....

Selasa, 01 April 2008

pesona lumpur similiar dalam novel

resensi buku

Judul buku : Lumpur Similiar
Penulis : Alfian Malik
Penerbit : PT Andal Krida Nusantara, Jakarta
Cetakan : Pertama, Des 2007
Tebal buku : 248 halaman

SEBUAH karya sastra tak jarang ditulis oleh pengarang dengan pretensi untuk dijadikan semacam "arsip sosial" suatu masyarakat tertentu. Maka, karya sastra itu tidak sekadar menuturkan rentetan cerita yang unik, melainkan juga berupaya menyingkap kedalaman tradisi, kebiasaan, adat-istiadat juga mitologi yang berkembang di tengah masyarakat. Tak salah jika karya itu kemudian lahir tak hanya menjadi rekaman realitas, justru sebuah capaian bahkan pengembaraan sang pengarang untuk menggumuli hal-hal yang kadang tak realis dan magis.

Pengembaraan sang pengarang yang bersentuhan dengan hal magis dan tak realis itulah yang bisa pembaca temui dalam novel Lumpur Semiliar ini. Karena dalam novel terbarunya ini, Alfian Malik berupaya menghadirkan negeri Lumpur yang konon dikenal sebagai negeri santet, perdukunan, mistis bahkan jauh dari peradaban modern dengan sudut padang lain ketika tokoh "aku" yang tidak lain Tegar Patih tersesat di daerah jauh nun terpencil di pedalaman propinsi Riau. Karena itulah, novel ini mirip sebuah pengembaraan antropologis.

Cerita bermula ketika Tegar Patih dan Tomy memutuskan untuk ikut reli Saban-Merauke International Live Event Relly. Karena ingin meraih juara dalam lomba itu, maka keduanya melakukan "persiapan mengenali" medan. Tomy kebagian wilayah Timur. Tegar Patih kebagian wilayah Barat. Tapi, saat sampai di Riau, Tegar Patih mengalami nasib pahit. Dia tersesat bersama pereli lain, Khariza.

Saat malam datang, keduanya kemudian berteduh di sebuah rumah. Tetapi penduduk setempat tiba-tiba menangkap keduanya karena dianggap melanggar adat -meski keduanya tak melakukan perbuatan seronok- dan untuk menolak balak itu, penguasa setempat (Datuk Tinggi) menikahkan Tegar Patih dan Khariza. Padahal di Brunai, Khariza sudah bersuami dan punya anak. Lantas, ketika keduanya mau menghuni sebuah rumah yang dibangun Tegar Patih untuk menjalani malam pertama tak disangka pasukan TNI membebaskan keduanya. Tegar Patih dibawa ke Jakarta, sedangkan Khariza diterbangkan ke Brunai.

Desa di pedalaman Riau itu ternyata menarik Tegar Patih kembali lagi. Anehnya sekembali di desa Lumpur itu, Tegar Patih justru diajari Datuk Tinggi mendalami ilmu-ilmu gaib, dan kemudian dinobatkan menjadi Datuk. Tapi seiring perjalanan waktu, akhirnya Tegar Patih tahu jika Datuk Tinggi tak segan-segan berbuat jahat. Keduanya kemudian bersitegang dan Tegar Patih harus "membayar" mahal. Saat ia pulang, ayahnya meninggal secara mendadak.

Dalam upacara tujuh hari kematian ayahnya itu, Tegar Patih berkenalan dengan kiai Wazukni Fahman. Pertemuan itu yang kemudian mampu meluruskan ilmu gaib Tegar Patih. Bahkan, kiai itu kemudian mewariskan ilmu kesempurnaan alam dan sepeninggal si kiai, Tegar Patih mendapatkan warisan banda-benda keramat. Setelah itu, jalinan cerita "berjalan datar". Tegar Patih lalu menikah dengan Rani. Sempat cerai kemudian rujuk kembali, tetapi Rani meninggal bersama anak yang dikandungnya saat melahirkan. Lalu Tegar Patih menikahi Sarinah yang tak lain putri kiai Warzukni -setelah keduanya menggelar sarasehan "mempertemukan ilmu gaib dan teknologi modern" di Lumpur Similiar.

