....

Jumat, 02 November 2007

Sang Messiah Palsu Pembunuh Rasul

(resensi ini dimuat di Suara Merdeka hari Minggu 29 April 07)

Judul buku : Messiah
Pengarang : Boris Starling
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 640 halaman

SALAH satu dari sejuta teknik penulisan novel thriller yang dapat menarik daya pikat pembaca adalah kelincahan mencipta tokoh yang seolah tak berdosa tetapi memiliki karakter yang aneh. Karakter tokoh itu digambarkan secara eksplisit, dilingkupi seribu misteri sehingga susah ditebak. Apalagi, novel thriller itu bercerita tentang pembunuh berantai yang membahayakan siapa pun. Pengarang harus punya "rahasia yang disembunyikan rapat-rapat" di awal cerita, jejak pembunuh yang tidak dapat ditebak juga meninggalkan simbol-simbol misterius.

Tetapi rahasia itu tidak disimpan rapat-rapat untuk selamanya, melainkan dibuka selapis demi selapis hingga suspense yang mencengangkan, tak terduga dan mengejutkan. Tidak salah, pembaca pun merasa berdosa kalau berhenti pada separuh bagian dan mau tidak mau harus membaca hingga selesai.

"Rangkaian teknik" itulah yang disuguhkan Boris Starling dalam novel Messiah ini. Dengan daya pikat bahasa yang bernas, kekuatan plot, dan suspense yang mencengangkan, novel ini nyaris sempurna disebut novel thriller brilian. Pengarang tak saja brilian menuangkan ide pembunuhan yang mengundang dada berdebar, justru mengaitkan persoalan teologis yang tidak pernah diduga kalau seorang pembunuh bisa membunuh orang berdasarkan nama yang sama dengan rasul. Karena itu, motif tersebut mengecoh polisi.

Pagi itu (Jum`at 1 Mei 1998), Redfern Metcalfe menemukan Philip Rhodes, pengusaha katering dan James Cunningham (uskup) mati tragis. Philip mati digantung sedangkan James dipukuli. Tragisnya dua korban ditemukan dalam keadaan lidah dipotong, sendok perak di mulut dan hanya memakai celana dalam. Sebagai detektif, Red lalu membentuk "tim investigasi" melibatkan 3 polisi; Jez Clifton, Duncan Warren dan Kate Beuchamp untuk membantu menangani kasus pembunuhan tidak normal itu.

Tapi hasil outopsi korban ternyata tak memberi petunjuk. Si pembunuh juga tak meninggalkan jejak sidik jari. Red linglung. Bahkan 3 bulan berlalu, Red masih belum menemukan si pembunuh, justru jatuh korban ketiga, James Buxton (tentara) yang mati terpenggal, lalu Bart Miller (dikuliti) dan sebulan berikutnya Matthew Fox (dicincang) yang mati dengan lidah dipotong, sendok perak serta celana dalam. Padahal selama bertahun-tahun jadi detektif, Red tak pernah gagal menangkap pelaku, karena ia dapat membaca jalan pikiran sang pembunuh.

Tapi dalam kasus ini, Red menemui jalan buntu. Apalagi ketika Red hampir menemukan "motif dibalik aksi" Lidah Perak (disebut begitu karena meninggalkan simbol lidah terpotong dan sendok perak) ternyata Duncan membocorkan rahasia penyelidikan ke media massa. Red jadi kian bingung dan sering mabuk. Dan di luar dugaan, saat ia bersama istrinya, Susan mampir ke galeri Nick Buckeet dan melihat gambar Santo Bartholomew, tanpa sengaja ia menemukan motif dibalik aksi Lidah Perak bukan karena homoseksual atau iri terhadap orang kaya sebagaimana yang dia duga, tetapi dilatarbelakangi keinginan membunuh 12 rasul yang diutus oleh Yesus setelah ia membaca nama korbannya; Philip, James, James, Bartholomew, dan Mattew.

Dari temuan itu, Red tahu ada 7 korban lagi yang diincar. Penemuan ini diperkuat fakta korban selanjutnya, Jude Hard Castle dan Simon Baker yang memiliki sama dengan nama rasul. Akibatnya, Red tahu kapan Lidah Perak bertindak dan sasaran yang akan dibunuh dari nama nabi yang tersisa; bernama Peter (ternyata ditemukan meninggal 29 Juni), Thomas (21 Desember), Andrew (30 November) dan John (27 Desmber). Meski ia tahu kapan pembunuh rasul itu beraksi, tetapi kecolongan. Lidah Perak berhasil membunuh 11 nabi dan akhirnya tinggal 1 nabi tersisa yang belum dibunuh. Siapa rasul yang tersisa itu?

Red tak tahu karena dari buku-buku yang dipelajari, ditemukan bahwa Judas telah mengkhiati Yesus. Di saat Red tidak tahu siapa yang akan jadi korban berikutnya justru tak sengaja ia menemukan beberapa bukti yang mengarah pada Duncan; surat dari kepala gereja Milenium Baru, pembelian sendok perak dari kartu kridit Duncan dan alat pembunuh yang ada di rumah Duncan. Red akhirnya menangkap Duncan.

Setelah merasa aman, Red ingin merajut pernikahannya dengan Susan yang sudah retak. Tapi ketika Susan belum kembali dan Red di rumah sendirian di hari Paskah, datang Jez berkunjung. Ia tidak sadar bahwa Jez itulah Pembunuh Rasul dan mengincar dirinya karena di mata Jez, Red itu adalah Judas yang berkhianat (karena dahulu melaporkan Eric, adiknya ke polisi, setelah membunuh Charlotte Logan dan Red menerima uang 30 ribu dolar seperti yang dilakukan Judas kepada Yesus). Sayang, Red tak mau menjadi Judas. Karena itu, Jez yang mengaku sebagai Mesias Baru (dengan tiga alasan; ia bernama Jez Clifton yang identik Jesus Christ, lahir 25 Desember 1966 dan pernah ditabrak lari oleh Red ketika masih remaja, tetapi mengalami mukjizat dapat bangkit kembali setelah 3 hari koma), justru mati disalib oleh Red.

Novel bersampul merah ini, sungguh luar biasa bahkan nyaris sempurna. Dari jalinan cerita tak ada satu indikasi yang mengarah pada Jez sebagai pembunuh rasul. Suspense itu baru dikuak pengarang kelahiran London, 38 tahun yang lalu ini di ending cerita (40 halaman akhir). Ketegangan diracik Starling dengan greget kuat. Sang pembunuh dibuat Starling tidak meninggalkan jejak dan korban yang dibunuh hanya meninggalkan simbol belaka. Karena itulah, harus diakui, novel ini berpotensi mengecoh pembaca sejak awal cerita.

Selain itu, pengarang bisa merangkai ketegangan tetap terpelihara dengan menjadikan Duncan dan Israel (Kepala Gereja Milenium Baru) sebagai tertuduh. Padahal pembunuh rasul itu tidak lain adalah Jez, polisi yang berada di dekat Red. Juga, motif dibalik pembunuhan Jez yang mengaku sebagai mesias nyaris mengundang tanda tanya besar. Dengan sudut pandang pencerita "aku" tokoh Jez yang mengakui bahwa ia adalah si mesias dengan dikuak sedikit demi sedikit, jelas membius pembaca. Apalagi dengan teknik penceritaan yang berbelit dengan peralihan "tokoh utama" Red kemudian "aku" si Lidah Perak dan beralih lagi pada cerita masa lalu Red yang kelabu dan sejumlah aksi yang penuh teka-teki.

Tidak salah, kalau novel ini bisa terjual mencapai 8 juta copy, diterjemahkan dalam beberapa bahasa dan menjadi bestseller.***

*) N. Mursidi, peminat sastra asal Rembang, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar: