Resensi buku
Judul : Bulan Jingga dalam Kepala
Pengarang : M. Fadjroel Rachman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2007
Tebal buku : 421 halaman
TAK banyak aktivis di negeri ini yang dikenal juga sebagai sastrawan. Kalau ada, salah satu aktivis itu adalah M Fadjroel Rachman. Meski sebelumnya "aktivis pejuang demokrasi" ini sudah dikenal sebagai penyair setelah merilis buku antologi puisi, seperti Catatan Bawah Tanah (1993), Sejarah Lari Tergesa (2004) dan Dongeng untuk Poppy (2007), ternyata predikat itu belum membuatnya puas. Tak salah, jika kini dia menerbitkan novel Bulan Jingga dalam Kepala.
Tak jauh dari kehidupan dunia aktivis, yang selama ini telah digeluti Fadjroel, novel ini pun bercerita tentang rezim kekuasaan Orde Baru dan pasca keberhasilan gerakan mahasiswa dalam menumbangkan sang diktator yang ternyata tak banyak mengubah keadaan. Tak pelak jika idealisme Fadjroel yang konsisten untuk terus menegakkan keadilan, membuat aktivis satu ini ditikam rasa kecewa karena reformasi yang dicita-citakan mahasiswa ternyata tak bisa mengantarkan Indonesia menjadi lebih baik. Kekecewaan itu, kemudian "menggumpal" di kepala Fadjroel untuk kemudian menuturkan cita-cita reformasi yang diharapkan.
Meski Fadjroel tak menceritakan tokoh utama dirinya sendiri melainkan tokoh bernama Surianata, tapi tokoh utama itu tetap tak dapat ditepis sebagai alter ego-nya, sehingga novel ini tak terelakkan merupakan sebuah memoar dari perjalanan hidup sang pengarang. Surianata (dan gerakan mahasiswa) sebenarnya sudah berhasil "menumbangkan" rezim kekuasaan jendral Suprawiro dan menduduki Istana Merdeka bahkan berhasil membunuh sang diktator itu lalu menggantungnya di halaman Istana. Tapi, semua itu ternyata belum menumbangkan rezim otoriter yang dikecam mati-matian oleh gerakan mahasiswa.
Pasalnya, keadaan yang tak diperkirakan aktivis itu ternyata mengubah Jakarta menjadi kacau, bahkan menimbulkan huru-hara rakyat. Selama tiga hari, kevakuman kekuasaan menjadikan Jakarta kisruh. Bom meledak di mana-mana serta terjadi perang antar-etnis. Lebih parah, etnis Tionghoa "dibakar hidup-hidup" dan diperkosa.
Keadaan tak menguntungkan itu dimanfaatkan kelompok pengkhianat (yang dulu setia pada jendral Suprawiro) jenderal Yogaswara dan jenderal Wimanjaya. Kedua jendral itu kemudian mengumumkan berlakunya komite umat untuk reformasi dengan melibatkan organisasi massa yang bertujuan guna membentuk pemerintahan baru. Lalu, komite itu memilih presiden Abdullah Hamid dan wakil presiden Ny. Teguh Karti.
Tetapi setelah itu, jendral Yogaswara dan jendral Wimanjaya mengambil alih kekuasaan lewat pemilihan umum. Kedua penghianat itu, lalu "menjatuhkan" hukuman mati pada Surianata dengan tuduhan telah membunuh Suprawiro dan Bunga Pratiwi, cucu jendral Suprawiro yang ikut tertembak saat Surianata melindungi Bunga Langit. Meski kesempatan untuk melarikan diri terbuka lebar, tetap saja Surianata bersikukuh memegang prinsip. Ia ingin meniru jejak Socrates menanti ajal meski dengan hati ditikam gelisah.
Di sisi lain, karena tak ingin menerima kenyatan pahit jika Surianata melarikan diri (seperti Zanuar dan Abah Cianjur), maka Lesmana Abadi --kepala penjara Sukamiskin-- pun mengakhiri Surianata dan segera mengeksekusi aktivis dari ITB itu di hadapan regu tembak, di Tangkuban Perahu. Tidak bisa ditepis, jika keteguhan Surianata yang teguh memegang prinsip untuk "menerima hukuman" yang dipesan oleh jendral Yogaswara merupakan pesan kemanusiaan akan komitmen untuk terus menjunjung tinggi keadilan dan membenci tindak kebinatangan.
Pesan kemanusiaan yang digemakan novel ini bisa jelas dibaca, tatkala Surianata menunggu dieksekusi. Dengan bijak, Surianata menyimpulkan kehidupan politik yang kejam. "Kukira, kebinatangan semacam ini tak akan pernah hilang selamanya. Potensi kegelapan dalam alam bawah sadar kolektif manusia tetaplah membayangi akal budi kita. Seperti bulan yang bersembunyi di tenang matahari, lalu berkuasa penuh di tengah gelap. Selalu berulang, hingga kiamat. Itulah bulan jingga dalam langit gelap di kepala manusia." (hal. 380). Tetapi sayang seribu sayang, orang lebih tak mencintai kehidupan. Akibatnya, politik selalu membantai dan meremukkan tulang dan daging manusia.
Itulah kesimpulan yang ingin didengungkan oleh sang pengarang. Sebuah pesan kemanusiaan. Tak pelak, novel ini pun memiliki "nilai sejarah" apalagi bercerita perjuangan gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim otoriter Orba yang membuat rakyat menderita. Pada sisi lain, novel ini pun dapat dijadikan dokumentasi untuk mengenang detik-detik terakhir kejatuhan Orde Baru, meski ditulis dalam bentuk novel.
Kendati demikian, novel ini tidak lantas tanpa catat. Setidaknya, ada keretakan yang menjadi kelemahan yang tak terelakkan. Pertama, latar belakang Fadjroel yang penyair ternyata kental mewarnai jalinan novel ini. Akibatnya, novel ini penuh taburan kata-kata puitis yang melambung dan melangit, seakan menghambur-hamburkan kata dan membuat bangunan kalimat menjadi abstrak, meski mengundang keindahan dari segi puitisasi prosa.
Kedua, muatan ide dalam novel ini yang dijejali luasnya pengetahuan, dan gagasan pengarang menjadikan novel ini serupa diktat kotbah filsafat yang dirangkai dalam sebuah novel. Apalagi bangunan dialog yang kadang panjang dan mirip petuah seorang dosen. Ujungnya, "pesan yang dikumandangkan" tokoh utama untuk mengkotbahkan pemikirannya tentang sejarah, sosiologi dan filsafat pun kadang-kadang membuat jenuh dan terkesan menggurui. Lebih parah, cara itu tak diimbangi penggambaran setting yang kuat sehingga menjadi berimbang.
Ketiga, alur cerita yang meloncat-loncat, dan tidak ada catatan tahun kejadian, ditambah dengan peralihan sudut pandang yang tidak konsisten, tentu membuat novel ini mengundang bingung pemahaman pembaca awam. Karena, loncatan itu berlangsung dalam ritme cepat, menggelinding lancar. Belum lagi kesalahan ejaan dan kekurang-telitian penulisan, seperti identitas "Bunga Pratiwi" yang kadang ditulis sebagai anak jendral Suprawiro sedang di halaman lain, ditulis sebagai cucu jendral Suprawiro.
Tapi, semua kekurangan itu bisa dimaklumi. Apalagi gebrakan pengarang untuk debut novel ini merupakan novel perdana. Karena novel ini adalah sebuah novel sejarah politik Indonesia yang bercerita detik-detik terakhir kekuasaan rezim Orba yang selama ini luput dari garapan para sastrawan negeri ini.***
*) n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng.
Tak jauh dari kehidupan dunia aktivis, yang selama ini telah digeluti Fadjroel, novel ini pun bercerita tentang rezim kekuasaan Orde Baru dan pasca keberhasilan gerakan mahasiswa dalam menumbangkan sang diktator yang ternyata tak banyak mengubah keadaan. Tak pelak jika idealisme Fadjroel yang konsisten untuk terus menegakkan keadilan, membuat aktivis satu ini ditikam rasa kecewa karena reformasi yang dicita-citakan mahasiswa ternyata tak bisa mengantarkan Indonesia menjadi lebih baik. Kekecewaan itu, kemudian "menggumpal" di kepala Fadjroel untuk kemudian menuturkan cita-cita reformasi yang diharapkan.
Meski Fadjroel tak menceritakan tokoh utama dirinya sendiri melainkan tokoh bernama Surianata, tapi tokoh utama itu tetap tak dapat ditepis sebagai alter ego-nya, sehingga novel ini tak terelakkan merupakan sebuah memoar dari perjalanan hidup sang pengarang. Surianata (dan gerakan mahasiswa) sebenarnya sudah berhasil "menumbangkan" rezim kekuasaan jendral Suprawiro dan menduduki Istana Merdeka bahkan berhasil membunuh sang diktator itu lalu menggantungnya di halaman Istana. Tapi, semua itu ternyata belum menumbangkan rezim otoriter yang dikecam mati-matian oleh gerakan mahasiswa.
Pasalnya, keadaan yang tak diperkirakan aktivis itu ternyata mengubah Jakarta menjadi kacau, bahkan menimbulkan huru-hara rakyat. Selama tiga hari, kevakuman kekuasaan menjadikan Jakarta kisruh. Bom meledak di mana-mana serta terjadi perang antar-etnis. Lebih parah, etnis Tionghoa "dibakar hidup-hidup" dan diperkosa.
Keadaan tak menguntungkan itu dimanfaatkan kelompok pengkhianat (yang dulu setia pada jendral Suprawiro) jenderal Yogaswara dan jenderal Wimanjaya. Kedua jendral itu kemudian mengumumkan berlakunya komite umat untuk reformasi dengan melibatkan organisasi massa yang bertujuan guna membentuk pemerintahan baru. Lalu, komite itu memilih presiden Abdullah Hamid dan wakil presiden Ny. Teguh Karti.
Tetapi setelah itu, jendral Yogaswara dan jendral Wimanjaya mengambil alih kekuasaan lewat pemilihan umum. Kedua penghianat itu, lalu "menjatuhkan" hukuman mati pada Surianata dengan tuduhan telah membunuh Suprawiro dan Bunga Pratiwi, cucu jendral Suprawiro yang ikut tertembak saat Surianata melindungi Bunga Langit. Meski kesempatan untuk melarikan diri terbuka lebar, tetap saja Surianata bersikukuh memegang prinsip. Ia ingin meniru jejak Socrates menanti ajal meski dengan hati ditikam gelisah.
Di sisi lain, karena tak ingin menerima kenyatan pahit jika Surianata melarikan diri (seperti Zanuar dan Abah Cianjur), maka Lesmana Abadi --kepala penjara Sukamiskin-- pun mengakhiri Surianata dan segera mengeksekusi aktivis dari ITB itu di hadapan regu tembak, di Tangkuban Perahu. Tidak bisa ditepis, jika keteguhan Surianata yang teguh memegang prinsip untuk "menerima hukuman" yang dipesan oleh jendral Yogaswara merupakan pesan kemanusiaan akan komitmen untuk terus menjunjung tinggi keadilan dan membenci tindak kebinatangan.
Pesan kemanusiaan yang digemakan novel ini bisa jelas dibaca, tatkala Surianata menunggu dieksekusi. Dengan bijak, Surianata menyimpulkan kehidupan politik yang kejam. "Kukira, kebinatangan semacam ini tak akan pernah hilang selamanya. Potensi kegelapan dalam alam bawah sadar kolektif manusia tetaplah membayangi akal budi kita. Seperti bulan yang bersembunyi di tenang matahari, lalu berkuasa penuh di tengah gelap. Selalu berulang, hingga kiamat. Itulah bulan jingga dalam langit gelap di kepala manusia." (hal. 380). Tetapi sayang seribu sayang, orang lebih tak mencintai kehidupan. Akibatnya, politik selalu membantai dan meremukkan tulang dan daging manusia.
Itulah kesimpulan yang ingin didengungkan oleh sang pengarang. Sebuah pesan kemanusiaan. Tak pelak, novel ini pun memiliki "nilai sejarah" apalagi bercerita perjuangan gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim otoriter Orba yang membuat rakyat menderita. Pada sisi lain, novel ini pun dapat dijadikan dokumentasi untuk mengenang detik-detik terakhir kejatuhan Orde Baru, meski ditulis dalam bentuk novel.
Kendati demikian, novel ini tidak lantas tanpa catat. Setidaknya, ada keretakan yang menjadi kelemahan yang tak terelakkan. Pertama, latar belakang Fadjroel yang penyair ternyata kental mewarnai jalinan novel ini. Akibatnya, novel ini penuh taburan kata-kata puitis yang melambung dan melangit, seakan menghambur-hamburkan kata dan membuat bangunan kalimat menjadi abstrak, meski mengundang keindahan dari segi puitisasi prosa.
Kedua, muatan ide dalam novel ini yang dijejali luasnya pengetahuan, dan gagasan pengarang menjadikan novel ini serupa diktat kotbah filsafat yang dirangkai dalam sebuah novel. Apalagi bangunan dialog yang kadang panjang dan mirip petuah seorang dosen. Ujungnya, "pesan yang dikumandangkan" tokoh utama untuk mengkotbahkan pemikirannya tentang sejarah, sosiologi dan filsafat pun kadang-kadang membuat jenuh dan terkesan menggurui. Lebih parah, cara itu tak diimbangi penggambaran setting yang kuat sehingga menjadi berimbang.
Ketiga, alur cerita yang meloncat-loncat, dan tidak ada catatan tahun kejadian, ditambah dengan peralihan sudut pandang yang tidak konsisten, tentu membuat novel ini mengundang bingung pemahaman pembaca awam. Karena, loncatan itu berlangsung dalam ritme cepat, menggelinding lancar. Belum lagi kesalahan ejaan dan kekurang-telitian penulisan, seperti identitas "Bunga Pratiwi" yang kadang ditulis sebagai anak jendral Suprawiro sedang di halaman lain, ditulis sebagai cucu jendral Suprawiro.
Tapi, semua kekurangan itu bisa dimaklumi. Apalagi gebrakan pengarang untuk debut novel ini merupakan novel perdana. Karena novel ini adalah sebuah novel sejarah politik Indonesia yang bercerita detik-detik terakhir kekuasaan rezim Orba yang selama ini luput dari garapan para sastrawan negeri ini.***
*) n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar