan uang, toh kenyataannya Mozart bukan seorang manager keuangan yang baik. Akibatnya, Mozart jatuh dalam kubangan utang akibat gaya hidup yang royal dan tuntutan "gengsi". Padahal, jika dihitung dari penghasilan Mozart, sama sekali tidak ada yang kurang.

Mungkin tragis jika orang sekaliber Mozart hidup dibelit utang, sampai kematian menjemputnya pada 5 Desember 1791 dalam usia 35 tahun. Dunia pun bersedih ditinggal mati sang komposer, dramawan dan sang maestro musik yang sulit dicari tandingannya. Sebab Mozart adalah si anak ajaib yang sulit ditiru jejaknya. Dapat dipahami kalau Robert Schuman kemudian menobatkan Mozart sebagai salah satu dari tiga genius musik, bersama Johann Sebastian Bach dan Beethoven.

Buku yang menyoroti konflik epidemik antara Leopold dengan Mozart ini bisa dikatakan cukup berhasil menguak kehidupan Mozart yang telah dicapai di bidang musik sekaligus menampilkan komposer itu dalam menjalin hubungan dengan sang ayah. Rekaman Gay dalam menampilkan kondisi psikis Mozart yang selama ini tak diketahui banyak kalangan, rupanya bisa dikuak dengan cukup memukau.

Apalagi dengan sejumlah dokumen, berupa surat-surat yang ditulis Mozart, Gay tidak gegabah dan cukup kritis memberikan ulasan dan analisis. Hal itu terbukti, sekalipun dalam surat dijumpai hal-hal yang kontroversial, toh Gay tetap obyektif. Karena itu, buku ini dengan keras menolak segala mitos, upaya pelegendaan dan desas-desus yang mengitari kehidupan Mozart, terutama tentang kematian Mozart yang konon diisukan dikuburkan di pemakaman orang-orang miskin.

Karena bagi Peter Gay, Mozart adalah seorang musisi besar yang cukup genius, cemerlang dan telah mengilhami sejumlah musisi setelah dia meninggal. Dengan demikian, kehidupan musik Mozart telah cukup mengagumkan tanpa perlu diimbuhi keterangan-keterangan palsu. ***

*) n_mursidi, alumnus Aqidah-Filsafat UIN Kalijaga, Yogyakarta. Kini, staf peneliti Pusat Pemajuan Kebudayaan (PPK), Jakarta

Tidak ada komentar: