resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 29 Sep 07
Judul buku : The Magdalen,
Pengarang : Marita Conlon-McKenna,
Penerbit : Dastan Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 527 halaman
TAK ada satu pun wanita di dunia ini yang mau menderita lantaran api cinta. Tapi pesona cinta kerapkali membuat kaum hawa sering lupa akan penderitaan yang ditanggung jika dia terpeleset asmara dan hamil di luar nikah. Padahal kaum hawa harus menanggung derita yang tak terkira. Ia tak saja sakit hati terhadap kekasih yang pergi melainkan juga ditimpa tudingan sebagai "wanita nakal". Lebih tragis, keluarga yang seharusnya jadi pelindung --tak jarang-- justru menjatuhi hukuman!
Nasib tragis akibat hamil di luar nikah itulah yang dialami Ester Doyle sebagaimana dikisahkan Marita Conlon-McKenna dalam novel The Magdalen ini. Diangkat dari kisah nyata kehidupan Ester Doyle, gadis asal Irlandia, yang menjalani hukuman tragis karena dikucilkan keluarga ke Magdalen Laundry dan diperlakukan seperti budak, tentu cerita novel ini memilukan, mengandung pesan moral serta pelajaran berharga bagi pembaca.
Dilahirkan di daerah terpencil di Carraig Beag, Connemara, (bagian Barat Irlandia), Ester Doyle adalah gadis yang lahir dengan lilitan derita. Lahir dari keluarga (nelayan) miskin, nyaris membuat Ester harus kerja keras membantu ibunya; mengurus rumah, memasak dan mengasuh adiknya apalagi setelah ayahnya meninggal dunia saat ia berumur 13 tahun.
Tapi derita itu masih kuat ditanggung Ester. Ia menganggap itu adalah jalan hidup yang harus dijalani. Penderitaan yang nyaris tak terbayangkan oleh Ester ketika ia harus menjalani hukuman akibat hamil di luar nikah. Kala Ester tumbuh dewasa dan mengenal lawan jenis, ia jatuh cinta terhadap Conor O`Hagan. Diam-diam, ia sering menemui Conor dan melakukan hubungan badan. Buah dari kecerobohan Ester itu membawa petaka. Ia hamil. Conor tak mau bertanggung jawab. Demi uang, Conor pun memilih menikahi Naula McGuiness, majikannya yang berumur lebih tua.
Tak ingin menanggung malu, keluarganya membawa ke Magdalen di Dublin daripada digunjing tetangga sebagai hukuman yang pantas diterima Esther. Magdalen dikenal sebagai "tempat rehabilitasi" yang diperuntukkan bagi wanita nakal; seperti pelacur, gadis yang hamil di luar nikah juga gadis malang yang menjadi korban inses dan pemerkosaan --yang didirikan sebagai "tempat penebusan dosa". Karena dianggap berlumur dosa, maka di Magdalen itu Ester diperlakukan seperti budak dipaksa kerja di binatu dengan imbalan makan sekadarnya dan tak diberi upah.
Meskipun dalam kondisi hamil, Ester tetap tidak mendapat makanan bergizi. Bahkan, ia harus bangun pagi untuk misa subuh, sarapan, lantas bekerja di binatu. Bersama para maggie (sebutan untuk penghuni Magdalen) yang lain, ia diperlakukan seperti tahanan. Tak diijinkan keluar, bahkan menerima tamu pada jam kerja. Lebih tragis, saat dia melahirkan, anak haram itu pun tidak menjadi anak Esther. Seperti wanita lain di Magdalen, para biarawati menganggap Esther bukan sebagai ibu yang baik karena itu, anaknya dititipkan di panti asuhan Haly Saints dan hak Esther sebagai ibu pun dirampas.
Tak mau hidup terus di Magdalen yang mirip penjara, maka dia mengirim surat pada keluarga di kampung. Esther lalu dijemput bibinya, Patricia O`Malley. Tetapi, Esther tak mau jauh dari anaknya. Pasca dari Magdalen, ia memilih tinggal di Dublin. Ia tak mau menghadapi hidup bersama keluarga. Dia sudah bertekat menjadi Magdalena, tak mau bersembunyi di Magdalen --seperti Detta, Bernice dan para meggie lain-- untuk memalingkan diri dari kehidupan. Esther memilih melupakan masa lalu dan memulai kehidupan baru. ]
***
NOVEL The Magdalen ini boleh dikatakan belum selesai. Masih ada ruang kehidupan baru yang dijalani Esther dan nasib Roinan (anak Esther) setelah diadopsi orang lain. Ending yang dipilih McKenna, penulis Irlandia yang sering memperoleh penghargaan ini sengaja digantung --setelah Esther keluar dari Magdalen. Padahal, peristiwa Esther melahirkan Roinan itu tahun 1952, yang masih memungkinkan ada ruang bagi pengarang untuk menulis kelanjutan kisah ini.
Terlepas dari semua itu, yang jelas, novel The Magdalen ini adalah potret buram perempuan di Irlandia yang mengalami nasib hamil di luar nikah. Padahal, lahir sebagai perempuan bukan pilihan yang bisa ditawar siapa pun. Tetapi, hukuman bagi Esther yang diperlakukan buruk layaknya budak dan hidup di Magdalen adalah hukuman yang layak dipertanyakan. Conor yang juga sebagai pelaku kejahatan tidak mendapat hukuman --kecuali dihajar saudara Esther-- dan dapat memilih menikahi Naula juga mendapat kekayaan. Karena itu, novel ini adalah sebuah memoar kesaksian yang luar biasa, menguncang kesadaran dan ideologi patriarki terutama di Irlandia yang jadi setting novel rajutan Ketua PEN Irlandia ini.
Dengan latar kisah nyata Esther sebagai tokoh utama yang dihukum di Magdalen dan divonis "dosa" akibat hamil di luar nikah, jelas novel ini menyentak kesadaran. Nyaris membuat pembaca seperti tidak percaya jika di pelosok Irlandia masih ada hukuman bagi wanita hamil di luar nikah. Meski diakui bahwa novel ini dari pencapaian estetis kurang menggelorakan kesadaran, karena kering diskripsi tapi pesan pengarang tentang derita di Magdalen sungguh mencekam. Karena itu, novel ini seperti menyibak tabir bisu di balik tembok Magdalen yang masih memperlakukan para wanita hamil dengan buruk.
***
MEMBACA The Magdalen ini, saya teringat klimaks novel Burned alive yang ditulis Souad (nama samaran) yang menceritakan kisah nyata yang dialami setelah ia hamil di luar nikah dan keluarga Souad memutuskan membunuhnya atas nama kehormatan keluarga. Tetapi, nasib Esther yang tidak mendapat hak sebagai ibu, nyaris mirip akhir kisah novel Gadis Pantai karya Pramoedya yang kehilangan hak asuh anak yang dilahirkan gadis pantai. Padahal, gadis pantai itu dinikahi secara sah dan setelah melahirkan, ia diceraikan dan tak memiliki hak bahkan untuk sekadar menjenguk anaknya.
Sebagaimana novel Burned alive dan Gadis Pantai, novel The Magdalen inipun membawa pesan tentang perjuangan perempuan atas nasib tragis yang kerapkali diterima lantaran ia lahir sebagai kaum hawa. Lebih tragis, di balik dalih kebenaran agama juga tradisi justru tak jarang "hukuman yang buruk" terhadap kaum hawa yang hamil dan hak ibu ternyata tidak memihak kaum perempuan. Padahal, agama seharusnya jadi pencerah bagi kehidupan bukan mencelakai nasib perempuan.
Tak salah, pengarang asal Iralandia yang mendapat "kesuksesan # 1 national bestseller" untuk novel ini, mengangkat kisah nyata ini tak lain untuk menguak tabir bisu di balik tembok Magdalen atas penderitaan yang dialami warga Magdalen untuk dapat dijadikan "pelajaran" bagi peradaban. (n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar