Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Sabtu 9 Agustus 2008
Judul buku : The Virgin Suicides
Penulis : Jeffrey Eugenides
Penerjemah : Rien Chaerani
Penerbit : Dastan Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal buku : 352 halaman
PAGI itu, Cecilia --putri terakhir dari keluarga Lisbon-- memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Gadis berusia 13 tahun itu berulah menyanyatkan silet di pergelangan tangannya seraya berendam di bak mandi. Ia ditemukan terkapar, dan bugil dalam genangan air yang penuh darah. Mata Cecilia terbelalak. Kedua tangannya mendekap erat gambar perawan suci. Mr dan Mrs Lisbon tercekat saat melihat putrinya itu memilih ritual bunuh diri seperti penganut aliran sesat.
Kisah cukup menegangkan itu menjadi pembuka novel The Virgin Suicides ini. Sebuah pilihan pembuka yang dapat dikatakan cukup memikat. Jeffrey Eugenides mengangkat tema tentang bunuh diri yang sebenarnya kisah amat biasa, tetapi pengarang yang lulus meraih predikat magna cumlaude dari Brown University, serta penghargaan gelar MA sastra Inggris juga penulisaan kreatif dari Stanford University 1986 ini ternyata mampu mengolahnya jadi cerita yang mendebarkan. Tak mustahil, kalau novel perdana karya pengarang --yang kini tinggal di Berlin, Jerman-- ini sudah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa dan best seller.
Dalam menuturkan kisah, dia memilih jalan merayakan, meratapi, bahkan menghormati misteri kehidupan, seperti peristiwa bunuh diri lima putri Lisbon yang dalam novel ini nyaris tidak dapat ditebak. Meskipun Cecilia dan empat saudara yang lain terobsesi untuk "memeluk kematian" daripada meneruskan hidup tetapi sang pengarang tidak segera membuka tabir di balik motif bunuh diri (lima putri Lisbon) tersebut.
Eugenides mengolah cerita serupa memercikkan air yang mengalir deras, tiada henti sampai pada halaman terakhir. Teknik yang dipilih pengarang itu, tentu membuat pembaca tercekat dan tak menghentikan bacaan. Padahal percobaan bunuh diri Cecilia yang jadi pembuka kisah novel ini tidak menjadikan Cecilia tutup usia seketika. Dia masih dapat diselamatkan bahkan menghirup udara segar kembali. Tidak mustahil, orangtua Cecilia pun bahagia lantaran putrinya masih selamat, tidak jadi meninggal dunia.
Beberapa saat kemudian Mr dan Mrs Lisbon, kedua orangtua Cecilia itu menggelar pesta guna merayakan kebahagiaan tersebut. Tujuan pesta itu digelar, tak lain agar Cecilia bisa senang. Maka Mr. Lisbon mengundang tetangga sekitar rumah untuk datang. Tetapi ketika pesta digelar dan bahkan dihadiri banyak orang, justru Cecilia tak menunjukkan rasa senang. Ia tiba-tiba minta izin kepada ibunya dan naik ke lantai atas. Di tengah suasana pesta itu, kejadian yang tidak terduga terjadi. Cecilia menjatuhkan diri dari lantai atas. Tubuhnya menancap pagar. Dia pun meninggal dunia.
Dalam suasana yang seharusnya senang, keluarga Lisbon justru malah dirundung duka. Rumah yang lama senyap itu pun kemudian meruapkan aroma kesedihan, lantaran diliputi suasana berkabung. Tetapi, setelah masa berkabung itu lewat, tidak ada yang tahu alasan Cecilia bunuh diri. Apalagi, gadis itu tak meninggalkan sepucuk surat wasiat. Dari buku diary Cecilia, tidak ada catatan bahwa cinta gadis remaja itu bertepuk sebelas tangan. Sementara itu, justru beredar alasan bahwa gadis itu sebenarnya tak ingin mati cuma ingin keluar dari rumah itu. Tetapi Mr dan Mrs Lisbon tak mau tahu; kenapa Cecilia memilih mengakhiri hidup dengan tragis.
Meski sudah kehilangan satu putrinya, anehnya pasangan orangtua itu masih ketat membatasi ruang gerak keempat putrinya yang lain, Theresa (17 tahun), Mary (16 tahun), Bonnie (15 tahun), dan Lux (14 tahun). Sudah menjadi rahasia umum bahwa putri-putri Lisbon itu tak diizinkan keluar rumah. Apalagi diizinkan berkencan, mengikuti acara pesta serta dansa. Praktis putri-putri Lisbon hanya keluar rumah ketika ke sekolah dan gereja. Akibatnya, putri-putri Lisbon tertekan. Kendati demikian, Lux tak kehilangan akal. Ia berkencan dengan sembunyi-sembunyi, bahkan berani melakukan hubungan seks di atas atap (rumah).
Maksud Mr Lisbon memang baik, yakni agar putri-putrinya masih terjaga tidak terkena efek pergaulan bebas. Tapi aturan ketat yang diterapkannya itu justru tak berbuah "manis", sebagaimana yang diharapkan. Kejadian yang tak terduga kembali terjadi. Lux, Bonnie, Mary dan Theresa memilih mengikuti jejak adik bungsunya untuk melakukan bunuh diri pada 16 Juni --tepat satu tahun setelah Cecilia mengiris pergelangan tangannya. Ketiga putri Lisbon berhasil mengakhiri hidup, dan keluar dari dunia. Hanya Mary yang selamat. Tapi sebulan kemudian Mary memilih keluar dari kehidupan dan berhasil melakukan bunuh diri.
Tentu saja, kematian putri-putri Lisbon itu seketika mengundang pemberitaan di media dan mengundang sejumlah ahli dari bidang psikologi berpendapat. Tetapi pengarang tak memihak pendapat mana yang benar. Apalagi kematian putri-putri Lisbon itu serupa misteri dan cenderung mirip suatu "ritual pengorbanan diri". Dengan memakai sudut penceritaan "kami" yang dipakai Eugenides, sosok abstrak yang menjadi tetangga keluarga Lisbon sebagai si penutur bahkan masih kecil, kian membuat novel yang mengungkap misteri bunuh diri ini kian samar, menyiratkan teka-teki dan membingungkan.
Tapi di tengah silang sengkarut pendapat alasan di balik bunuh diri itu, Eugenides justru melihat esensi bunuh diri itu bukan kesedihan atau misteri melainkan egoisme sederhana. Pengarang melihat putri Lisbon itu "mengambil alih" keputusan yang seharusnya diputuskan Tuhan. Dengan kata lain, ada kesombongan putri-putri Lisbon yang hanya memikirkan diri mereka sendiri (hal. 349)
Pendapat Eugenides yang mengatakan alasan bunuh diri putri Lisbon itu adalah egoisme, tak pelak meneguhkan tesis yang diusung Emile Durkheim, sosilog dari Perancis yang memetakan 3 alasan orang bunuh diri; egoistic, altruistic dan anomic. Bunuh diri egoistic dikarenakan tidak memiliki ikatan kuat dengan kelompok sosialnya, semisal; lantaran hidup terkucil. Putri-putri Lisbon yang memilih bunuh diri tak disangsikan lagi lantaran mereka terkucil dari ikatan sosial di sekitarnya akibat "aturan ketat" yang diterapkan orang tua mereka.
Tidak salah, kalau novel ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi orangtua dalam mendidik anak-anak mereka agar aturan ketat yang diterapkan dengan tujuan yang baik jangan sampai berujung tragis. ***
*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah
Kisah cukup menegangkan itu menjadi pembuka novel The Virgin Suicides ini. Sebuah pilihan pembuka yang dapat dikatakan cukup memikat. Jeffrey Eugenides mengangkat tema tentang bunuh diri yang sebenarnya kisah amat biasa, tetapi pengarang yang lulus meraih predikat magna cumlaude dari Brown University, serta penghargaan gelar MA sastra Inggris juga penulisaan kreatif dari Stanford University 1986 ini ternyata mampu mengolahnya jadi cerita yang mendebarkan. Tak mustahil, kalau novel perdana karya pengarang --yang kini tinggal di Berlin, Jerman-- ini sudah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa dan best seller.
Dalam menuturkan kisah, dia memilih jalan merayakan, meratapi, bahkan menghormati misteri kehidupan, seperti peristiwa bunuh diri lima putri Lisbon yang dalam novel ini nyaris tidak dapat ditebak. Meskipun Cecilia dan empat saudara yang lain terobsesi untuk "memeluk kematian" daripada meneruskan hidup tetapi sang pengarang tidak segera membuka tabir di balik motif bunuh diri (lima putri Lisbon) tersebut.
Eugenides mengolah cerita serupa memercikkan air yang mengalir deras, tiada henti sampai pada halaman terakhir. Teknik yang dipilih pengarang itu, tentu membuat pembaca tercekat dan tak menghentikan bacaan. Padahal percobaan bunuh diri Cecilia yang jadi pembuka kisah novel ini tidak menjadikan Cecilia tutup usia seketika. Dia masih dapat diselamatkan bahkan menghirup udara segar kembali. Tidak mustahil, orangtua Cecilia pun bahagia lantaran putrinya masih selamat, tidak jadi meninggal dunia.
Beberapa saat kemudian Mr dan Mrs Lisbon, kedua orangtua Cecilia itu menggelar pesta guna merayakan kebahagiaan tersebut. Tujuan pesta itu digelar, tak lain agar Cecilia bisa senang. Maka Mr. Lisbon mengundang tetangga sekitar rumah untuk datang. Tetapi ketika pesta digelar dan bahkan dihadiri banyak orang, justru Cecilia tak menunjukkan rasa senang. Ia tiba-tiba minta izin kepada ibunya dan naik ke lantai atas. Di tengah suasana pesta itu, kejadian yang tidak terduga terjadi. Cecilia menjatuhkan diri dari lantai atas. Tubuhnya menancap pagar. Dia pun meninggal dunia.
Dalam suasana yang seharusnya senang, keluarga Lisbon justru malah dirundung duka. Rumah yang lama senyap itu pun kemudian meruapkan aroma kesedihan, lantaran diliputi suasana berkabung. Tetapi, setelah masa berkabung itu lewat, tidak ada yang tahu alasan Cecilia bunuh diri. Apalagi, gadis itu tak meninggalkan sepucuk surat wasiat. Dari buku diary Cecilia, tidak ada catatan bahwa cinta gadis remaja itu bertepuk sebelas tangan. Sementara itu, justru beredar alasan bahwa gadis itu sebenarnya tak ingin mati cuma ingin keluar dari rumah itu. Tetapi Mr dan Mrs Lisbon tak mau tahu; kenapa Cecilia memilih mengakhiri hidup dengan tragis.
Meski sudah kehilangan satu putrinya, anehnya pasangan orangtua itu masih ketat membatasi ruang gerak keempat putrinya yang lain, Theresa (17 tahun), Mary (16 tahun), Bonnie (15 tahun), dan Lux (14 tahun). Sudah menjadi rahasia umum bahwa putri-putri Lisbon itu tak diizinkan keluar rumah. Apalagi diizinkan berkencan, mengikuti acara pesta serta dansa. Praktis putri-putri Lisbon hanya keluar rumah ketika ke sekolah dan gereja. Akibatnya, putri-putri Lisbon tertekan. Kendati demikian, Lux tak kehilangan akal. Ia berkencan dengan sembunyi-sembunyi, bahkan berani melakukan hubungan seks di atas atap (rumah).
Maksud Mr Lisbon memang baik, yakni agar putri-putrinya masih terjaga tidak terkena efek pergaulan bebas. Tapi aturan ketat yang diterapkannya itu justru tak berbuah "manis", sebagaimana yang diharapkan. Kejadian yang tak terduga kembali terjadi. Lux, Bonnie, Mary dan Theresa memilih mengikuti jejak adik bungsunya untuk melakukan bunuh diri pada 16 Juni --tepat satu tahun setelah Cecilia mengiris pergelangan tangannya. Ketiga putri Lisbon berhasil mengakhiri hidup, dan keluar dari dunia. Hanya Mary yang selamat. Tapi sebulan kemudian Mary memilih keluar dari kehidupan dan berhasil melakukan bunuh diri.
Tentu saja, kematian putri-putri Lisbon itu seketika mengundang pemberitaan di media dan mengundang sejumlah ahli dari bidang psikologi berpendapat. Tetapi pengarang tak memihak pendapat mana yang benar. Apalagi kematian putri-putri Lisbon itu serupa misteri dan cenderung mirip suatu "ritual pengorbanan diri". Dengan memakai sudut penceritaan "kami" yang dipakai Eugenides, sosok abstrak yang menjadi tetangga keluarga Lisbon sebagai si penutur bahkan masih kecil, kian membuat novel yang mengungkap misteri bunuh diri ini kian samar, menyiratkan teka-teki dan membingungkan.
Tapi di tengah silang sengkarut pendapat alasan di balik bunuh diri itu, Eugenides justru melihat esensi bunuh diri itu bukan kesedihan atau misteri melainkan egoisme sederhana. Pengarang melihat putri Lisbon itu "mengambil alih" keputusan yang seharusnya diputuskan Tuhan. Dengan kata lain, ada kesombongan putri-putri Lisbon yang hanya memikirkan diri mereka sendiri (hal. 349)
Pendapat Eugenides yang mengatakan alasan bunuh diri putri Lisbon itu adalah egoisme, tak pelak meneguhkan tesis yang diusung Emile Durkheim, sosilog dari Perancis yang memetakan 3 alasan orang bunuh diri; egoistic, altruistic dan anomic. Bunuh diri egoistic dikarenakan tidak memiliki ikatan kuat dengan kelompok sosialnya, semisal; lantaran hidup terkucil. Putri-putri Lisbon yang memilih bunuh diri tak disangsikan lagi lantaran mereka terkucil dari ikatan sosial di sekitarnya akibat "aturan ketat" yang diterapkan orang tua mereka.
Tidak salah, kalau novel ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi orangtua dalam mendidik anak-anak mereka agar aturan ketat yang diterapkan dengan tujuan yang baik jangan sampai berujung tragis. ***
*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah
5 komentar:
Saya kok tidak setuju dengan kata "ritual"-nya...
Menurut saya lebih tepat "kesepakatan yang tak terucap"
:D
anyway, I love Virgin Suicides very much ;)
thank you resensinya...
thanks, untuk koreksinya!!!
jelek bukunya
ini buku saya beli sekitar setahun yang lalu...
dan smpe sekarang sya blm selesai membacanya...
terlalu rumit,dan complicated...
dan tidak semenarik sinopsis yang diberikan buku tersebut...
novel ini memang tidak sebagus karya pengarang satu ini, dibandingkan dg yg karya midlesex. makasih sdh mampir,.
Posting Komentar