....

Sabtu, 23 Februari 2008

burung merpati dan paradoksal sebuah simbol

resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 23 Feb 2008

Judul buku : Paranoid; The Story of a Madman,
Pengarang : Patrick Suskind,
Penerbit : Dastanbooks, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2007,
Tebal buku : 213 halaman

Patrick Suskind adalah salah satu sastrawan genius yang lihai menggambarkan psikologis tokoh "cerita yang paradoks" dengan sejuta kompleksitas hidup. Karena itu, nyaris setiap novel yang lahir dari tangannya bisa mengguncang pikiran. Ia mampu menghadirkan absurditas hidup manusia dengan bahasa metafor (simbol) sekaligus dengan teknik, juga gaya yang khas dan unik. Tidak terkecuali, teknik yang dirilis Suskind dalam Paranoid ini.

Nyaris sama seperti novel Das Parfum (diterjemahkan Dastan Books jadi Perfume; The Story of Murderer; 2006) dengan tokoh paradoks Grenouille yang memiliki indra penciuman tajam, tapi mengidap kelainan lantaran tega membunuh 25 perawan untuk dijadikan "parfum terbaik", kali ini Suskind kembali menyentak dengan tokoh Jonathan Noel, seorang satpam tua yang dicekam rasa takut gara-gara melihat burung merpati di depan kamar. Karena itu, novel ini penuh paradoks sekaligus jenaka.

***

SORE yang kelabu (di bulan Juli 1942) itu, Jonathan kecil pulang dari memancing. Tapi, betapa tersentak saat tiba di rumah dan bergegas ke dapur, ternyata ia tak lagi menemukan ibunya. Ia tak tahu ke mana ibunya pergi. Ayahnya bilang, ibunya pergi jauh. Lebih tragis, beberapa hari kemudian ayahnya pergi. Sejak itu ia tidak pernah bertemu dengan kedua orangtuanya karena menghilang dan tak kembali --dari kamp konsentrasi Nazi.

Ia dan adik perempuannya lalu diasuh sang paman di desa Puget, lembah Durance. Di desa itu, ia ingin melupakan masa lalu. Tapi harapan itu gagal. Karena awal tahun 1950-an ia dipaksa sang paman ikut wajib militer. Setelah 3 tahun bertugas, ia pulang pada musim semi 1954 dan lagi-lagi harus diterpa sedih. Adik Jonathan bermigrasi ke Kanada. Tak tega melihat Jonathan murung, pamannya menikahkan Jonathan dengan seorang gadis dari Lauris, Marie Baccouche. Ia berharap, pernikahan itu bisa membuat hidupnya tak sendiri.

Tapi malang! Usai melahirkan, istrinya pergi dengan lelaki lain. Hati Jonathan remuk. Untung, ia tak gila. Ia lantas memutuskan tak lagi bergantung orang lain, pergi ke Paris. Di sana, dia mendapat pekerjaan sebagai satpam sebuah Bank. Akibat trauma itulah, Jonathan lalu menjaga jarak. Ia tak kenal tetangga dan memilih hidup sendiri. Anehnya, dengan cara itu ia merasa aman.

Selama 30 tahun, ia hidup damai. Tapi kebahagian hidup selama tinggal di kamar no 24 lantai tujuh Chambre de Bonne itu, tiba-tiba berantakan ketika ia menjumpai burung merpati di depan kamar, pada suatu pagi. Burung itu membuatnya takut sampai ia harus lari keluar kamar. Tragisnya, sepanjang hari itu ia geram, selalu sial, dan tak berani pulang lalu tinggal di hotel. Bahkan sebelum tidur, ia sudah berniat bunuh diri begitu pagi tiba.Tapi, badai datang. Sebelum fajar, sebuah ledakan membuatnya tersentak. Lalu kota tiba-tiba hening. Dia menjumpai dirinya di gedung bawah tanah rumah orang tuanya. Bagai hidup di alam mimpi, ia merasa tak lebih sebagai satpam tua yang sakit jiwa. Untung, seberkas cahaya tiba-tiba membuatnya sadar. Setelah itu, ia berkemas pulang.

***

NOVEL paranoid ini (aslinya berjudul Die Taube dan seharusnya diterjemahkan menjadi Burung Merpati), mengusung tema genius. Pengarang --yang sempat menjadi penulis pertelevisian ini-- mampu menghadirkan tokoh Jonathan, yang paradoks sebagai satpam yang dicekam paranoid setelah kehadiran burung merpati dengan menghadirkan simbol yang paradoks.

Sudah umum, burung merpati dikenal sebagai simbol perdamaian atau kesetiaan. Tidak salah, jika suami-istri yang harmonis dianalogikan seperti sepasang merpati. Karena karakter burung merpati, tak mengenal selingkuh.

Tapi bagi pengarang Drei Geschicten ini, burung merpati diartikan dengan makna lain. Burung merpati justru dilambangkan sebagai simbol kekacauan dan anarkhis. Burung merpati terbang tak tentu arah, mencakar, mencukil mata, dan tidak pernah berhenti membuang kotoran. Bahkan kotoran merpati itu menebarkan malapetaka, bakteri, dan virus meningitis (hal 37). Dengan sifat itulah, pengarang yang kini tinggal di Munich memilih burung merpati dan bukan binatang lain sebagai teror bagi Jonathan.

Selain menghadirkan metafor "merpati", Suskind juga menggambarkan alienasi (keterasingan) Jonathan yang berprofesi sebagai satpam, tidak ubahnya "patung". Dengan tugas berdiri di depan bank, membuka pintu pagar, tugas Jonathan hanya aksesoris belaka. Ia serupa patung.

***

JIKA dibandingkan Das Parfum, Paranoid jelas masih jauh. Paranoid tidak punya keunikan dari segi estetik dan struktur bahasa, kecuali soal pesan, serta bahasa metafor. Karena itu, dapat dimaklumi jika novel Paranoid ini penuh kebopengan.

Pertama, dari segi sistematika, novel ini tak ada balance dalam "durasi dan ritme" penceritaan karena tak seimbang antara penuturan masa kecil Jonathan yang kelabu dengan masa tua Jonathan yang dikisahkan panjang lebar. Suskind bahkan menghabiskan 27-200 halaman dalam menceritakan masa tua Jonathan (di usia 53 tahun), padahal durasi cerita hanya 24 jam (sehari semalam) dan masa-masa awal kehidupan Jonathan yang jadi flash back traumatis dari tahun 1942-1984 anehnya tak dikisahkan detail, hanya 16 halaman (dari halaman 9-24). Padahal di masa itu, hidup Jonathan lebih mencekam.

Kedua, ending cerita pun kurang memberi ketegangan. Saat membaca novel ini, saya berpikir, ending cerita berakhir saat Jonathan kembali ke masa lalu dan ia menganggap dirinya berada di gudang bawah tanah rumah orangtuanya di Chareton. Dia hanya mimpi menjadi seorang satpam tua. Maka, bagi saya, kegilaan Jonathan adalah halusinasi belaka. Tapi dugaan saya itu salah. Suskind mengakhiri cerita dengan kepulangan Jonathan yang tak menjumpai burung merpati di depan kamar.

Ketiga, novel ini tidak didukung riset memadai. Akibatnya novel ini kering apalagi nyaris tanpa ada dialog yang memperkuat plot. Paranoid ini seperti cerita senyap, jauh di bawah Das Perfume --yang didukung riset sejarah, bahan parfum bahkan riwayat hidup Grenouille yang nyaris kelabu tetapi Suskind mampu mengisahkan dengan brilian. (n. mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tengerang).

Tidak ada komentar: