(resensi ini dimuat di Jawa Pos, Minggu 25 Feb 07)
Judul buku : Sastra dan Agama: Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern Bercorak Islam
Penulis : Marwan Saridjo
Penerbit : Yayasan Ngali Aksara bekerjasama penerbit Penamadani, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal buku : xxiv + 314 halaman
SASTRA dan agama adalah dua entitas yang berbeda. Tetapi dua entitas itu --tak bisa ditepis-- membawa misi dan pesan yang sama. Keduanya, boleh dikatakan sama-sama membawa misi kebenaran, kebajikan dan keadilan. Tak pelak, ketika kedua entitas itu "bersinergi" dalam satu derap langkah yang kemudian terangkum dalam sastra religius, maka akan berkelindan dan memainkan peran yang tak saja meneguhkan keimanan, melainkan juga membangun harmonisasi ulama dan sastrawan.
Tapi kelindan misi sastra dan agama dalam "panggung sejarah" kesusastraan Indonesia --juga kesusastraan dunia- ternyata tidak selamanya suci dari centang perantang. Tak sedikit sastra kemudian dijadikan alat (wahana) untuk menghujat dan mengolok-olok agama tertentu, semisal Islam. Kasus yang menghebohkan setelah terbitnya cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanji Kusmin setidaknya menjadi bukti akan perbedaan sudut pandang dalam melihat prinsip-prinsip agama pada satu sisi, dan kebebasan berkreasi dalam "menggelontorkan" imajinasi pada sisi yang lain.
Dengan kerangka hermeneutika, Marwan dalam buku Sastra dan Agama ini berusaha merekam pergumulan antara prespektif sastra pada satu sisi dan prespektif dogmatis- normatif (agamawan) pada sisi yang lain. Tak salah, jika dengan pendekatan itu Marwan tak menggegam dogmatisme yang fanatik meski ia dikenal sebagai pemimpin sebuah pesantren, melainkan berposisi sebagai pengkaji yang tidak berusaha menempatkan agama (Islam) dan sastra sebagai dua kenyataan yang terpisahkan.
Dalam kaca mata Marwan, sejak tahun 60-an, sastra keagamaan yang bercorak Islam tak saja mendapat perhatian besar dari kritikus, melainkan juga kerap kali mengundang polemik (kontroversi). Salah satu karya yang cukup heboh karena dianggap menghina Islam (karya profan) adalah Langit Makin Mendung (Kipanji Kusmin). Karena tuntutan Deparemen Agama, yang menilai Langit Makin Mendung itu menghina Islam, maka HB. Jassin (sebagai penanggung jawab) yang menerbitkan cerpen itu dihadapkan di pengadilan. Meski tak seheboh Langit Makin Mendung, karya "profan lain" yang masuk dalam buku ini bisa disebut; Asrar al-Arifin (Hamzah Fansuri), Man Rabbuka (AA. Navis), Midah Si Manis Bergigi Emas dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya), Si Kampeng, Si Sapar, dan Sayang, Ada Orang Lain (Utuy Tatang Santani).
Menurut Marwan, kurangnya wawasan (apresiasi) ulama tentang sastra, membuat ulama kerap melihat negatif terhadap sastra. Karena itu ia menyesalkan karya Hamzah Fansuri yang diartikan syirik. Adapun untuk Langit Makin Mendung, Marwan menilai karya itu bukan menghina Islam, hanya cara yang dipakainya cukup vulgar. Hal itu berbeda dengan Man Rabbuka, juga karya "dua pengarang Lekra" (Pram dan Utuy) yang menurut Marwan jelas bernuansa komunis (anti-Islam).
Selain sastra profan, "sastra religius" lain yang mengundang polemik adalah sastra bertemakan adat yang dipertentangkan dengan nilai-nilai Islam. Meski Marwan melihat roman-roman sebelum perang lebih didominasi tema adat (kawin paksa), semisal Siti Nurbaya (Marah Rusli), "Memutuskan Pertalian" dan Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Nan Sati), Pertemuan (Abbas Pamundjak), Salah Pilih (Sutan Nur Iskandar), tapi pengarang buku Bulan Sabit di atas Kening (2003) ini melihat keberhasilan Hamka yang cerdas melakukan "perombakan adat". Berbeda dengan pengarang lain yang berusaha merombak "adat" dengan pemikiran Barat, Hamka --melalui Tenggelamnya Kapal Van de Wijck, serta Di Bawah Lindungan Ka`bah-- dilihat Marwan menilik "syarak" yang berdasarkan kitabullah sehingga bercorak Islam.
Sedang polemik lain dari sastra religius dalam buku ini bisa dilihat dari spirit pembaruan Islam dalam melawan paham ortodok. Robohnya Surau Kami, dan Kemarau (AA. Navis), Perjalanan ke Akherat (Djamil Suherman) dan Persetujuan dengan Iblis (Muhammad Ali), dinilai Marwan bukanlah karya sastra menggugat agama, tapi lebih pada "gugatan paham keagamaan" yang semata-mata lebih mementingkan ibadah semata. Padahal, Islam juga menganjurkan umat untuk shaleh secara sosial.
Selain menelaah karya sastra keagamaan yang mengundang pelemik seperti cerpen, drama dan novel, Marwan mengulas juga puisi-puisi religius. Dalam telaah Marwan, ada dua sastrawan yang cukup representatif, Taufik Isma`il dan Bahrum Rangkuti. Karena dalam puisi Taufiq, di mata Marwan, terlihat sebagai refleksi dzikir. Meski kuat nuansa pemberontakan yang dihembuskan Taufiq (melaui Tirani dan Benteng), tetapi pemberontakan itu mengajak kebajikan, menentang kemungkaran --dan hal itu sejalan dengan moral Islam.
Lain dengan Taufiq, di mata Marwan, Bahrum Rangkuti (melalui puisi) berusaha menampakkan wajah Tuhan di muka bumi. Kerja sosial Bahrum yang memungut orang di pinggir jalan kemudian diasuh --seperti yang dikisahkan dalam puisinya-- adalah refleksi sosial amal sebagai bentuk belas kasih Tuhan yang ia bumikan sebagaimana ditulis Bahrum dalam puisi "Lebaran di Tengah Gelandangan".
Sebagai catatan, buku ini adalah "ulasan cukup komprehensif" tentang sastra keagamaan yang memang belum banyak ditulis. Karena itu, buku ini akan menambah khazanah sejarah kesusastraan kita apalagi belum ada penulis yang secara khusus memusatkan perhatian peranan sastrawan Islam. Padahal, sejak masa Balai Pustaka sampai kini, sudah banyak sastrawan yang mengangkat tema-tema Islam.
Meskipun buku ini menfokuskan pada ulasan sastra keagamaan yang bercorak Islam tetapi ada satu bagian yang tak memiliki kaitan dengan tema yang diangkat penulis. Bagian itu adalah "puisi gelap" (atau yang penulis sebut puisi tuna rungu). Mungkin, karena ketidaksetujuan penulis yang antipati puisi gelap, menjadikan bahasan ini masuk, meski tak memiliki relevansi. Kendati demikian, pemasukan itu, tentu akan melengkapi wawasan dan apresiasi pembaca apalagi bagi mereka yang belum tahu lebih jauh tentang puisi gelap.***
*) n. mursidi, cerpenis asal Rembang, Jawa Tengah.
Tapi kelindan misi sastra dan agama dalam "panggung sejarah" kesusastraan Indonesia --juga kesusastraan dunia- ternyata tidak selamanya suci dari centang perantang. Tak sedikit sastra kemudian dijadikan alat (wahana) untuk menghujat dan mengolok-olok agama tertentu, semisal Islam. Kasus yang menghebohkan setelah terbitnya cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanji Kusmin setidaknya menjadi bukti akan perbedaan sudut pandang dalam melihat prinsip-prinsip agama pada satu sisi, dan kebebasan berkreasi dalam "menggelontorkan" imajinasi pada sisi yang lain.
Dengan kerangka hermeneutika, Marwan dalam buku Sastra dan Agama ini berusaha merekam pergumulan antara prespektif sastra pada satu sisi dan prespektif dogmatis- normatif (agamawan) pada sisi yang lain. Tak salah, jika dengan pendekatan itu Marwan tak menggegam dogmatisme yang fanatik meski ia dikenal sebagai pemimpin sebuah pesantren, melainkan berposisi sebagai pengkaji yang tidak berusaha menempatkan agama (Islam) dan sastra sebagai dua kenyataan yang terpisahkan.
Dalam kaca mata Marwan, sejak tahun 60-an, sastra keagamaan yang bercorak Islam tak saja mendapat perhatian besar dari kritikus, melainkan juga kerap kali mengundang polemik (kontroversi). Salah satu karya yang cukup heboh karena dianggap menghina Islam (karya profan) adalah Langit Makin Mendung (Kipanji Kusmin). Karena tuntutan Deparemen Agama, yang menilai Langit Makin Mendung itu menghina Islam, maka HB. Jassin (sebagai penanggung jawab) yang menerbitkan cerpen itu dihadapkan di pengadilan. Meski tak seheboh Langit Makin Mendung, karya "profan lain" yang masuk dalam buku ini bisa disebut; Asrar al-Arifin (Hamzah Fansuri), Man Rabbuka (AA. Navis), Midah Si Manis Bergigi Emas dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya), Si Kampeng, Si Sapar, dan Sayang, Ada Orang Lain (Utuy Tatang Santani).
Menurut Marwan, kurangnya wawasan (apresiasi) ulama tentang sastra, membuat ulama kerap melihat negatif terhadap sastra. Karena itu ia menyesalkan karya Hamzah Fansuri yang diartikan syirik. Adapun untuk Langit Makin Mendung, Marwan menilai karya itu bukan menghina Islam, hanya cara yang dipakainya cukup vulgar. Hal itu berbeda dengan Man Rabbuka, juga karya "dua pengarang Lekra" (Pram dan Utuy) yang menurut Marwan jelas bernuansa komunis (anti-Islam).
Selain sastra profan, "sastra religius" lain yang mengundang polemik adalah sastra bertemakan adat yang dipertentangkan dengan nilai-nilai Islam. Meski Marwan melihat roman-roman sebelum perang lebih didominasi tema adat (kawin paksa), semisal Siti Nurbaya (Marah Rusli), "Memutuskan Pertalian" dan Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Nan Sati), Pertemuan (Abbas Pamundjak), Salah Pilih (Sutan Nur Iskandar), tapi pengarang buku Bulan Sabit di atas Kening (2003) ini melihat keberhasilan Hamka yang cerdas melakukan "perombakan adat". Berbeda dengan pengarang lain yang berusaha merombak "adat" dengan pemikiran Barat, Hamka --melalui Tenggelamnya Kapal Van de Wijck, serta Di Bawah Lindungan Ka`bah-- dilihat Marwan menilik "syarak" yang berdasarkan kitabullah sehingga bercorak Islam.
Sedang polemik lain dari sastra religius dalam buku ini bisa dilihat dari spirit pembaruan Islam dalam melawan paham ortodok. Robohnya Surau Kami, dan Kemarau (AA. Navis), Perjalanan ke Akherat (Djamil Suherman) dan Persetujuan dengan Iblis (Muhammad Ali), dinilai Marwan bukanlah karya sastra menggugat agama, tapi lebih pada "gugatan paham keagamaan" yang semata-mata lebih mementingkan ibadah semata. Padahal, Islam juga menganjurkan umat untuk shaleh secara sosial.
Selain menelaah karya sastra keagamaan yang mengundang pelemik seperti cerpen, drama dan novel, Marwan mengulas juga puisi-puisi religius. Dalam telaah Marwan, ada dua sastrawan yang cukup representatif, Taufik Isma`il dan Bahrum Rangkuti. Karena dalam puisi Taufiq, di mata Marwan, terlihat sebagai refleksi dzikir. Meski kuat nuansa pemberontakan yang dihembuskan Taufiq (melaui Tirani dan Benteng), tetapi pemberontakan itu mengajak kebajikan, menentang kemungkaran --dan hal itu sejalan dengan moral Islam.
Lain dengan Taufiq, di mata Marwan, Bahrum Rangkuti (melalui puisi) berusaha menampakkan wajah Tuhan di muka bumi. Kerja sosial Bahrum yang memungut orang di pinggir jalan kemudian diasuh --seperti yang dikisahkan dalam puisinya-- adalah refleksi sosial amal sebagai bentuk belas kasih Tuhan yang ia bumikan sebagaimana ditulis Bahrum dalam puisi "Lebaran di Tengah Gelandangan".
Sebagai catatan, buku ini adalah "ulasan cukup komprehensif" tentang sastra keagamaan yang memang belum banyak ditulis. Karena itu, buku ini akan menambah khazanah sejarah kesusastraan kita apalagi belum ada penulis yang secara khusus memusatkan perhatian peranan sastrawan Islam. Padahal, sejak masa Balai Pustaka sampai kini, sudah banyak sastrawan yang mengangkat tema-tema Islam.
Meskipun buku ini menfokuskan pada ulasan sastra keagamaan yang bercorak Islam tetapi ada satu bagian yang tak memiliki kaitan dengan tema yang diangkat penulis. Bagian itu adalah "puisi gelap" (atau yang penulis sebut puisi tuna rungu). Mungkin, karena ketidaksetujuan penulis yang antipati puisi gelap, menjadikan bahasan ini masuk, meski tak memiliki relevansi. Kendati demikian, pemasukan itu, tentu akan melengkapi wawasan dan apresiasi pembaca apalagi bagi mereka yang belum tahu lebih jauh tentang puisi gelap.***
*) n. mursidi, cerpenis asal Rembang, Jawa Tengah.
2 komentar:
Apa alasan si marwan itu ya nyebut Midah dan Banten Selatan karya pram sebagai "bernuansa komunis". apa yang dimaksud dengan "bernuansa komunis". bahaya betul penjelasan seperti ini.... apa si amrwan ini membaca dengan intensif dua karya itu atau hanya mengutip jumpalitan sana sini pada Taufiq Ismail dan geng-nya...
aku juga heran, banyak orang menuduh karya pram bernuansa komunis. pdhal, ketika aku baca, nyaris tidak ada nyanyian komunisme yang disengatkan pram, kecuali menggemakan perjuangan keadilan yang dibangun berlandaskan visi kemanusiaan!!!
Posting Komentar