....

Senin, 30 Oktober 2006

kesaksian kejahatan atas nama cinta

resensi ini dimuat di Sinar harapan, Sabtu 30 Sep 2006)

Burned Alive (edisi terjemahan)
Penulis: Souad
Penerjemah: Khairil Azhar
Penerbit: Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2006
Tebal: 290 halaman

"SAAT itu, usiaku sudah lebih tua dari usia kakakku Noura saat ia menikah. Usiaku delapan belas tahun, atau mungkin saja lebih, aku tak tahu dan aku berharap sekaligus berputus asa. Kenangan menguap bersama asap di hari api melahap tubuhku, tetapi aku mencoba membangun kembali apa yang terjadi," demikianlah kesaksian Souad (nama samaran) dalam novel Burned Alive, terkait pembunuhan dirinya atas nama kehormatan keluarga.

Kenapa Souad harus dibunuh? Semata-mata, karena keluarga Souad merasa "malu" dengan kondisinya yang hamil tanpa suami. Di tempat Souad dilahirkan dan dibesarkan (Tepi Barat, Palestina) ternyata perempuan dianggap tak lebih berharga dari seekor keledai.

Tak salah jika terlahir sebagai perempuan dianggap sebuah kutukan. Toh, kalau kemudian ia tak dibunuh saat lahir, ia diperlakukan tak adil, tak mendapat kesempatan seperti anak lelaki, dan yang lebih tragis, hukum telah menetapkan bahwa membunuh perempuan itu bukan satu dosa. Jika perempuan itu dicap sebagai charmuta, atas nama kehormatan, tradisi, dan adat justru menghalalkan perempuan seperti Suoad itu dibunuh!

Terlahir sebagai perempuan, Souad tak pernah merasa salah. Toh, itu takdir yang tak dapat ditolak. Tetapi dia tak pernah tahu, kenapa tradisi di kampungnya memperlakukan perempuan tak lebih berharga daripada binatang. Meski lahir dengan selamat sebagai anak ketiga, Soaud "dicekam" ketakutan.

Suatu saat—kalau melakukan hal yang dianggap buruk—dia bisa dibunuh, apalagi ia tahu sendiri adik perempuannya, bernama Hanan dibunuh dengan dijerat kabel telepon oleh Assad, adik lelakinya. Adik-adik perempuan Souad yang lain juga tak pernah dia jumpai, sebab ibunya telah mencekik—sesaat setelah mengejan kesakitan semata-mata karena sang ibu menjumpai anak yang lahir itu berjenis kelamin perempuan.

Meski menjalani hidup penuh dengan ketakutan, dia dapat melampaui dengan gemilang masa kanak-kanan dan remajanya. Persoalan muncul saat Souad menginjak usia tujuh belas tahun (atau delapan belas tahun—Souad sudah lupa), ketika ia memasuki usia perkawinan sedang kakaknya, Kainat, belum mendapat jodoh.

Saat itu, padahal ia sudah dilamar Faiez. Ia tak bisa melangkahi Kainat, sehingga tak bisa melangsungkan pernikahan selama Kainat masih belum menikah.

Dorongan cinta untuk bertemu Faiez tak bisa dibendung. Secara diam-diam dia dan Faiez melakukan pertemuan rahasia dan keduanya melakukan hubungan badan. Tapi buah kecerobohan Souad itu ternyata membawa petaka. Ia hamil dan Faiez tak mau bertanggung jawab. Karena keluarga tak ingin menanggung malu, ditunjuklah Husain, kakak iparnya untuk membunuh Souad. Di suatu pagi, Husain mengguyurkan bensin di tubuh Souad dan membakarnya hidup-hidup.

Tak ada yang mencela tindakan Husain karena tradisi memang mengharuskan dia membunuh. Ia bahkan dianggap pahlawan karena telah melakukan pembunuhan atas nama keluarga. Tetapi, Souad tak meregang nyawa meski menderita luka bakar dan koma selama tujuh bulan di rumah sakit.

Seorang perempuan bernama Jaqueline bekerja pada organisasi kemanusiaan Terre des Hommes yang dipimpin Edmond Kaiser telah menolongnya, membawanya ke Swiss untuk mendapat perawatan serta perlindungan. Souad akhirnya berhasil hidup kembali meski dengan muka dan tubuh penuh luka bakar.

Kini, ia hidup di alam kebebasan, tak dikekang adat yang memperlakukan perempuan dengan hukum tidak adil.

Ia menjalani sisa hidupnya di Swiss dengan dua anak perempuan dari suami asal Italia serta anak lelakinya yang dulu dia lahirkan ketika masih koma di sebuah rumah sakit di Palestina, yang sempat diselamatkan pula oleh Jaqueline. Sampai detik ini, identitas Souad masih dirahasiakan.

Upaya pembunuhan atas nama kehormatan keluarga itu yang membuat Souad kemudian ingin bersaksi atas ketidakadilan hidup yang dia alami dengan menulis novel Burned Alive ini. Ada dua hal di balik "misi" penulisan novel ini. Pertama, sebagai jawaban pada ketiga anaknya, kalau suatu hari nanti bertanya soal luka bakar di tubuhnya, sebagaimana tulisnya, "Lebih menyakitkan ketimbang menjawab pertanyaan yang akan diajukan anak-anakku."

Kedua, dengan menulis kesaksian dalam bentuk buku, dia berharap buku ini akan keliling dunia dan sampai ke Tepi Barat agar lelaki di sana tak lagi melakukan pembunuhan atas nama kehormatan.

Sungguh, memoar ini adalah kesaksian yang luar biasa, mengguncang kesadaran dan ideologi patriarki yang sampai kini masih kuat bercokol di kepala kaum lelaki, terutama di negara berkembang. Sebagai kisah nyata, buku ini juga mengundang keprihatian. Nyaris membuat kita tak percaya kalau di pelosok sebuah negeri, ternyata masih ada tradisi yang tak mengindahkan nasib perempuan.

Meskipun novel ini dari pencapaian estetis kurang menggelorakan kesadaran, karena kering deskripsi akan karakter tokoh dan tak banyak dialog, tetapi gema pesan Souad soal pengalaman hidup yang dialami serasa mencekam, apalagi didukung dengan "teknis penceritaan" secara bergantian oleh Jacqueline untuk melengkapi daya ingat Souad.
Ini tentu menjadikan novel yang tak diragukan lagi sebagai sebuah memoar yang membakar emosi sampai di ulu hati.

*) n. mursidi, cerpenis asal Lasem Jawa Tengah

Tidak ada komentar: