....

Minggu, 04 Mei 2008

raport merah lima presiden indonesia

resensi ini dimuat di suara merdeka, minggu 4 mei 08

Judul buku : Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi dan Jalan Baru Membangun Indonesia
Penulis : Ishak Rafick
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2008
Tebal buku : xx + 422 halaman

SUDAH enam puluh tiga tahun Indonesia merdeka. Tapi, hingga detik ini Indonesia belum tinggal landas. Canangan Orde Baru dengan rencana pembangunan lima tahun yang dulu didengung-dengungkan Soeharto ternyata kandas. Akibatnya Indonesia bukannya jadi negara maju, megah dan disegani di dunia. Sebaliknya, justru terpuruk. Indonesia dibelit utang bertumpuk dan kapal yang dimuati 200 juta jiwa lebih ini pun oleng.

Nilai rupiah anjlok, pengangguran dan kemiskinan meningkat. Rakyat di negeri ini didera busung lapar, kurang gizi dan tingginya tingkat angka putus sekolah. Lebih ironis, bangsa ini dijuluki bangsa korup, dan bangsa kuli yang hanya mampu menyediakan tenaga murah ke luar negeri. Sungguh Ironis!

Keadaan parah itu, tentu mengundang sejuta pertanyaan. Apa yang salah dengan pengelolaan negeri ini sampai gagal tinggal landas? Kenapa negeri yang dilimpahi kekayaan alam, justru jadi bangsa kuli dan kekurangan pangan? Lebih menukik, kesalahan kebijakan apa yang diperbuat pemimpin bangsa ini, sehingga Indonesia harus karam cukup dalam?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dijawab Ishak Rafick, wartawan majalah Global Asia dalam buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia; Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia ini. Meski hanya memotret kondisi Indonesia selama 10 tahun terakhir, tetapi tidak dimungkiri jika buku ini merupakan "investigasi mumpuni" yang dapat dijadikan dokumentasi tentang raport merah yang ditorehkan oleh lima presiden Indonesia dalam membawa bangsa ini.
***

DENGAN rencana pembangunan yang berkesinambungan, Soeharto seharusnya mampu membawa Indonesia tinggal landas pasca-repelita VII. Apalagi, selama 30 tahun sebelumnya pembangunan yang ditegakkan Soeharto lancar dan dunia sempat memujinya. Tetapi "cita-cita" itu ternyata kandas. Indonesia bukannya tinggal landas, justru terpuruk. Akibat krisis moneter yang mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok setelah band intervensi terhadap kurs mengambang terkendali itu dicabut, Indonesia pun limbung.

Maksud hati, Soeharto mau memeluk gunung untuk menghemat devisa, tapi yang terjadi, justru celaka. Ekonomi Indonesia kacau. Indonesia urung tinggal landas dan kembali digiring ke titik nol dalam pelukan IMF (hal 69). Soeharto yang sejak 1967 menopang pembangunan dari dana pinjaman IMF, seperti tak bisa mengelak. Dengan iming-iming umpan US$ 43 miliar, IMF lantas memaksa Soeharto menandatangani kesepakatan -terdiri 50 paragraf yang kemudian dikenal sebagai 50 point Letter of Intent (LoI)- dan ironisnya, kini jadi bumerang bagi siapa pun yang memimpin negeri ini.

Meski sejak tahun 1967-1998, Indonesia telah menelan resep-resep yang ditawarkan IMF dan terbukti "gagal tinggal landas", anehnya arsitek (ekonomi) dibalik Soharto meminta lagi obat IMF. Padahal tak ada satu negara berkembang (seperti di Amerika Latin dan Ekuador) berhasil meningkatkan kesejahteraannya setelah mengikuti "model Washington Konsensus". Sebaliknya negara-negara yang menyimpang (seperti Jepang, Taiwan, Malaysia dan China), justru bisa berhasil memperbesar kekuatan ekonomi.

Tak pelak lantaran resep IMF itu tak manjur, ujungnya Soeharto jatuh. Tapuk pimpinan beralih ke pundak Habibie, yang ironisnya mewarisi negeri yang bangrut, utang di ambang batas US$ 100 miliar karena menjelang Soeharto jatuh negeri ini menanggung utang -Maret 1998- sekitar 137,424 miliar US$. Habibie, jadi korban pertama. Setiap tahun setelah itu, terpaksa harus "menganggarkan" seratus triliun lebih untuk cicilan utang dalam dan luar luar negeri ditambah bunganya.

Seperti Soeharto, Habibie pun bangga dengan dana pinjaman IMF dan tak punya pilihan lain lantaran jalan yang ditempuh sudah ditentukan IMF lewat 50 point kesepakatan yang telah ditandatangani Soeharto. Jika pun ada yang patut dicatat dari kelebihan Habibie, maka itu terkait tuntutan dari arus bawah dan kaum reformis lewat program redistribusi aset di tangan Tanri Abeng, dan juga rajutan ekonomi kerakyatan yang dinahkodai Adi Sasono.

Tapi ironisnya, dua kelebihan Habibie itu diruntuhkan Gus Dur. Memang terpilihnya Gus Dur, semula diramalkan akan jadi "obat mujarab". Apalagi, Gus Dur berani membuka poros Jakarta-Peking dan menggertak Amerika. Tapi gebrakan Gus Dur ternyata mengundang badai dan tekanan dari dunia luar. Gus Dur jatuh. Tapi Gus Dur telah membuktikan bahwa Indonesia bisa diurus tanpa bantuan IMF.

Megawati yang menggantikan Gus Dur, sayangnya melunak. Tak pelak jika Indonesia tak kunjung sembuh justru semakin kambuh. Mega kembali meminta obat generik (pinjaman) IMF dengan konsekuensi menjual aset-aset negara. Indonesia pun secara pelan tapi pasti, telah terpuruk lewat pintu krisis yang diarahkan jadi pasar menuju liberalisasi ekonomi tanpa batas.

Kini "kehancuran negeri" ini jatuh di pundak Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Tetapi pemerintah sekarang rupanya belum kapok berhutang dan tak kreatif membuat terobosan-terobosan baru untuk mengatasi krisis dan masih memakai paradigma lama dalam mengelola negeri ini.
***

PADAHAL, menurut Ishak Rafick, kalau negeri ini masih dikelola dengan paradigma lama dengan "menyerahkan masa depan" bangsa ini kepada trinitas IMF (International Monetery Fund), World Trade Organization (WTO), dan Wordl Bank (Bank Dunia), bukan saja merupakan langkah tak bijak tapi juga membahayakan.

Lalu, "langkah apa" yang harus diambil oleh pemerintah sekarang untuk merintis jalan baru dalam membangun Indonesia? Eshak Rafick, tak ingin dikata kurang bijak jika sekadar mengevaluasi catatan hitam lima presiden Indonesia. Maka, ia pun menawarkan gagasan baru untuk membangun Indonesia di masa depan.

Pertama, pemerintah Indonesia harus berani meniru langkah yang pernah diambil oleh Pakistan, Nigeria, dan Argentina untuk meringankan utang. Kedua, menguatkan otot rupiah terhadap dollar/valuta asing. Ketiga berani mengajukan penghapusan utang 30 persen utang luar negeri yang najis (pernah dikorup) dan menyatakan obligasi rekap tak berlaku. Ketiga pilihan itu, menurutnya, adalah jalan pintas yang paling rasional guna membangun negara Indonesia. Bila tidak --segala upaya yang sedang berjalan (termasuk pemberantasan korupsi) tak akan berarti (hal. 33-40). ***

BUKU ini, tak dapat dimungkiri merupakan karya yang cukup prestisius. Karena, penulis berani "menelanjangi" kelemahan lima presiden Indonesia dalam mengelola bangsa ini.

Dengan ditunjang pengalaman yang dimiliki oleh penulis bertahun-tahun bekerja sebagai jurnalis yang bergelut masalah ekonomi-politik, manajemen dan korporasio -di majalah SWA dan GlobalAsia-, tentunya "hasil investigasi" yang dikemukakan dalam buku ini bisa menjadi dokumentasi dan rujukan bagi pemegang kebijakan ekonomi di negeri ini. Di sisi lain, buku ini ditulis seperti hasil investigasi sebuah majalah, tak rumit, tak jlimet dan mudah dimengerti bahkan oleh pembaca awam sekali pun.

Hanya saja, buku ini tak disusun dengan sistematika penulisan seperti buku ilmiah. Tak salah, pembaca akan memerlukan waktu lama untuk bisa menarik benang merah buku ini sebab tak dikerucutkan dalam sebuah kesimpulan. Penulis hanya memaparkan duduk perkara serta langkah yang diambil lima presiden dalam mengatasi krisis dengan tohokan dari penulis yang tak kehilangan daya kritis.

Sayang, karya bagus ini harus dinodai banyak kesalahan ejaan lantaran penerbit abai memakai peran editor.***

*) n. mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta.

Tidak ada komentar: