....

Senin, 05 November 2007

Kisah Nefertiti dan Sepenggal Sejarah Mesir

resensi ini dimuat di Ruang Baca, Koran Tempo (edisi 39 Juni 07)

Judul buku: Nefertiti; The Book of the Dead: Ratu Mesir, Dewa Matahari & Penguasa Dua Dunia
Pengarang: Nick Drake
Penerbit: Dastan Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 589 halaman


NOVEL berlatar sejarah tak jarang ditulis pengarang dengan pretensi memberikan 'tafsir baru' atas fakta masa lalu. Apalagi jika itu terjadi puluhan abad lampau dan perihal Nefertiti, permaisuri raja Amenhotep IV, yang dikenal cantik, karismatik, punya kekuasaan yang nyaris sepadan dengan sang suami, tapi menyimpan seribu misteri. Sejarah mencatat, ia pernah hilang lalu kembali dan pernah memerintah Mesir meski hanya beberapa tahun setelah suaminya meninggal.

Tak pelak, 'hipotesa' pengarang dalam memberikan warna sejarah seputar kehidupan Nefertiti sebagaimana yang digarap Nick Drake dalam novel ini merupakan "rekonstruksi sejarah" atas misteri tersebut. Ada pendapat yang menyebut Atenisme sudah digemakan Akhenaten pada tahun ke-4 setelah ia memerintah dan pembangunan ibu kota Akhetaten sudah usai pada tahun ke-9 pemerintahan Akhenaten. Namun, dengan berani, Drake menyimpulkan lain, terlebih soal asal Nefertiti yang tidak lain anak Ay.

Apa hipotesa Drake itu benar? Agak susah membuktikannya, mengingat tak ada catatan sejarah yang valid untuk dijadikan referensi. Tak salah jika novel ini merupakan tafsir baru atas misteri masa lalu Mesir dan Nefertiti yang dilingkupi mitos; dikenal sebagai wanita cantik--diterjemahkan dari namanya; "wanita yang cantik (atau sempurna) telah datang". Bahkan hingga kini, ia masih dikenal luas berkat patung dada-nya yang tersimpan rapi di Museum Altes, Berlin.

***

SETELAH mewarisi tahta dari ayahnya Amenhotep III, Amenhotep IV (kemudian dikenal sebagai Akhenaten, Pharaoh atau Firaun Dinasti ke-18 Mesir yang memerintah sejak 1353 sampai 1335 SM) ingin membangun Mesir menuju puncak kemajuan. Karena itu ia memindahkan ibu kota Thebes ke Akhetaten dan membangun kota tersebut dengan megah. Bersamaan itu, ia dan Nefertiti memperkenalkan "agama baru"; memuja dewa tunggal Aten (dewa Matahari) dan keduanya "memproklamasikan diri" sebagai sosok agung inkarnasi dan sekaligus penyambung lidah dewa Aten.

Pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten, kota Akhetaten yang jadi "pusat penyelenggaraan" keyakinan sekaligus ibu kota Mesir siap diresmikan. Tapi, menjelang kota Akhetaten (sekarang dikenal Amarna) itu diresmikan, tiba-tiba permaisuri menghilang. Raja kelimpungan. Tidak ingin semua berantakan, ia memerintahkan Rahotep, kepala detektif muda satuan Medjay devisi Thebes, menemukan ratu dengan memberi waktu sepuluh hari sebelum festival peresmian ibu kota. Raja tahu, tanpa Nefertiti, peresmian itu akan sia-sia apalagi sang ratu memiliki pesona yang menjadikan rakyat tunduk menganut agama baru.

Rahotep tak punya pilihan, kecuali segera bertindak. Didampingi Khety dan Tjenry, dia segera melakukan investigasi, sebab jika ia gagal, keluarganya akan dibasmi. Aksi Rahotep menjadikan kisah kian runcing, terlebih ada yang tak menghendaki kehadirannya di Akhetaten. Akibatnya, ia dihadapkan pada kesulitan birokrasi dan teka-teki; dari penemuan mayat perempuan dengan wajah rusak yang memakai pakaian sang ratu, disusul kematian Tjenry di kamar mayat dengan lidah terpotong, mata tercukil serta otak terkoyak dan terakhir kematian Meryra--kepala bendahara kerajaan yang baru diangkat menjadi pendeta tinggi Aten--yang dibakar hidup-hidup.

Serentetan kematian misterius itu kemudian membuat Mahu--kepala Medjay Akhetaten--murka dan memaksa Rahotep mengundurkan diri. Tapi Rahotep menolak dan saat ia pulang justru menemukan tulisan di catatan jurnalnya yang ditulis orang tak dikenal, yang menuntunnya bertemu dengan Nefertiti yang ternyata belum meninggal karena ia sengaja melarikan diri setelah tak kuat menghadapi setumpuk masalah: bertengkar dengan suami, pelik dalam menghadapi konspirasi perebutan kekuasaan, sehingga memilih mengasingkan diri guna mencari jalan keluar.

Pertemuan dengan sang ratu membuat Rahotep lega, karena ia tak jadi mati. Tapi, sang ratu justru memberi tugas baru buatnya untuk mengawasi konspirasi. Tugas itu bisa dimaklumi, karena sang ratu tahu rezim Akhetaten banyak ditentang setelah melarang agama lama lantas menggantinya dengan agama baru. Rahotep tak punya pilihan. Apalagi, bagi Rahotep, permaisuri sudah ditemukan dan tinggal menunggu waktu peresmian ibu kota. Akhirnya peresmian ibu kota tiba dan anehnya semua berantakan.

Nefertiti memang kembali, tapi badai datang saat peresmian. Kerajaan kacau, konspirasi perebutan kekuasaan tak terhindari setelah Horomheb (tokoh baru angkatan bersenjata yang menikahi adik Nefertiti) memproklamasikan diri sebagai pemimpin. Tapi kemunculan Ay (paman, penasihat Akhenaten, dan sekaligus kepala pasukan berkuda kerajaan), yang meminta Nefertiti untuk meninggalkan Dewa Aten dan kembali menyembah Dewa Amun, memberikan harapan baru bagi kejayaan Mesir.

***

DENGAN memakai sudut pandang pencerita "aku" Rahotep (sebagai sang pembongkar misteri), Nick Drake menafsirkan sejarah masa lalu Mesir, membongkar timbunan misteri Permaisuri yang konon menyimpan sejuta teka-teki. Hasilnya, "sejumlah hipotesa" mungkin saja menyentak pembaca. Tapi, hasil temuan pengarang kelahiran 1961 (yang dikenal sebagai penyair, juga penulis skenario terkemuka) ini memang patut diacungi jempol. Dia jelas tidak asal tulis namun telah melakukan riset sejarah. Mungkin saja, jika ada kelemahan, tak lain semata-mata Drake menggambarkan latar Mesir kuno tampak lebih modern dari masa itu.

Kendati setting sejarah novel ini terjadi 3.500 tahun lampau, novel ini tetap terasa dekat, seakan terjadi kemarin sore di belahan negeri mana pun. Masalah kecuriagaan, kekacauan, perebutan kekuasaan, pemaksaan agama, pembanguan ibu kota yang tak seimbang (dari segi fisik dan ruhani), rasa curiga, takut dan tiada kebebasan adalah setumpuk persoalan di negara mana pun.

Tak salah, jika novel debutan pengarang yang kini tinggal di London ini seakan mengolok-olok Indonesia yang hingga detik ini masih dilanda persoalan yang mirip dengan Mesir di masa lalu. Tak berlebihan jika novel ini masuk nomine novel terbaik Ellis Peters Award. (n. mursidi, cerpenis tinggal di Cileungsi, Bogor)

Tidak ada komentar: