....

Minggu, 15 Juni 2008

menguak misteri dan kiprah ksatria templar

resensi buku ini dimuat di Surabaya Post, Minggu 15 Juni 08

Judul buku : Messiah Conspiracy: Kesatria Templar, Vatikan & Injil Kristus: Misteri Injil Tulisan Tangan Kristus Sendiri
Pengarang : Raymond Khoury
Penerbit : Dastan Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 665 halaman


SEJARAH perkembangan setiap agama, ternyata nyaris tidak bisa dikatakan bersih dari bercak darah. Tak terkecuali kemapanan agama Kristen dalam memelihara ajaran-ajaran Yesus terkait dengan kebenaran religius yang harus dijaga dari unsur bid`ah. Tapi ironisnya, kekuasaan Gereja yang memiliki otoritas untuk menjaga bangunan teologi dan dogma agama, justru menyimpan sejumlah 'catatan hitam' dalam peta sejarah. Hanya semata-mata demi alasan menjaga keimanan umat, tak segan menjatuhkan tuduhan terhadap ordo -kelompok- tertentu, dan bahkan melakukan pembantaian dengan sadis, seperti keberadaan kesatria Templar dan ordo Kuil.

Seiring perjalanan sejarah, rahasia tentang pembantaian tersebut telah ditutup-tutupi dengan rapat oleh kekuasaan Gereja. Tetapi, dengan perpegang tegung pada prinsip bahwa kebenaran sejarah -apalagi terkait dengan agama- tak dapat ditutup-tutupi dengan rapat, lewat novel Messiah Conspiracy: Kesatria Templar, Vatikan & Injil Kristus: Misteri Injil Tulisan Tangan Kristus Sendiri ini, Khoury dengan berani membeberkan rahasia terkait keautentikan gospel gnostic yang ternyata tidak dijadikan sebagai "rujukan" dalam penulisan Perjanjian Baru dan sepak terjang Kesatria Templar dalam melacak perkamen kuno (injil) tulisan tangan Yesus yang justru berakhir mengenaskan karena dibasmi Gereja.
***

NOVEL yang aslinya berjudul The Last Templar ini, diawali Khoury dengan cerita hilangnya rotor pembuat sandi-multi roda gigi (di The Met Museum, New York). Motif empat penunggang kuda ber-baju besi abad pertengahan yang telah mencuri benda kuno tersebut jelas meninggalkan tanda "tanya besar". Maka FBI --di bawah pimpinan Sean Reilly- segera melakukan investigasi. Tapi sebelum FBI menemukan motif pencurian tersebut justru menjumpai tiga dari empat penunggang kuda yang berhasil menggondol rotor itu tewas mengenaskan.

Ketika FBI disibukkan dengan investigasi, Tess Chaykin --arkeolog sekaligus saksi peristiwa di The Met-- justru tergelitik untuk meneliti. Makanya, ia kemudian menemui William Vance yang dikenal sebagai ahli sejarah Templar. Tapi pertemuan itu justru membuat Tess tahu jika Vance tak lain adalah penunggang kuda keempat. Kontan, Tess kaget. Apalagi Vance dengan jujur menjelaskan rotor itu dicuri untuk memecahkan kode manuskrip peninggalan Kesatria Templar yang ditemukan di Languedoc. Vance bahkan mengajak Tess bekerjasama mengungkap rahasia manuskrip itu, dengan tujuan agar dunia tahu kebenaran yang telah ditutupi Gereja selama ratusan tahun.

Tapi Tess menolak. Setelah Tess bisa memecahkan kode manuskrip itu lalu ia terbang ke Turki (bersama Sean) mencari Sumur Willow di sebuah gereja yang tenggelam danau. Tapi, apa yang didapat? Ternyata hanya astrolable. Itu pun akhirnya direbut oleh Vance. Bahkan Monsignor De Angelis (dari pihak Vatikan) tiba-tiba datang. Kehadiran Angelis itu membuat Tess sadar, bahwa Vance tidak di pihak yang salah. Karena itu, ia kemudian meninggalkan Sean. Bersama Vance, ia pergi ke Piraeus di Athena Yunani melacak hilangnya The Falcon Temple yang tenggelam membawa rahasia yang ditemukan kaum Templar 700 tahun lalu. Karena Gereja tak ingin dipermalukan, Angelis menggeret Sean untuk menyusul Tess.

Sesampai di Pieaeus, Vance dan Tess menyewa kapal guna berlayar ke laut Mediterania. Vance dan Tess pun bisa menemukan "benda berukiran kepala elang" yang berada di kapal The Falcon Temple. Tapi sayang, badai kencang di tengah laut membuat Vance, Tess, De Angelis dan Sean tergerus ombak. Perkamen yang jadi rebutan itu ikut tenggelam. Tapi Tess dan Sean selamat di kepulauan Marathounda (di perairan Turki). Ketika Tess berjalan di tepi pantai, tanpa sengaja justru menemukan kepala elang itu. Setelah membuka, ia terguncang saat melihat kotak kayu yang sudah tenggelam selama 700 tahun dalam kapal The Falcon Temple itu --dimasukkan William dari Beaujeu lalu dipercayakan kepada Aimard dari Villiers-- berisi naskah kuno bahasa Aramaic. Tess tak ragu bahwa tulisan dalam bahasa Aramic itu adalah tulisan tangan Yesus.

Tess lalu menunjukkan naskah kuno itu kepada Sean, tetapi tanpa diduga Vance (yang ternyata selamat pula) muncul merebut naskah tersebut. Sean mengejarnya. Rupanya, Vance belum beruntung. Ia terpeleset ke jurang di tepi lautan, lembaran-lembaran tulisan tangan Yesus berhamburan jatuh ke laut. Tak pelak, perkamen itu luntur kena buncahan atau rembesan air. Tess hanya berhasil menyelematkan satu lembar yang tak berarti apa-apa!

***
TAK pelak, kalau hipetesa Khoury dalam novel ini dapat mengundang kontroversi. Melengkapi gugatan The Da Vinci Code, Daughter of God, dan The Holy Blood end The Holly Grail terhadap "otoritas" Gereja dalam memberikan tafsir tunggal atas kebenaran religius terkait masa awal agama Kristen, sang pengarang yang mendapatkan anugrah International Emmy Award ini harus diakui berani mengemukakan tafsir kontroversial. Karena selama ini kesatria Templar kerap "dicitrakan miring", justru penulis naskah drama bertaraf internasional ini mencatat kesatria Templar sebagai pahlawan.

Kepahlawanan kesatria Templar bukan semata-mata karena keterlibatan mereka dalam perang salib, melainkan lebih pada misi untuk menemukan injil tulisan tangan Yesus. Karena isi Perjanjian Baru --menurut Khoury-- tak lagi outentik padahal itu menjadi rujukan kehidupan umat Kristiani. Jelas, dalam konteks ini, gugatan Khoury dengan hipotesa Kesatria Templar mau menyatukan tiga agama besar dunia (Islam, Kristen dan Yahudi) dengan naskah tulisan tangan Yesus itu, serasa menempelak dunia. Hipotesa itu dibuktikan Khoury bahwa Kesatria Templar yang didirikan Houghes de Payens yang selama ini dikenal sebagai pejuang perang Salib yang telah membela peziarah ternyata hanya kedok, karena ia menemukan runtutan sejarah bahwa pendiri kesatria Templar berasal dari Languedoc dan beraliran Chatar.

Debut Khoury patut diacungi jempol. Dengan kemampuannya merangkai dua cerita dalam satu novel, dia tak saja telah mengungkap sejarah Templar tapi menarik tali sejarah dengan masa sekarang. Lebih dari itu, dengan alur yang tak mudah ditebak dan setting yang melintasi tiga benua (dari Amerika ke pegunungan di Turki dan kepulauan terpencil di Yunani hingga Vatikan), membuat novel ini menyeret pembaca dalam pusaran sejarah yang mengundang rasa penasaran. Apalagi pengarang --naskah Spooks ini-- mampu menggabungkan ketegangan dalam alur cerita. Tak salah, membaca novel ini terasa seperti terbius arus sejarah di masa lampau yang mengalir pelik dan berliku.***

*) n. mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tangerang.

Tidak ada komentar: