....

Jumat, 02 November 2007

Kisah Sang Juru Selamat Kedua

(resensi ini dimuat di KORAN TEMPO (RUANG BACA, edisi 36 Maret 2007)

NOVEL yang kental bermuatan teologis memang kerap mengundang kontroversi, tak terkecuali Daughter of God karya Lewis Perdue ini. Apalagi, karya pengarang yang tinggal di California ini tidak berbeda jauh dengan The Da Vinci Code, karya Dan Brown yang ‘menyerang’ fondasi Gereja terkait “kebenaran religius” yang terjadi pada masa awal sejarah Gereja. Hanya saja, Daughter of God—yang terbit tiga tahun lebih dulu—tak seheboh The Da Vinci Code. Meski demikian, serangan yang dilancarkan Perdue tak kalah telak.

Bila dalam The Da Vinci Code Brown mengisahkan Maria Magdalena yang dinikahi Yesus dan melahirkan anak, tapi tidak diakui Gereja, Daughter of God mengungkap kelahiran Sophia sebagai Sang Juru Selamat Kedua yang kebetulan wanita, yang juga tak diakui Gereja. Pasukan Constantine dan Gereja justru membunuh Sophia, lalu menyimpan rahasia itu dalam lipatan sejarah.

Sama dengan pengakuan Brown yang meng”klaim” The Da Vinci Code sebagai novel yang ditulis akurat berdasarkan riset sejarah, Perdue pun menulis novel ini berdasar fakta. Daughter of God, tak pelak, melengkapi deretan bukubuku yang mengungkap citra miring Vatikan.

***

DAUGHTER of God dibuka dengan kemunculan Willi Max setelah lama bersembunyi seusai Perang Dunia II. Ia dikenal sebagai mantan sersan Nazi yang menyimpan banyak benda seni hasil jarahan Hitler. Tidak ingin dihantui dosa, lelaki tua itu meminta pialang seni bernama Zoe Ridgeway untuk mengurus pusaka itu agar dikembalikan kepada pihak-pihak yang berhak. Tapi, sebelum benda-benda seni itu diurus Zoe, Wisma Kreuzlingen milik Max—tempat menyimpan benda seni itu—keburu dijarah mafia Rusia dan dibakar. Max ikut terpanggang api. Mati. Bersama itu, mereka menculik Zoe.

Untungnya, Max telah mengirim lukisan Stahl yang menjadi incaran banyak pihak kepada Seth Ridgeway, suami Zoe. Akibatnya Seth dikejar-kejar banyak pihak yang berkepentingan memiliki lukisan Stahl berjudul The Home of Lady Our Redeemer itu, termasuk pihak Gereja yang berada di bawah pimpinan Neils Braun. Dari situ jalinan kisah kian runcing karena Seth menjadi target pembunuhan. Seth melarikan diri ke Amsterdam dan Inggris, lalu kembali ke Zurich lantaran ia harus mencari Zoe.

Setelah bertemu Weinstock, Seth mendapat sedikit informasi. Berbekal penyelidikan tambahan, ia akhirnya tahu, di balik lukisan Stahl itu tersimpan rahasia yang sengaja dikubur pihak Gereja. Lukisan itu adalah kunci untuk mengambil kotak yang menyimpan kain kafan Sophia. Di kotak itu pula tersimpan riliqui yang mengungkap kisah Sophia Sang Penyelamat Kedua yang meninggal dibunuh pasukan Constantine-Gereja, lalu disimpan rapat-rapat, tapi jatuh ke tangan Hitler dan digunakan sebagai senjata untuk membungkam Paus Pius XII.

Seth tak bisa mengelak dari kasus ini. Maka, ia menemui Yost yang dulu membingkai lukisan Stahl dan sempat mengurusi barang-barang seni jarahan Hitler. Atas saran Yost, setelah Seth bertemu dengan Zoe yang lolos sekapan mafia Rusia, keduanya dibantu Stratton dari NSA (Badan Keamanan Nasional AS di Zurich) membawa lukisan Stahl ke Bank Thule Gesellschalf guna mengakses kotak deposit. Dengan kunci dari kotak deposit itu, mereka menemui Morgen (yang dulu menjadi pendeta di kampung dekat tambang garam) yang mengetahui keberadaan kotak emas Sophia. Bersama Morgen cs, mereka lalu pergi ke Alt Aussee untuk mengambil kotak emas yang tersimpan kurang lebih 40 tahun itu di tambang Habersam.

Di luar dugaan Seth, setelah kotak emas berhasil diambil, Stratton merebutnya lalu kabur ke Innsbruck menemui Neils Braun. Dengan kotak emas itu, Braun memang berencana “menuntut” Paus agar menggelar College of Cardinals sebab mantan Uskup Agung Wina itu ingin menggulingkan Paus. Sebelum ‘niat’ Braun terwujud, Seth menghalanginya dengan menyerang tempat tinggal Braun di Innsbruck. Dalam penyerangan itu, Braun mati terbakar bersama kotak emas yang dipeluknya erat-erat.

***

MESKI berdasarkan “fakta”, Daughter of God tetap sebuah fiksi. Novel ini ditulis dengan serius. Si pengarang menyempatkan diri mewawancarai Heinrich Heim di Munich, seorang Nazi tulen, perihal penelusuran benda seni hasil jarahan Hitler yang hilang. Berangkat dari cerita Heim dan foto lukisan Stahl yang diberikan Heim, Perdue melacak keberadaan lukisan Stahl di Zurich yang kemudian menjadi latar novel ini. Dalam pelacakan itu, pengarang sempat merasakan gelagat kematian yang kemudian mengukuhkan “ketegangan” dalam novel ini.

Perdue juga lihai merangkai cerita dan terampil dari segi “teknis penceritaan”. Maka, novel ini pun cukup kuat karena Perdue masih membangun dialog antar tokoh-tokohnya yang tak sekadar “tempelan”, sehingga novel ini serasa seperti ungkapan “sejarah nyata”. Apalagi, dalam dialog itu, Perdue berani membeberkan tafsir kontroversialnya semisal penjelasan tentang Konsili Nicea 325 yang menurutnya tidak lebih akal-akalan Constantine guna menyatukan sejumlah aliran dalam wadah tunggal di bawah keputusan Tritinas. Dari situ, ia berpendapat, Konsili Nicea telah melahirkan agama tidak lebih sebagai dogma yang berlandaskan politik, bukan spiritualitas. Padahal waktu itu Contantine, menurut Perdue, belum dibaptis.

Perdue menafsirkan pembunuhan Sophiasebagai bentuk pembungkaman wanita suci agar tidak memiliki tempat di Gereja. Karena itu, “kain kafan Sophia” disimpan rapat-rapat. Yang perlu dicatat, bagian Sophia dalam novel ini adalah tafsir kontroversial Perdue. Keberadaan Sophia dalam sejarah Gereja, tidak dapat disangkal, masih kelabu. Karena itu, tafsir tentang Sophia merupakan gugatan Perdue terhadap diskursus Gereja yang tak memberi tempat bagi wanita. Perdue menampilkan Sophia sebagai “sisi lain” eksistensi Tuhan yang dalam sejarah Gereja telah diubah menjadi lelaki. Pada titik ini, novel Daughter of God mengundang kontroversi. (n. mursidi, cerpenis asal Rembang, Jawa Tengah)



Tidak ada komentar: