esai ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu 25 Mei 2008
Dunia perbukuan masih diwarnai kelatahan para penulis dan penerbit. Lantas harapan membaca buku-buku berkualitas pun berbuah kekecewaan.
Sebab,buku-buku yang beredar di pasar dan dijajar rapi di sejumlah toko buku untuk dijual ke pasaran nyaris dipenuhi dengan buku-buku yang tak bagus (meski tak seluruhnya) alias mutunya masih jauh dari harapan.Wajar jika teman saya, saat saya antar untuk membeli buku—mungkin juga sebagian besar pembaca di Indonesia— kemudian merasa kecewa dan geram.
Kegeraman teman saya itu tidak lain karena dunia perbukuan kita lagi dijangkiti penyakit akut berupa kelatahan.Pertama,demi meraup untung semata, sebagian penerbit latah menerbitkan buku asal-asalan serta kurang menggugah. Semisal, setelah buku Jakarta Undercover (Moammar Emka) meraih sukses, penerbit lain ikut menerbitkan buku serupa.
Kedua, kelatahan lain pun juga terjadi pada pilihan judul buku. Salah satu kasus,ketika penerbit Qisthi Press berhasil meraih penjualan buku La Tahzan (Aidh Al- Q a r n i ) secara fantastis, penerbit lain lalu ikut-ikutan menerbitkan buku dengan judul nyaris serupa, seperti La Taghdhab (Jangan Marah), La Takhaf (Jangan Takut), La Tanza (Jangan Lupa).
Bahkan, belakangan, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menjadi kiblat meniru sukses sebuah buku. Selain penerbit, pengusung ide (sang penulis buku) parahnya tak mampu mendobrak kebuntuan itu. Penulis latah karena hanya ingin menjadi penulis, kemudian asal menulis (meskipun saya tahu tidak sepenuhnya penulis demikian), untuk numpang nama dan mencari status sosial.
Dengan konteks itu, wajar jika kemudian buku-buku yang beredar dan berjejer di rak-rak toko adalah setumpuk buku yang dipenuhi buku-buku kurang bermutu. Sungguh menyedihkan! Karena itu, tidak disangsikan lagi, dibutuhkan ketajaman melihat arus perubahan zaman,baik bagi penerbit maupun penulis, supaya tak sekadar menerbitkan buku-buku yang laku di pasaran, tetapi harus diimbangi dengan kualitas dan mutu yang baik.
Meski begitu, di balik ketajaman itu, tidak semestinya hanya terjebak pada kerinduan semata, tanpa ada “jalan keluar” bagaimana melahirkan buku bermutu, terlebih buku yang bisa mendobrak pasar sekaligus bisa langgeng (abadi).
Menyiasati Kejenuhan
Di tengah kejenuhan pembaca setelah digencar dengan karya-karya serupa hasil investigasi seks karya Moammar Emka, lantas buku-buku fiksi yang berbau seks dan menggoda syahwat seperti novel Saman (Ayu Utami) dan Jangan Bermain-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), dunia penerbitan Tanah Air kita boleh lega dengan kehadiran sastrawan Habiburrahman El-Shirazy—yang merilis novel dengan corak lain, Islami, bahkan mampu mendobrak kejenuhan pasar.Kehadiran novel Ayat-Ayat Cinta pun seakan mengisi kehausan minat pembaca.
Alhasil,novel dengan setting Mesir yang memesona itu pun meraih sukses. Akan tetapi, “dobrakan” El Shirazy itu harus diakui baru sebatas kejelian membangun warna baru dari kecenderungan pasar yang sudah digelontor warna novel-novel bertema seks. Bisa dipahami jika sambutan pembaca serupa diguyur air tatkala pasar sudah lama digantangi dengan terik panasnya buku-buku berbau seks sehingga novel Ayat-Ayat Cinta seakan membawa “angin surga”yang menawarkan kesejukan dan pencerahan.
Tapi sayang, seiring hal itu, lagilagi kelatahan penerbit,juga penulis, di Negeri Indonesia tidak serta-merta tersadarkan. Justru fenomena keberhasilan Ayat-Ayat Cinta itu kian melengkapi kelatahan penerbitan buku di Tanah Air ini. Kalau sebelumnya kasus kepiawaian Moammar Emka sempat mendobrak kejenuhan pasar, kini pasar itu seperti digeser dengan demam Ayat-Ayat Cinta.
Kelatahan pun bergulir terjadi, penerbit dan penulis ikut-ikutan menerbitkan novel bertema sama dengan corak Ayat- Ayat Cinta.Ketika demam Ayat-Ayat Cinta itu usai, kini demam novel dengan warna dan corak Laskah Pelangi.
Mendobrak dan Langgeng
Dobrakan El Zhirazy dalam merilis Ayat-Ayat Cinta itu memang patut diacungi jempol.Tapi, apakah dobrakan ide yang digemakan El Zhirazy itu akan tetap mendobrak dan bahkan luar biasa setelah satu abad kemudian? Jelas,belum tentu.
Sebab,saya melihat dobrakan yang dilakukan Kang Abik—Habiburrahman El Zhirazy— hanya sebatas tawaran baru saat sastra Indonesia lagi diramaikan tema seks, tapi ide tersebut tanpa disertai pemikiran yang baru (seperti dari tinjauan sejarah, sosiologi, atau ilmu pengetahuan).
Karena itu, ide dari El Zhirazy masih tidak dapat menyandingi kebesaran karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang mampu mendobrak dan langgeng. Sebab, sebagian besar novel Pramoedya, selain mendobrak, punya mutu, ternyata juga memiliki bobot yang langgeng.
Pramoedya tidak saja menawarkan novel yang enak dibaca, tetapi juga menawarkan ide serta gagasan baru—merekonstruksi sejarah dan menawarkan sastra aliran realisme sosialis di Indonesia.Tidak berlebihan jika Pramoedya sempat dicalonkan masuk nominasi mendapatkan hadiah Nobel meski sampai ajal menjemput hal itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Kendati demikian, meski Pramoedya sudah meninggal dunia, hingga kini novel-novel karya pengarang kelahiran Blora itu masih terus didekap dan dibaca banyak orang. Namun,saat ini memang tidak mudah menemukan buku atau novel yang bermutu setaraf karya Pramodeya. Terkadang saat ada buku (novel) yang punya pengaruh luas dan mendobrak, belum tentu buku (novel) itu dapat langgeng.
Itu persoalannya. Lagi-lagi kelatahan pun akan terus menjadi fenomena yang menjangkiti dunia penerbitan di Tanah Air kita jika tidak lahir pengarang baru yang menggantikan Pramoedya karena pengarang kelahiran Blora itu harus diakui mampu melahirkan buku pendobrak, sekaligus langgeng (abadi)!(*)
*) N Mursidi, cerpenis dan esais, tinggal di Ciputat, Tangerang.
Sebab,buku-buku yang beredar di pasar dan dijajar rapi di sejumlah toko buku untuk dijual ke pasaran nyaris dipenuhi dengan buku-buku yang tak bagus (meski tak seluruhnya) alias mutunya masih jauh dari harapan.Wajar jika teman saya, saat saya antar untuk membeli buku—mungkin juga sebagian besar pembaca di Indonesia— kemudian merasa kecewa dan geram.
Kegeraman teman saya itu tidak lain karena dunia perbukuan kita lagi dijangkiti penyakit akut berupa kelatahan.Pertama,demi meraup untung semata, sebagian penerbit latah menerbitkan buku asal-asalan serta kurang menggugah. Semisal, setelah buku Jakarta Undercover (Moammar Emka) meraih sukses, penerbit lain ikut menerbitkan buku serupa.
Kedua, kelatahan lain pun juga terjadi pada pilihan judul buku. Salah satu kasus,ketika penerbit Qisthi Press berhasil meraih penjualan buku La Tahzan (Aidh Al- Q a r n i ) secara fantastis, penerbit lain lalu ikut-ikutan menerbitkan buku dengan judul nyaris serupa, seperti La Taghdhab (Jangan Marah), La Takhaf (Jangan Takut), La Tanza (Jangan Lupa).
Bahkan, belakangan, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menjadi kiblat meniru sukses sebuah buku. Selain penerbit, pengusung ide (sang penulis buku) parahnya tak mampu mendobrak kebuntuan itu. Penulis latah karena hanya ingin menjadi penulis, kemudian asal menulis (meskipun saya tahu tidak sepenuhnya penulis demikian), untuk numpang nama dan mencari status sosial.
Dengan konteks itu, wajar jika kemudian buku-buku yang beredar dan berjejer di rak-rak toko adalah setumpuk buku yang dipenuhi buku-buku kurang bermutu. Sungguh menyedihkan! Karena itu, tidak disangsikan lagi, dibutuhkan ketajaman melihat arus perubahan zaman,baik bagi penerbit maupun penulis, supaya tak sekadar menerbitkan buku-buku yang laku di pasaran, tetapi harus diimbangi dengan kualitas dan mutu yang baik.
Meski begitu, di balik ketajaman itu, tidak semestinya hanya terjebak pada kerinduan semata, tanpa ada “jalan keluar” bagaimana melahirkan buku bermutu, terlebih buku yang bisa mendobrak pasar sekaligus bisa langgeng (abadi).
Menyiasati Kejenuhan
Di tengah kejenuhan pembaca setelah digencar dengan karya-karya serupa hasil investigasi seks karya Moammar Emka, lantas buku-buku fiksi yang berbau seks dan menggoda syahwat seperti novel Saman (Ayu Utami) dan Jangan Bermain-main dengan Kelaminmu (Djenar Maesa Ayu), dunia penerbitan Tanah Air kita boleh lega dengan kehadiran sastrawan Habiburrahman El-Shirazy—yang merilis novel dengan corak lain, Islami, bahkan mampu mendobrak kejenuhan pasar.Kehadiran novel Ayat-Ayat Cinta pun seakan mengisi kehausan minat pembaca.
Alhasil,novel dengan setting Mesir yang memesona itu pun meraih sukses. Akan tetapi, “dobrakan” El Shirazy itu harus diakui baru sebatas kejelian membangun warna baru dari kecenderungan pasar yang sudah digelontor warna novel-novel bertema seks. Bisa dipahami jika sambutan pembaca serupa diguyur air tatkala pasar sudah lama digantangi dengan terik panasnya buku-buku berbau seks sehingga novel Ayat-Ayat Cinta seakan membawa “angin surga”yang menawarkan kesejukan dan pencerahan.
Tapi sayang, seiring hal itu, lagilagi kelatahan penerbit,juga penulis, di Negeri Indonesia tidak serta-merta tersadarkan. Justru fenomena keberhasilan Ayat-Ayat Cinta itu kian melengkapi kelatahan penerbitan buku di Tanah Air ini. Kalau sebelumnya kasus kepiawaian Moammar Emka sempat mendobrak kejenuhan pasar, kini pasar itu seperti digeser dengan demam Ayat-Ayat Cinta.
Kelatahan pun bergulir terjadi, penerbit dan penulis ikut-ikutan menerbitkan novel bertema sama dengan corak Ayat- Ayat Cinta.Ketika demam Ayat-Ayat Cinta itu usai, kini demam novel dengan warna dan corak Laskah Pelangi.
Mendobrak dan Langgeng
Dobrakan El Zhirazy dalam merilis Ayat-Ayat Cinta itu memang patut diacungi jempol.Tapi, apakah dobrakan ide yang digemakan El Zhirazy itu akan tetap mendobrak dan bahkan luar biasa setelah satu abad kemudian? Jelas,belum tentu.
Sebab,saya melihat dobrakan yang dilakukan Kang Abik—Habiburrahman El Zhirazy— hanya sebatas tawaran baru saat sastra Indonesia lagi diramaikan tema seks, tapi ide tersebut tanpa disertai pemikiran yang baru (seperti dari tinjauan sejarah, sosiologi, atau ilmu pengetahuan).
Karena itu, ide dari El Zhirazy masih tidak dapat menyandingi kebesaran karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang mampu mendobrak dan langgeng. Sebab, sebagian besar novel Pramoedya, selain mendobrak, punya mutu, ternyata juga memiliki bobot yang langgeng.
Pramoedya tidak saja menawarkan novel yang enak dibaca, tetapi juga menawarkan ide serta gagasan baru—merekonstruksi sejarah dan menawarkan sastra aliran realisme sosialis di Indonesia.Tidak berlebihan jika Pramoedya sempat dicalonkan masuk nominasi mendapatkan hadiah Nobel meski sampai ajal menjemput hal itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Kendati demikian, meski Pramoedya sudah meninggal dunia, hingga kini novel-novel karya pengarang kelahiran Blora itu masih terus didekap dan dibaca banyak orang. Namun,saat ini memang tidak mudah menemukan buku atau novel yang bermutu setaraf karya Pramodeya. Terkadang saat ada buku (novel) yang punya pengaruh luas dan mendobrak, belum tentu buku (novel) itu dapat langgeng.
Itu persoalannya. Lagi-lagi kelatahan pun akan terus menjadi fenomena yang menjangkiti dunia penerbitan di Tanah Air kita jika tidak lahir pengarang baru yang menggantikan Pramoedya karena pengarang kelahiran Blora itu harus diakui mampu melahirkan buku pendobrak, sekaligus langgeng (abadi)!(*)
*) N Mursidi, cerpenis dan esais, tinggal di Ciputat, Tangerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar