....

Selasa, 19 Februari 2008

perjalanan derita dalam labirin cinta

Resensi buku

Judul buku : Mahasati,
Pengarang: Qaris Tajudin,
Penerbit : Akoer, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007 (392 halaman)

TUHAN tidak memercikkan setetes cinta di lubuk hati manusia untuk menjadikan hidup dalam lautan penderitaan. Tapi entah kenapa, tak sedikit orang di dunia ini yang hidup menderita lantaran tak kuat menanggung kesedihan setelah ditinggal mati orang tercinta --entah kekasih atau pasangan hidup. Dalam kesedihan, sering kali ia tak kuat menerima kenyataan sehingga tak jarang melihat hidup dengan tanpa harapan lagi bahkan ada yang berani memilih bunuh diri.

Janji setia dan cinta "sehidup-semati", rupanya bagi sebagian orang bisa dibawa sampai mati. Alasan itu, setidaknya yang menjadikan wanita India tatkala ditinggal mati suaminya, rela menceburkan diri dalam kobaran api perabuan sang suami. Padahal, 'kematian orang tercinta' bukan berarti pertanda kiamat. Memang, kenangan masa lalu susah untuk dilupakan, tapi masa depan jelas tak bisa diabaikan. Sayang, tak semua orang bisa bersahabat dengan "rasa bersalah" setelah ditinggal mati orang tercinta. Ujungnya, masa depan pun berwarna serupa jelaga dan hidup tak lebih serupa perjalanan derita dalam labirin cinta lantaran terbelenggu masa lalu.

Perjalanan derita dalam "labirin cinta" yang dibelenggu masa lalu itulah yang dialami oleh Andi Djatmiko, tokoh utama dalam novel Mahasati ini. Kesedihan Andi, akibat ditinggal pergi Larasati untuk selamanya ternyata meninggalkan rasa bersalah yang tidak dapat dihadapi Andi dengan iklas. Tak berani menjalani laku "sebagaimana wanita di India yang memilih menceburkan diri ke perabuan suami", Andi hanya terpekur dilindas kenangan, dan mencoba "merengkuh cinta sejati" demi panggilan Tuhan dengan menempuh perjalanan jauh ke Tunisia dan Afghanistan guna menebus kesalahan di masa lampau dengan menjadi tentara Tuhan untuk membela orang lemah.

Alih-alih, Andi dapat melupakan Larasati, justru kenangan bersama Larasati selalu menjadikan perjalanan hidupnya serupa kitab air mata. Andi selalu "ditingkupi" kesedihan setiap kali ingat Larasati. Maklum, dulu Andi dan Larasari adalah teman karib. Keduanya sudah akrab sejak kecil. Dari persabatan masa akecil itu, akhirnya memercikkan api cinta di hati Larasati dan Andi saat kedua bocah itu tumbuh remaja. Tapi gelayut cinta itu putus di tengah jalan.

Andi melanjutkan kuliah ke Jakarta. Tak selang lama, Larasati kabur dari rumah dan pergi ke Jakarta. Meski keduanya tinggal satu kota, tetapi anehnya, tak pernah bertemu dan baru sepuluh tahun kemudian keduanya dipertemukan kembali di saat pemakaman Yoyok, sahabat keduanya. Api cinta Andi tumbuh lagi dan Larasati tak menampik.

Tapi, kala cinta itu mulai bertangkup, Larasati sudah tidak seperti dulu lagi. Ia sudah memiliki anak, Rania (8 tahun) dan dilingkupi kesulitan hidup karena mantan suami Larasti, ayah Rania, menang di pengadilan sebagai wali yang berhak untuk mengasuh Rania. Larasati terpukul, dipisahkan dari Rania. Tak ingin dilanda sedih, ia pun nekat minum tiga biji valium untuk menenangkan diri agar bisa tenang. Tetapi tragisnya, justru berakhir menyedihkan. Tiga biji valium itu mengonyak jantung Larasati dan ia meninggal dunia.

Ditingkupi rasa bersalah (meski sudah membawanya ke rumah sakit) dan tidak bisa membantu Larasati pulih, Andi hanya bisa mengutuki nasib. Dia murung, tidak konsentrasi kerja, sehingga memilih cuti panjang untuk menempuh perjalanan jauh, ke Tunisia. Demi memenuhi panggilan Tuhan, di sana ia ingin belajar ilmu agama. Tapi gonjang-ganjing politik di Tunisia dan gencarnya penangkapan terhadap aktivis Islam garis keras membuat Andi dan Ahmed harus meninggalkan Tunisia --dibantu oleh Miriam-- dan kemudian mencari suaka di Afghanistan.

Di negara itu, Andi awalnya bekerja sebagai sukarelawan di sebuah rumah sakit. Tapi akhirnya dia ikut Fairuz melindungi rakyat kecil dan kisah perjuangan Anda akhirnya berakhir Seperti "perjalanan labirin cinta". Memang, Anda bisa melupakan Larasati dan menikahi Nafas, tetapi serangan udara yang membabi buta menjadikan orang-orang yang dilindingi Andi tewas. Ia pun ditangkap tentara AS lantaran sedang membawa kalashnikov dan dijebloskan di Guantanamo.

Di Guantanamo itu, tak satu pun tentara Amerika yang mampu menyuak jati diri Andi dan juga keberadaan Andi di Afghanistan. Akhirnya, dengan kelembutan seorang perempuan (anggota tim khusus Pentagon) bernama Letnan Commonder Lucia Wong, Andi bersedia membagi kisah cinta di masa lalunya apalagi ia merasa tak lagi kuat menghadapi "takdir kematian yang hampir dekat" sehingga dia meminta perempuan itu menunaikan amanah Sati agar menyerahkan gelang dan sapu tangan pada Rania.

Meski novel ini menuturkan kisah cinta tetapi tak dapat dingkari jika novel ini bisa melampaui cerita "cinta biasa" dengan menyeret ke relung "jantung spiritualitas", hiruk pikuk politik di Afghanistan dan sebuah perjalanan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tapi ada keremangan pijakan pengarang yang menjadikan novel ini tak terlihat punya tendensi idelogis politik sehingga memiliki daya tarik kuat untuk dibaca. Lagi pula, novel ini disisipi nilai-nilai ajaran spiritualitas Timur. Novel debutan awal dari novelis muda yang bekerja sebagai wartawan ini pun tidak dapat dimungkiri kaya nuansa ruhani.

Lebih dari itu, teknik penceritaan yang diterapkan pengarang dengan penuturan silih berganti dari dua sudut pandang, Andi dan Letnan Commonder Lucia Wong, menjadikan novel ini tidak monoton, dan datar, melainkan kuat, cerdas dan bernas. Meski, alur flasback yang digarap tidak berpilin sehingga masih bisa ditelusuri dengan mudah.

Sayangnya laku bertutur Qaris yang menggebu-gebu ingin memetik capaian estetis dan hendak mewartakan konflik di Afghanistan di samping dibaluri ajaran spiritualisme dari sajak-sajak sufi kadang jadi kabur. Di sisi lain, Andi dilukiskan dalam bingkai watak yang lemah, sementara Larasati dan Nafas justru di pihak yang kuat. Tapi, Larasati yang kuat dan tangguh justru digambarkan dengan akhir hidup yang tragis setelah tak kuat menanggung kesedihan.

Konsistensi pengarang pun samar-samar, tidak memeluk alur cerita dengan erat. Meski secara implisit, ia seakan menolak model "sati" sebagai pengorbanan perempuan di India karena Andi dihadang kebimbangan setelah ditinggal mati Larasati. Ia pun tak kuat jadi "sati lelaki" yang rela mati demi sang kekasih, melainkan lebih memilih untuk memenuhi panggilan Tuhan menjadi penjuang bagi orang-orang lemah.*** (n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya tidak menyangka bisa 'nyangkut' ke blog ini dan menemukan sebuah karya bagus. Lebih dari itu, penulisnya, Mas Qaris, orang yang baru dalam minggu-minggu sering saya sebut namanya dan bertanya-tanya kira-kira di mana sekarang.

Alangkah senangnya jika bisa bertemu. Setahu saya, sewaktu di Kairo, dia koresponden Forum Keadilan. Apakah sekarang masih wartawan di sana ya? Kalau begitu, kenal dong dengan Pak Noorca yang juga baru melaunching novel ke-4 berjudul d.I.a