....

Minggu, 20 Januari 2008

kesaksian jihad dari seorang agen spionase

resensi ini dimuat di Suara Merdeka, Minggu 20 Januari 2008

-----------------------------------
Judul buku : Inside the Jihad
Penulis : Omar Nasiri
Penerbit : Zahra, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 568 halaman
----------------------------------

TRAGEDI hancurnya gedung WTC 11 September 2001, yang mengakibatkan Amerika dan dunia berduka, tidak dapat ditepis meneguhkan tesis Samuel Huntington tentang "benturan peradaban" antara Barat dan Islam. Sentimen agama yang dipicu dari "keadaan buruk" di Palestina, Afghanistan dan Bosnia yang tak kunjung berakhir, rupanya melahirkan kelompok Islam garis keras bersatu. Demi alasan jihad, lantas menyerang musuh di seberang lautan (Amerika/Eropa). Tak pelak, jika serangan itu menegaskan dikotomi Islam dan Barat dalam peta peradaban pasca keruntuhan Uni Soviet.

Genderang perang ditabuh dan serangan itu pun membangun peta terorisme internasional baru yang tak hanya melahirkan musuh untuk diserang (Barat) dan pelaku jihad (Al-Qaeda). Sebaliknya, Barat tak tinggal diam dan selalu waspada. Maka terorisme tak sekadar melahirkan dua kutub Barat dan Islam saling berhadapan, tapi juga keterlibatan spionase untuk membaca peta musuh. Kiprah dari Omar Nasiri dalam mengemban misi dinas intelijen Prancis, Inggris dan Jerman selama 7 tahun --seperti diceritakan dalam buku Inside The Jihad ini-- mengungkap latar belakang cengkraman terorisme internasional yang sampai kini ternyata belum berakhir.

Meski, Omar Nasiri bekerja sebagai spionase untuk dinas inteligen Prancis, Inggris dan Jerman (1994-2000) sebelum serangan 11/9, tapi kesaksian yang dibeberkan Omar di buku ini merupakan secuil informasi tentang bagaimana jaringan fundamentalisme dan intelijen kontra-terorisme bekerja. Apalagi selain sebagai mata-mata, Omar juga mengaku sebagai mujahid. Memang Omar yang berlatar belakang Maroko dan sempat menempuh pendidikan di Belgia, bisa menjadi jembatan yang memudahkannya jadi mata-mata.

Tapi keterlibatan Omar sebagai spionase Barat tentu tak sesepele itu tanpa ada ideologi jihad yang melatarbelakangi. Pada mulanya, ia yang muslim merasa tercabik dengan kesengsaraan umat Islam di Afghanistan dan Serbia dan hendak berjihad. Tentu keinginan itu membuat Hakim, kakaknya senang. Apalagi di Maroko, Omar hidup sebagai makelar gelap. Hakim lalu mengajak Omar kembali ke Belgia.

Tapi sesampai di Belgia, ternyata keadaan sudah berubah. Hakim menyeret Omar terlibat GIA (Kelompok Islam Bersenjata) jaringan teroris penting Aljazair (di Belgia). Dihadapkan pada kondisi Omar yang butuh uang, Omar menawarkan diri jadi pemasok senjata. Tapi saat rumah ibunya jadi markas GIA --menerbitkan surat kabar Al-Ansar-- ia dihinggapi rasa khawatir. Apalagi, sejak awal dia sudah berbeda ideologis dengan GIA (yang membenarkan pembunuhan warga sipil yang tak mendukung GIA).

Dari pebedaan itulah, Omar melakukan konfrontasi; mencuri uang kas GIA agar GIA hengkang dari rumah ibunya. Tapi, harapan itu meleset. Ia justru diancam (dibunuh). Dihinggapi takut, Omar pun terjerumus jadi spionase, setelah mendatangi dinas intelijen Prancis (DGSE) demi untuk menyelamatkan ibunya. Setelah itu, rumahnya digerebek. Polisi menangkap anggota GIA (Amin, Yasin dan Hakim) tetapi Omar bebas karena Giles (penghubung Omar dari DGSE) hendak menawarkan misi baru buat Omar untuk menelusup ke kamp di Afghanistan.

Omar tidak menolak. Omar menelusup dari Turki dan Pakistan kemudian bergerak ke jaringan radikal Islam Afghanistan (lewat Abu Zubayda). Semula di kamp di Khaldan. Rupanya, berkat kepiawaian di kamp, Omar dikirim Ibnu Syeikh ke kamp Darunta. Selama satu setengah tahun (1995-1996), misinya tak terendus. Dari Darunta, Ibnu Syeikh malah mengirimnya ke Eropa untuk dijadikan penghubung bagi petinggi kamp di Afghanistan.

Tetapi sekembali dari Afghanistan, Omar kembali menjadi antek intelijen Barat ditugaskan ke London --disewa secara gabungan oleh dinas rahasia Prancis dan Inggris untuk menyusup dalam jaringan kelompok radikal di London. Di kota itu, Omar bertugas memata-matai Abu Hamza (di masjid Finsbury Park) dan Abu Qatada (di Four Feather Club). Dari London, ia lantas ditugaskan ke Jerman.

Kisah Omar berakhir saat ia pindah ke Jerman. Di sana, dia diabaikan. Tak diberi perlindungan dan identitas baru sebagai warga Prancis yang dulu pernah dijanjikan. Apalagi tak lama kemudian Omar menikah. Hubungannya dengan dinas rahasia Jerman pun runyam. Tak ada lagi yang dikerjakannya, dan lantaran mendapat perlakuan yang buruk selama di Jerman (5 tahun tak diberi surat dan dia melakukan pekerjaan paling rendah), Omar memutuskan untuk menceritakan kisahnya sebagai spionase.

Sepanjang kisah di dalam buku ini terkait keterlibatan Omar sebagai spionase, Omar dihantui kebimbangan. Kebimbangan Omar, tentu dilatarbelakangin ideologi sebagai orang muslim. Dia bimbang untuk menambatkan kesetiaan. Dia merasa betapa sulit menjalani hidup jadi spionase. Maka dia sadar. Dan untuk menebus semua itu, Omar menulis buku ini. Ia yakin buku ini adalah bentuk jihad dari dalam dari seorang spionase. Karena itu, dalam buku ini Omar membeberkan dengan tanpa tedeng aling-aling, detail dan cukup jelas.

Kenapa? Omar berharap, lewat buku ini, selain ada sesuatu yang dapat dipetik dari kiprah yang diyakini sebagai jihad dari dalam, juga memang kini sudah tak banyak lagi yang dapat dilakukan selama Barat masih menolak memahami pemikiran umat Islam mengenai "logika jihad". Maka, dengan kondisi mis-understanding itu, ia berharap buku ini akan menjelasan kepada dunia Barat akan logika jihad umat Islam. Di satu sisi, tentu sebuah cerita tentang kiprah jihad seorang spionase yang telah dikhianati.***

*) n. mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta.

1 komentar:

sedang mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.