Tapi menjelang tujuh bulan masa kehamilan, tiba-tiba Sari menghilang. Tepat sembilan bulan kehamilan, Tegar Patih dan ibunya menjumpai bayi mungil menangis dalam posisi duduk di kursi meja makan. Bayi itu kemudian diketahui sebagai anak Tegar Patih yang ditinggalkan Sarinah. Tetapi, anak itu ternyata lahir dengan kelainan bawaan yang belum pernah ditemukan pada spesies manusia sehingga Tegar membawa anaknya itu berobat ke sebuah klinik di Australia yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan Khariza.

Setelah melewati pemeriksaan, anak dari Tegar Patih-Sari itu ternyata diketahui sebagai "cikal bakal spesies manusia baru" di abad peradaban tinggi karena anak itu merupakan anak ultramodern. Maklum, karena di balik kelahiran itu sang ibu ternyata keturunan peri dan anak itu lahir lebih dini, melompati waktu dan tanpa melui evolusi. Anak itu diramal akan jadi manusia ultramodern yang kelak di kemudian hari akan mendiami bumi di abad-abad mendatang.

Lompatan cerita yang melampaui realitas itulah yang hendak dijelaskan oleh pengarang dalam novel ini. Selain itu, pengarang hendak meracik keunikan dan ke"magis"an desa Lumpur yang di kemudian dinamai dengan "Lumpur Similiar" -sebagai anonim dari Saban-Merauke International Live Event Relly yang pernah membawa Tegar Patih tersesat ke desa pedalaman Riau itu. Sayangnya, pengarang kurang prigel dan piawai dalam menuturkan kisah.

Inti dari sebuah novel memang kekuatan narasi. Tapi dalam kepenulisan novel, dikenal sebuah penulisan dengan cara menggambarkan bukan menceritakan. Rupanya "teknik penggambaran" itu tidak dikuasai oleh pengarang. Praktis jika novel ini serupa catatan perjalanan atau catatan diary. Karena novel dipenuhi dengan cerita yang tidak kuat menggambarkan setting dan "detail tokoh".

Kelemahan pengarang itu, berakibat fatal dalam sejumlah hal. Pertama, alur cerita jadi datar, tidak berpilin dan tidak njelimet. Kedua, eksplorasi imajinasi tak menghasilkan capaian estetik yang menggugah rasa. Ketiga, novel ini tidak didukung dengan dialog yang memadai. Maka, novel ini seperti cerita rakyat yang sepi dialog dan kurang menggelora dari sudut pandang sastrawi.

Keempat, kekuatan setting yang menjadi latar dari cerita ternyata tak dielaborasi dengan maksimal. Tak salah, "detail pengembaraan" yang seharusnya memukau dan mampu menjadikan novel ini jadi novel antropologis kalau didukung riset memadai tentang seluk beluk upacara adat di desa Lumpur Similiar. Tapi, riset itu ternyata kering dan novel ini pun rapuh jadi novel antropologis.

Kendati demikian, novel ini tak serta merta menjadi novel yang gagal. Karena, pengarang masih "menawarkan" beberapa hal yang dapat menjadi kekuatan dan terobosan. Pertama, novel ini menawarkan terobosan dengan "menggabungkan" ilmu gaib, spiritual, dan kecanggihan teknologi. Kedua, novel ini mengenalkan anak "ultramodern" yang akan mendiami bumi di kelak kemudian hari yang nyaris di luar jangkauan akal. Ketiga, Lumpur Similiar yang tertinggal juga dicemooh sebagai desa jauh dari peradaban dikenalkan oleh pengarang dengan teknik lain dan diobsesikan jadi desa yang mengilhami perabadan.

Lebih dari itu, sang pengarang mengisahkan cerita cinta "tokoh utama" yang berliku dan nyaris tak bisa ditebak. Akhirnya dari kisah cinta itu, sang pengarang bisa dipahami hendak meneguhkan bahwa cinta itu, sebenarnya misteri kehidupan yang tak pernah bisa dirumuskan sebagaimana dalam ilmu eksak.***

*) N. Mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tangerang.

3 komentar:

ALFmalik mengatakan...

Assalamualaikum wr wb
Salam kenal mas Mursidi. Kritik Anda dalam resensi ini persis sama dengan apa yang diucapkan seorang teman saya penulis senior. Jadi saya tau mas Mursidi pasti udah banyak asam garam dalam tulis menulis. Thank'a banget atas segala apresiasi ini...salut!

Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.