....

Rabu, 07 November 2007

Perebutan Naskah da Vinci

resensi ini dimuat di Suara Merdeka, Minggu 28 Oktober 07

Judul: Deadly Triangle,
Pengarang: Lewis Perdue
Penerbit: Dastan Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2007
(512 halaman)

SEBUAH karya sastra memang tak semestinya ditulis berdasarkan fakta, apalagi hanya sekadar merekam peristiwa sejarah yang pernah terjadi di masa lampau. Karena pada dasarnya fiksi merupakan capaian ikhtiar pengarang meniti jalan berkelok dalam menerobos "relung-relung" sejarah, juga realitas. Tak pelak, kalau "jalan peniruan" itu yang kemudian dipilih atau ditempuh, tidak mustahil, karya sastra yang lahir tak ubahnya sebongkah foto hasil jepretan kamera. Indah dan menggugah, tetapi kurang bisa mematik kesadaran pembaca untuk berpikir kritis.

Tapi novel Deadly Triangle (aslinya berjudul The Da Vinci Legacy; 1983) karya Lewis Perdue ini termasuk perkecualian. Meski sebagaimana diakui pengarang yang kini tinggal di Sonoma, California ini ditulis berdasarkan fakta sejarah, Perdue tetap tak terjebak pada setumpuk bahan literer "sejarah yang bisu" melainkan dapat melangkah lebih jauh, menyeruak di balik bilik peristiwa juga melampaui realitas dan lorong-lorong masa lalu yang nyaris tidak terekam sejarah.

Jika diibaratkan, sejarah merupakan kisah tentang pertumpahan darah orang yang membunuh, mencuri, dan bahkan melakukan berbagai hal di tengah lautan. Tak mustahil, apa yang terjadi di tepian laut justru luput dari perhatian. Nah, Perdue melalui novel ini dapat diibaratkan menulis kisah mengenai apa yang terjadi di tepian laut tersebut.

Kisah yang terjadi di tepi laut itu dituturkan oleh pengarang dengan jalan membuka lapis demi lapis "lingkaran maut" The Elect Brothers (kelompok biarawan keturunan St. Peter), Nazi, GRU (intelejen kemiliteran Rusia), dan Vatikan dalam memperebutkan naskah kuno karya da Vinci. Awalnya, Kingsbury membeli sebuah naskah kuno Leonardo dari keluarga Caizzi. Saat Vence Erikson --sarjana da Vinci yang dipercaya Kingsbury-- mengamati dengan cermat, ternyata ia tahu naskah kuno da Vinci itu dipalsukan.

Sontak, Kingsbury dan Vance ingin mengetahui "isi dari naskah yang hilang" itu, serta mencari tahu di balik pemalsuan tersebut. Tapi, saat Vance menyelidiki lebih jauh, dia justru dihadang berbagai peritiwa aneh. Tiga orang ahli da Vinci yang mau ditemui justru meninggal dunia dan ia bahkan menjadi target pembunuhan. Dari petunjuk yang ditulis Martini, satu dari tiga ahli da Vinci yang terbunuh, Vance kemudian terbang ke Italia. Jalinan kisah pun jadi berbelit, karena Vance selalu diburu oleh sekelompok orang yang tidak jelas beralifiasi di pihak mana.

Alhasil, novel ini selain menghibur dapat dipastikan juga menyentak kesadaran pembaca.***

*) n_mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng. Kini tinggal di pinggiran Jakarta.

Tidak ada komentar: