"Untuk apa kamu menulis?" tanya seorang teman sekitar delapan tahun yang lalu.
Waktu itu, aku hanya diam lantaran tak tahu apa yang harus aku jawab. Jujur, kala itu aku menulis untuk cari uang. Aku tak butuh dikenal. Tak mustahil, aku menulis memakai lima nama (4 nama milik orang lain). Jadi, pertanyaan temanku itu ibarat sebuah permen karet yang membuatku tersengal. Tak berbeda dengan permen karet, yang tiba-tiba tertelan dalam mulutku, pertanyaan itu "mengganjal" jakunku, melekat dalam labirin kerongkonganku dan aku nyaris tak bisa menelannya.
Jauh-jauh ia datang dari kota lain setelah kami disekap jarak dan sudah lama tak bertemu, membuat kami saling berbagi kisah. Memang, ia tidak dibelit masalah keuangan lantaran orangtuanya tergolong orang berada. Ia tak perlu banting tulang seperti aku. Kalau uangnya habis, dia tinggal telpon ke rumah. Jadi, ia tak pernah bingung soal uang. Maka, selama ia kuliah, ia hanya belajar, belajar dan belajar. Kadang, ia mengisi waktu liburnya dengan hura-hura!
"Kau pasti tahu! Maka, aku tak perlu lagi menjawab pertanyaanmu," jawabku sekenanya.
Untung, dia tak bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya berempati, tentu setelah aku bercerita panjang lebar kisah hidupku yang harus aku akui ditopang honor tulisan dari media (maklum kiriman dari rumah hanya mampu untuk bertahan hidup sekitar se-minggu. Itu pun kalau dapat kiriman). Rasa kantuk akhirnya mengakhiri cengkrama kami. Tak lama kemudian, ketika aku masih nerocos bercerita, ia tiba-tiba sudah mendengkur.
Kehidupan Penulis Yatim-Piatu
Aku menjadi penulis dengan cara otodidak. Tak ada guru yang membimbingku, membuatku lebih banyak mengurung diri di ruang sempit kamar kontrakan. Warna kesepian itu aku rasakan sewaktu aku masih tinggal di Krapyak Yogyakarta. Nyaris aku tidak bergaul dengan penulis lain. Aku belajar menulis secara otodidak dari koran dan buku.
Tapi, setelah tulisanku mulai muncul di koran, aku pindah kost di dekat kampus. Aku mulai kenal dengan beberapa penulis yang sebelumnya hanya aku ketahui dan aku dengar namanya dari media massa. Rupanya, perkenalanku dengan para penulis itu membuat mataku terbuka. Ternyata tidak sedikit dari mereka adalah para penulis yang bisa aku sebut sebagai para penulis yatim-piatu. Aku sebut demikian, lantaran sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang menjalani kuliah tapi tidak disubsidi orangtua. Toh, jika disubsidi, tak jarang dana subsidi itu hanya mampu digunakan bertahan hidup beberapa hari. Bahkan ada juga yang sama sekali tak mendapatkan uang kiriman dari rumah.
Tentu, perkenalanku dengan mereka itu membuat kami semakin akrab lantaran direkatkan keadaan. Maka tak jarang, kami saling bertandang dan berkumpul. Terus terang, setiap perkumpulan tidak formal dengan penulis lain itu --karena biasanya terjadi di salah satu kost di antara kami atau warung kopi--, aku bisa menimba tiga pelajaran penting dalam menulis.
Pertama, dalam pertemuan itu, aku seringkali mendapatkan ide baru dan isu mutakhir seputar dunia tulis-menulis. Bahkan dari cerita mereka, aku kerap tahu seluk beluk cerita para penulis di balik proses kreatif mereka yang nyaris tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Juga trik dan cara jitu mereka merebut hati redaktur agar tulisan mereka bisa dimuat.
Kedua, dalam pertemuan itu pula kami tak jarang saling meledek dan menghina. Suasana ini, tentu membuat kami harus kerja keras membuktikan diri. Caranya, tidak lain dengan menulis, dan membuktikan hasil tulisan yang dimuat. Ketiga, kalau tulisanku sialnya tidak ada yang dimuat, sementara di antara mereka itu ada yang dimuat, seketika itu andrenalin-ku seperti terbakar. Aku ditikam gairah untuk segera menulis.
Dari pertemuan tak formal itulah kami kemudian hidup dalam api sekam kompetisi. Bertahun-tahun, kompetisi itulah yang membuat kami eksis dan bisa hidup dari honor tulisan --untuk makan, bayar kontrakan, bayar kuliah, dan mentraktir wanita pujaan hati.
Tapi, di balik kegembiraan dan kebahagiaan para penulis yatim-piatu itu, tentu ada sejuta kisah duka lara, kekecewaan dan kepahitan hidup. Tidak jarang mereka itu dililit utang yang tidak sedikit. Keadaan itulah yang kerap kali membuat mereka kemudian buta, menutup mata, dan bertindak ceroboh. Juga, berbuat tak jujur. Akibat kemiskinan yang mendera, kemudian mereka mengirim satu tulisan ke dua media bahkan lebih. Aku pernah geleng-geleng kepala, nyaris tidak mengerti, bahkan tidak percaya tatkala menjumpai salah satu dari mereka mengirim satu tulisan ke enam media massa. Ironisnya, keenam tulisan (yang sama) itu dimuat semua (di enam media)! Benar-benar gila!
Nyaris lebih gila, adik kelas-ku malah ada yang tidak mau bersusah payah dan kerja keras. Tanpa berpikir panjang, dia mencomot tulisan di salah satu media, kemudian diganti dengan namanya dan dikirim ke media lain. Maka, setelah tulisan itu dimuat, keadaan jadi geger. Kecaman redaktur pun tak hanya membuat si pelaku itu saja yang tertuduh plagiat tapi hampir semua penulis sekampus kena getahnya.
Celakanya, aku pernah jadi korban ulah tidak terpuji adik kelasku. Salah satu tulisanku yang dimuat di media (tanpa seizinku), ia contek. Dia revisi dua paragraf awal, lalu dia kirimkan ke media lain. Saat aku tahu tulisannya itu dimuat, aku nyaris dibuat bingung. Tetapi keadaan dia sebagai penulis yatim-piatu; membuatku harus berjiwa besar. Aku tak melabraknya, tak mengutuknya. Sebab bagiku, ulah tak jujur seorang penulis pasti akan kembali kepadanya. Dengan kata lain, jika ia tak jujur, maka ia suatu saat nanti akan kena imbas dari ulahnya sendiri.
Menulis dengan Hati (?)
Jujur, aku ini dibesarkan dari lingkungan para penulis yatim-piatu tersebut. Maka sedikit banyak, karena dulu aku digempleng dalam lingkungan penulis yatim-piatu, aku pun pernah mengalami gelap mata. Tidak mustahil, aku juga pernah tak jujur. Maklum, aku ini bukan malaikat!
Tapi dalam hati yang paling dalam, aku ingin selalu dan berusaha untuk tetap jadi penulis jujur. Semua itu memang sudah berlalu. Tapi masih ada satu hal yang nyaris tak dapat aku elakkan. Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah aku hijrah ke Jakarta bahkan mendapatkan pekerjaan tetap, ternyata didikan lingkungan para penulis yatim-piatu itu masih mencekamku.
Tak jarang, aku ditikam kecenderungan tidak terpuji: menulis hanya untuk mencari uang. Di balik niatan menulis yang kulakukan, seringkali aku tak bisa membebaskan diri dari tujuan menulis untuk menulis. Dengan kata lain, menulis dengan hati; menulis untuk menyampaikan kejujuran bahkan kebenaran dan demi keadilan. Memang, tidak salah kalau menulis itu dijadikan sebagai profesi. Itu jelas-jelas untuk tujuan uang. Tapi di balik niat menulis itu, haruslah dijiwai aroma ibadah juga tujuan mulia nan agung. Nah, sekarang ini aku berusaha keras untuk menulis dengan hati. Maka, aku pun menyempatkan diri menulis di blog --yang jelas-jelas tidak untuk mencari uang melainkan hanya semata-mata untuk menuruti kata hatiku. Syukur-syukur, jika itu untuk suara kejujuran!
Karena itu, jika temanku yang pernah datang ke kosku delapan tahun lalu, kini datang lagi menemuiku, pasti aku bisa menjawab pertanyaan yang dulu ia lontarkan. Aku akan katakan, meski aku dicekam perasaan malu, kalau kini aku sudah belajar menulis dengan hati.
Lalu, bagaimana dengan pendapatmu?!? Kalau kamu seorang penulis atau kebetulan ingin jadi penulis, apa yang kamu jawab ketika kamu ditanya --sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh salah seorang temanku delapan tahun lalu-- "Untuk apa kamu menulis?"
(Ciputat, 31 Juli 2008)
Waktu itu, aku hanya diam lantaran tak tahu apa yang harus aku jawab. Jujur, kala itu aku menulis untuk cari uang. Aku tak butuh dikenal. Tak mustahil, aku menulis memakai lima nama (4 nama milik orang lain). Jadi, pertanyaan temanku itu ibarat sebuah permen karet yang membuatku tersengal. Tak berbeda dengan permen karet, yang tiba-tiba tertelan dalam mulutku, pertanyaan itu "mengganjal" jakunku, melekat dalam labirin kerongkonganku dan aku nyaris tak bisa menelannya.
Jauh-jauh ia datang dari kota lain setelah kami disekap jarak dan sudah lama tak bertemu, membuat kami saling berbagi kisah. Memang, ia tidak dibelit masalah keuangan lantaran orangtuanya tergolong orang berada. Ia tak perlu banting tulang seperti aku. Kalau uangnya habis, dia tinggal telpon ke rumah. Jadi, ia tak pernah bingung soal uang. Maka, selama ia kuliah, ia hanya belajar, belajar dan belajar. Kadang, ia mengisi waktu liburnya dengan hura-hura!
"Kau pasti tahu! Maka, aku tak perlu lagi menjawab pertanyaanmu," jawabku sekenanya.
Untung, dia tak bertanya lebih jauh lagi. Ia hanya berempati, tentu setelah aku bercerita panjang lebar kisah hidupku yang harus aku akui ditopang honor tulisan dari media (maklum kiriman dari rumah hanya mampu untuk bertahan hidup sekitar se-minggu. Itu pun kalau dapat kiriman). Rasa kantuk akhirnya mengakhiri cengkrama kami. Tak lama kemudian, ketika aku masih nerocos bercerita, ia tiba-tiba sudah mendengkur.
Kehidupan Penulis Yatim-Piatu
Aku menjadi penulis dengan cara otodidak. Tak ada guru yang membimbingku, membuatku lebih banyak mengurung diri di ruang sempit kamar kontrakan. Warna kesepian itu aku rasakan sewaktu aku masih tinggal di Krapyak Yogyakarta. Nyaris aku tidak bergaul dengan penulis lain. Aku belajar menulis secara otodidak dari koran dan buku.
Tapi, setelah tulisanku mulai muncul di koran, aku pindah kost di dekat kampus. Aku mulai kenal dengan beberapa penulis yang sebelumnya hanya aku ketahui dan aku dengar namanya dari media massa. Rupanya, perkenalanku dengan para penulis itu membuat mataku terbuka. Ternyata tidak sedikit dari mereka adalah para penulis yang bisa aku sebut sebagai para penulis yatim-piatu. Aku sebut demikian, lantaran sebagian besar mereka adalah mahasiswa yang menjalani kuliah tapi tidak disubsidi orangtua. Toh, jika disubsidi, tak jarang dana subsidi itu hanya mampu digunakan bertahan hidup beberapa hari. Bahkan ada juga yang sama sekali tak mendapatkan uang kiriman dari rumah.
Tentu, perkenalanku dengan mereka itu membuat kami semakin akrab lantaran direkatkan keadaan. Maka tak jarang, kami saling bertandang dan berkumpul. Terus terang, setiap perkumpulan tidak formal dengan penulis lain itu --karena biasanya terjadi di salah satu kost di antara kami atau warung kopi--, aku bisa menimba tiga pelajaran penting dalam menulis.
Pertama, dalam pertemuan itu, aku seringkali mendapatkan ide baru dan isu mutakhir seputar dunia tulis-menulis. Bahkan dari cerita mereka, aku kerap tahu seluk beluk cerita para penulis di balik proses kreatif mereka yang nyaris tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Juga trik dan cara jitu mereka merebut hati redaktur agar tulisan mereka bisa dimuat.
Kedua, dalam pertemuan itu pula kami tak jarang saling meledek dan menghina. Suasana ini, tentu membuat kami harus kerja keras membuktikan diri. Caranya, tidak lain dengan menulis, dan membuktikan hasil tulisan yang dimuat. Ketiga, kalau tulisanku sialnya tidak ada yang dimuat, sementara di antara mereka itu ada yang dimuat, seketika itu andrenalin-ku seperti terbakar. Aku ditikam gairah untuk segera menulis.
Dari pertemuan tak formal itulah kami kemudian hidup dalam api sekam kompetisi. Bertahun-tahun, kompetisi itulah yang membuat kami eksis dan bisa hidup dari honor tulisan --untuk makan, bayar kontrakan, bayar kuliah, dan mentraktir wanita pujaan hati.
Tapi, di balik kegembiraan dan kebahagiaan para penulis yatim-piatu itu, tentu ada sejuta kisah duka lara, kekecewaan dan kepahitan hidup. Tidak jarang mereka itu dililit utang yang tidak sedikit. Keadaan itulah yang kerap kali membuat mereka kemudian buta, menutup mata, dan bertindak ceroboh. Juga, berbuat tak jujur. Akibat kemiskinan yang mendera, kemudian mereka mengirim satu tulisan ke dua media bahkan lebih. Aku pernah geleng-geleng kepala, nyaris tidak mengerti, bahkan tidak percaya tatkala menjumpai salah satu dari mereka mengirim satu tulisan ke enam media massa. Ironisnya, keenam tulisan (yang sama) itu dimuat semua (di enam media)! Benar-benar gila!
Nyaris lebih gila, adik kelas-ku malah ada yang tidak mau bersusah payah dan kerja keras. Tanpa berpikir panjang, dia mencomot tulisan di salah satu media, kemudian diganti dengan namanya dan dikirim ke media lain. Maka, setelah tulisan itu dimuat, keadaan jadi geger. Kecaman redaktur pun tak hanya membuat si pelaku itu saja yang tertuduh plagiat tapi hampir semua penulis sekampus kena getahnya.
Celakanya, aku pernah jadi korban ulah tidak terpuji adik kelasku. Salah satu tulisanku yang dimuat di media (tanpa seizinku), ia contek. Dia revisi dua paragraf awal, lalu dia kirimkan ke media lain. Saat aku tahu tulisannya itu dimuat, aku nyaris dibuat bingung. Tetapi keadaan dia sebagai penulis yatim-piatu; membuatku harus berjiwa besar. Aku tak melabraknya, tak mengutuknya. Sebab bagiku, ulah tak jujur seorang penulis pasti akan kembali kepadanya. Dengan kata lain, jika ia tak jujur, maka ia suatu saat nanti akan kena imbas dari ulahnya sendiri.
Menulis dengan Hati (?)
Jujur, aku ini dibesarkan dari lingkungan para penulis yatim-piatu tersebut. Maka sedikit banyak, karena dulu aku digempleng dalam lingkungan penulis yatim-piatu, aku pun pernah mengalami gelap mata. Tidak mustahil, aku juga pernah tak jujur. Maklum, aku ini bukan malaikat!
Tapi dalam hati yang paling dalam, aku ingin selalu dan berusaha untuk tetap jadi penulis jujur. Semua itu memang sudah berlalu. Tapi masih ada satu hal yang nyaris tak dapat aku elakkan. Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah aku hijrah ke Jakarta bahkan mendapatkan pekerjaan tetap, ternyata didikan lingkungan para penulis yatim-piatu itu masih mencekamku.
Tak jarang, aku ditikam kecenderungan tidak terpuji: menulis hanya untuk mencari uang. Di balik niatan menulis yang kulakukan, seringkali aku tak bisa membebaskan diri dari tujuan menulis untuk menulis. Dengan kata lain, menulis dengan hati; menulis untuk menyampaikan kejujuran bahkan kebenaran dan demi keadilan. Memang, tidak salah kalau menulis itu dijadikan sebagai profesi. Itu jelas-jelas untuk tujuan uang. Tapi di balik niat menulis itu, haruslah dijiwai aroma ibadah juga tujuan mulia nan agung. Nah, sekarang ini aku berusaha keras untuk menulis dengan hati. Maka, aku pun menyempatkan diri menulis di blog --yang jelas-jelas tidak untuk mencari uang melainkan hanya semata-mata untuk menuruti kata hatiku. Syukur-syukur, jika itu untuk suara kejujuran!
Karena itu, jika temanku yang pernah datang ke kosku delapan tahun lalu, kini datang lagi menemuiku, pasti aku bisa menjawab pertanyaan yang dulu ia lontarkan. Aku akan katakan, meski aku dicekam perasaan malu, kalau kini aku sudah belajar menulis dengan hati.
Lalu, bagaimana dengan pendapatmu?!? Kalau kamu seorang penulis atau kebetulan ingin jadi penulis, apa yang kamu jawab ketika kamu ditanya --sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh salah seorang temanku delapan tahun lalu-- "Untuk apa kamu menulis?"
(Ciputat, 31 Juli 2008)
27 komentar:
"Untuk apa kamu menulis," tanya seorang kawan ketika aku sedang sibuk mengetik. Aku merasa seperti terdakwa yang sedang mendengar tuntutan jaksa. Aku menghela napas panjang. Kupandangi ia lekat-lekat. Aku ingin marah melihat pandangannya yang meremehkan jalan hidupku. Aku telah memilih jalan sunyi menjadi penulis. Aku membuang napas panjang kemudian menjawabnya panjang lebar.
"Dadaku penuh sesak dengan berbagai pemikiran dan aku mencoba melapangkannya dengan cara menulis." Kataku mantap meniru kalimat yang diucapkan Ibnu al-Muqaffa ribuan tahun silam.
"Apa kamu tidak malu pada Allah? Dia menurunkan wahyu pertama berupa perintah membaca, lalu alangkah mulianya jika aku bisa memberikan orang bahan bacaan. Bukankah menulis berarti menciptakan bahan bacaan. Bahkan polpel (Al-Qalam: bahasa Arab) dibadaikan di dalam Al-Quran sebagai nama salah satu surahnya." Ia tertegun mendengar jawabanku yang berapi-api.
"Duduklah kawan," ajakku sambil menggamit lengannya. "Aku ingin membisikkan satu pesan agung dari manusia paling mulia, Kanjeng Nabi Muhammad. Aku tidak ingin kamu berburuk sangka padaku. Rasulullah bersabda, (Jika seseorang meninggal dunia maka putuslah amal kebaikannya kecuali tiga hal. Pertama: sadaqah jariyah. Kedua: Ilmu yang bisa dimanfaatkan. Ketiga: anak saleh yang mendoakannya). Aku menulis untuk mendapatkan tiga hal itu. Pertama; jika aku mendapat honor dari tulisanku, aku ingin mengumpulkannya untuk membangun lembaga pendidikan. Maka aku akan punya tabungan sadaqah jariyah jika aku mati. Kedua: Dengan menulis aku ingin mewariskan ilmu yang tidak akan putus pahalanya. Jika suatu ilmu dituliskan kemudian ada orang yang mengamalkan, maka aku juga akan mendapat bagian pahala. Ketiga: jika kelak aku punya anak dan aku mati, aku punya warisan ilmu yang kuabadikan dengan tulisan. Dengan tulisanku aku ingin menuntun anak keturunanku agar menjadi orang baik dan kelak berdoa untukku. Lebih dari itu, umur manusia itu pendek. Kita ini fana dan sementara. Namun jika kita menulis dan tulisan kita baik, maka nama kita akan mengabadi." Aku menyudahi jawabanku. Aku tak menyangka bahwa jawabanku akan membuat temanku menangis. Ia memelukku erat. "Terima kasih. Kamu memberi aku pandangan yang lain tentang menulis." Ia berkata lirih.
Untuk meringankan kepala dari beban pikiran, melegakan hati dari desakan ilham, dan menuangkan rasa cinta pada suatu aktivitas yang selalu menyegarkan semangat.
maaf mas.. saya bukan mau kasih komen, tapi mau ngucapin terimakasih atas kunjungannya. abis bingung mau nulis dimana.. ya udah tak tulis di sini saja. makin oke aja nih blog. salam/
Untuk apa aku menulis?
Oh, menjadi penulis adalah mimpi besar yang terus membayangi pikiranku. Profesi yang paling kuhormati (sekaligus kukagumi) di dunia ini adalah penulis, sebab melalui tulisan-tulisan mereka aku bukan sekadar beranjak tetapi juga mampu terbang jauh menembus batas ruang dan waktu. Lewat tuangan imajinasi para pemilik sihir kata-kata itu, dunia kecilku perlahan-lahan terbuka, membentang luas seolah tanpa batas.
Lantaran keterpesonaan itulah aku sangat ingin bisa menulis seperti mereka. Tetapi nyatanya menulis itu bukan perkara gampang. Bukan sekadar mencurahkan perasaan dan isi hati. Bukan sekadar menyulamkam kata menjadi rangkaian bunga indah.
Inginnya sih aku menulis karya fiksi, berupa cerpen atau novel. Namun, apa daya, saat ini aku baru mampu menjadi penulis "jadi-jadian" di blogku yang khusus memuat resensi buku. Meski itu "cuma" blog, tetapi aku selalu berusaha mengisinya dengan tulisan "serius" demi penghargaanku pada dunia yang kucintai: menulis.
Jadi untuk apa aku menulis? Mungkin sementara ini demi memenuhi hasrat dan kecintaanku, pada sastra khususnya, sembari terus berlatih agar bisa menulis lebih baik lagi setiap kali. Tujuan lainnya, melalui tulisanku aku ingin berbagi cerita, pengalaman, dan bertukar pikiran kepada para teman sesama penikmat karya sastra. Cita-cita terbesarnya, tentu agar kelak bisa jadi penulis sungguhan dan mendapat penghasilan dari tulisan-tulisanku itu.
Salam,
endah sulwesi a.k.a Perca
"Untuk apa kamu menulis?" Tanya kawanmu.
Aku memandanginya dengan sorot mata yang cukup tajam. Nampaknya kawanmu itu tidak main-main dengan pertanyaannya. Kuseruput kopi terlebih dahulu, baru kemudian saya menjawabnya.
"Hmm...Aku tidak kenal kamu, tapi kamu begitu serius bertanya kepadaku mengenai hobbyku, menulis. Sebenarnya sangat sederhana. Bahkan lebih sederhana dari yang dibayangkan. Saya ini seorang muslim, dan saya ingin di dalam setiap perbuatan saya bisa bernilai ibadah. Maka, saya menulis adalah untuk ibadah.Kemudian, yang kedua: saya ini adalah seorang manusia yang tidak akan pernah luput dari lupa, maka saya menulis untuk melawan sifat lupa tersebut. Akan saya jadikan tulisan sebagai pengingat. Nah, selain yang tersebut diatas, saya juga orang yang suka ngaco. Dengan menulis, saya berusaha untuk menuangkan apa-apa yang ada di dalam otak saya ini secara teratur," mendengar jawabanku itu kawanmu hanya manggut-manggut saja. Aku tidak tahu, ia faham atau tidak. Setelah menjawab, saya mengambil sebatang rokok, dan mulai menyulutnya. Kutawari kawanmu itu, tapi ia menolak dengan halus.
Kulihat kawanmu seperti orang bingung. Entah kenapa, tiba-tiba saya ingin menambahi jawabanku yang sudah panjang lebar tersebut.
"Begini, yang jelas saya menulis adalah untuk mempersiapkan diri saya kalau saya mati nanti. Saya punya tugas untuk mendidik anak saya, saya menulis, takut saya mati dulu sebelum saya selesai mendidiknya. Saya juga ingin bicara dengan generasi mendatang, agar buah pikir saya juga bisa dibaca oleh generasi-generasi setelah saya. Maka dari itu saya menulis. Teman saya yang seorang penulis pernah mengingatkan saya, yang ditulis akan abadi, sedang yang terucap akan menguap"
Setelah menjawab, tiba-tiba saya pengen buang hajat. Akhirnya, setelah pamit, saya cepat-cepat ke kamar mandi.
Tujuan aku menulis. Mungkin alangkah baik aku sedikit bercerita pengalamanku dengan dunia tulis menulis (ciye...). Di pesantren dulu, tujuan awal aku menulis adalah menyimpan sebuah data-data yang bagiku penting, entah itu tugas, materi dan lain semacamnya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Setelah dua tahun di pesantren, aku keranjingan untuk menulis diari. Awalnya berasal dari ketertarikan akan perilaku seorang teman yang giat menulis pengalamannya di dalam diari. Yach, kukira kelatahan yang bermanfaat. setidaknya, dalam satu tahun, dua buku diari kuselesaikan dengan tulisan khas santri: puisi, cinta, pelanggaran, dialog dan lain-lain. Tapi pada suatu saat ketika tujuan menulisku adalah mengabadikan pengalaman, sempat kutuliskan pemberitaan terkait penyalahan fasilitas yang dilakukan seorang pengurus asrama. karuan, tulisanku dirobek dan dicari siapa penulisnya karena aku menggunakan anonim dengan simbol arrivederci.
setelah memasuki masa kuliah, kegiatan tulis menulisku tidak lepas dari diari, tetapi ada hal yang kusesali dari mempunyai komputer. sering diari tidak terisi selama beberapa hari bahkan berminggu-minggu karena lama kuhabiskan dengan main komputer dan pengalamanku terkodifikasikan di dalam harddisk. Sesekali ku menulis di media kampus seperti buletin, majalah dan lainnya. Dan lagi-lagi hal tersebut terganggu karena kesukaan untuk bermain-main dengan desain grafis. tidak lebih pikiran dan pengalaman kubentuk dalam gambar dan imajinasi ini sering terwujudkan dalam desain. sehingga dalam redaksi media di UKM, Organisasi, aku lebih didapuk sebagai Lay Outer meski sesekali kutuliskan opiniku di dalamnya (tentu untuk halaman tulisanku, kuperbagus sendiri lay out-nya. hehe).
Alhamdulillah, karena usahaku dulu, aku didaulat untuk menjadi lay outer majalah bagian kemahasiswaan di kampus-ku dan akibat sistem di dalam yang cukup mengejutkan, aku pun merangkap sebagai wartawan (enaknya, bisa ikut seminar-seminar dengan gratis, hehehe).
Toh, pada akhirnya ujung-ujungnya pun lebih kepada materi sekarang. dengan bermodal paham bahasa asing, aku bekerja sambilan menjadi penerjemah di freelance di rental temanku. lumayan buat nambah uang untuk cangkru'an. Sempat kuteringat ucapan Sapardi Djoko Damono bahwa menerjemah adalah usaha untuk menulis (jika salah, mohon koreksinya) dan apalagi karya terjemahan sebenarnya adalah karya sang penerjemah sendiri tanpa sangkut paut pada penulis asal. Begitulah. Tetapi serasa ada yang kurang bagiku, saat teman-temanku mulai banyak yang menulis di koran-koran, lagi-lagi rasa 'iri' untuk menulis mulai berdengung di pikiranku. terus terang aku sangat tidak pede untuk menulis di media massa. namun karena ada dukungan dari seorang teman Jogja, kucoba untuk menulis di media. dan alhamdulillah sempat masuk di media massa. Tapi ada kejadian yang membuatku sadar bahwa aku, dalam menulis, seharusnya berpijak pada kepuasan personal bukan pada materi yang akan aku dapatkan. Yach, karena hingga dua bulan, honorku tidak diberikan. padahal ingin kugunakan honor tersebut untuk membayar uang kuliah sebagai bukti pada orang tua bahwa aku dapat menjadi orang yang bermanfaat.
Dari Pengalaman-pengalamanku di atas, aku menyadari bahwa hal yang penting bagiku dalam menulis adalah bagaimana aku dapat mengabadikan peristiwa, momen, pengalaman, baik personal maupun komunal. Terlepas materi yang akan kita dapatkan, itu bukan bukan kebutuhan primer tapi sekunder (menurut saya). Mengharapkan materi jauh lebih sakit jika akhirnya kita tidak mendapatkannya. Sebuah Proses yang sebenarnya harus diagungkan. Tapi toh semua boleh berpendapat beda karena pengalaman yang berbicara beda. Yang Beda boleh Bicara, hehe.
Dan ada sebuah pertanyaan yang masih membuatku penasaran. Makna penulis itu sebenarnya apa? apakah dari intensitas dia menulis di media massa atau dari sejauh mana dia menulis segala hal yang belum tentu terpublikasikan di media dan hanya menjadi konsumsi sendiri. Apakah tolok ukurnya adalah media? sebab saya kira banyak orang-orang indonesia yang sebenarnya memiliki gaya pemikiran yang jauh lebih unik dan lebih cerdas dari orang-orang yang memiliki kuasa media. Tapi, lagi-lagi saya tak sanggup membahasakannya lebih jauh.
Terakhir untuk bang Nur Mursidi. saya mau main tebak-tebakan. Tujuan saya menulis di kolom ini apa? silahkan abang pilih:
a. Untuk mendapatkan buku
b. Agar buku saya dapat
c. dapat buku saya
d. a,b dan c salah semua
e. Ingin menyambung silaturahmi yang lebih dalam dengan abang. hehehe
Maaf, jika tulisan saya panjang. Jika berkenan, mungkin abang dapat mengoreksi tulisan-tulisan saya di blog saya. saya masih perlu bimbingan untuk menulis di media massa...?
Dan salut atas rangsangan abang pada setiap pengunjung di blog abang, agar selalu rajin menulis.
Terima Kasih
Salam Musthafa Amin (yang sok kenal, Hehehe)
Menulis bagiku seperti berefleksi, berkontemplasi, belajar memaknai setiap langkah kehidupan. Seberapa positif dan seberapa negatifkah langkahku dalam berjalan mengarungi kehidupan. Saya memang makhluk yang tak akan bisa sempurna. Biarlah segala ketidaksempurnaan ini terekam dalam raut aksara yang menjejak imaji dan naluri. Dengan menulis, saya merasa mampu melebur seluruh gundah itu. Entah tentang segala hal yang remeh, kegiatan sehari-hari, ataupun hal yang paling saya sukai. Saya takut jika kegiatan ini tidak terdokumentasi, saya akan kehilangan ingatan untuk belajar memaknai semuanya.
Regards,
Abhiem
Please visit bhimapriantoro.blogspot.com
untuk apa kamu menulis?
banyak alasan kenapa aku menulis. dulu aku hanya menulis puisi. menulis untuk mencurahkan isi hatiku, entah kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, atau bahkan kebencian. aku tidak suka menulis diary, karena bahasa diary mudah dipahami orang. sehingga puisi menjadi pilihan dan pilihan di mana aku bisa bebas menulis sesukaku, dengan pilihan dan susunan kata yang aneh sekalipun.
lalu kebiasaan itu berkembang. kisah-kisah indah enyd bliton, hercule poirot dll membuatku lebih senang menghabiskan waktu di kamar, membaca dan melamun. kesenanganku menyendiri dan melamun, membawaku sering berangan-angan dan bermimpi suatu saat nanti aku ingin membuat buku. pasti seru, tulisanku dibaca banyak orang. aku jadi dikenal banyak orang. beken.
mimpi itu sempat terlupakan selama beberapa tahun. ditelan pekerjaan dan kuliah. lagipula waktu itu belum ada blog, penerbit indi dan segudang kemudahan lain untuk belajar dan menjadi penulis atau sekedar menuangkan unek-unek yang bisa dibaca banyak orang.
setahun lebih, terakir ini. setelah mengenal blog, aku menjadi suka menulis apa saja sesukaku. awalnya hanya coretan-coretan isi hati, pikiran-pikiran, foto-foto, lirik lagu, pokoknya hal-hal yang membuatku tertarik dan aku sukai. seringnya aku menulis dan blogging, membuat PR terkatrol naik. teman mengajak menulis review. meski sangsi, aku coba juga program itu. dah...tada!!! dollar pertamaku cair. aku yang awalnya iseng, kini tertantang menulis review dan mengais dollar. blog yang dulu murni unek-unek kini bercampur dengan bisnis. sedih melihat blogku gado-gado, tapi kebutuhan akan duit membuatku coba mengacuhkanny saja.
saat ini, keinginanku untuk menulis tidak hanya untuk memwujudkan mimpi mempunyai buku sendiri yang dibaca banyak orang, menyuarakan apa saja isi hati, tapi juga untuk mendapatkan duit. tidak murni dengan hati? entahlah mungkin saja begitu. tapi realita adalah kenyataan yang harus dihadapi. rumah, motor, nasi, baju, sekolah harus dibeli dengan duit. dan...toh aku melakukannya juga dengan harapan peningkatan kualitas hidup keluargaku. bukankah itu artinya juga dengan hati? :)
Aq ga tenang klo ngga nulis hehe.
Ayo ke Mesir. Januari enaknya, pas International Book Fair, tapi lagi Winter tuh, harus bawa sweater hehehe.
Keep going, Bung!
sebelumnya saya sampaikan ucapan selamat atas terpilihnya blog ini sebagai yang terbaik untuk blog buku tahun ini.
kemudian saya ingin mengomentari pertanyaan kunci " untuk apa kamu menulis?"
berat bagi saya untuk menjawab pertanyaan eksistensial ini. tapi bukannya saya tidak bisa menjawab melainkan butuh waktu untuk menemukan jawaban yang sebenarnya sudah ada dalam dasar sanubari kita masing-masing, bagi yang mengaku senagai penulis.
salah satu cara untuk mengangkat emas itu ya dengan merunut akar historis dari jalan panjang kepenulisan pribadi pribadi ini. contohnya seperti uraian dari mas mursidi sendiri.
saya yakin jawaban dari pertanyaan ini akan sebanyak jumlah penulis yang ada di indonesia bahkan sebanyak pena kayu dan tinta air laut.dan jawaban saya adalah salah satu atom dari rimba partikel tinta dan pena.
mula mula saya menulis untuk diri saya sendiri. menulis tentang segala hal yang saya alami. kebahagiaan dan kesedihan. itulah masa masa sekolah menengah saya.
kemudian haluan saya mulai bergeser. saya menulis bukan hanya untuk diri saya tapi juga orang lain. segala peristiwa dan kegelisahannya. itulah masa masa kuliah saya.
dan selanjutnya orientasi saya telah berubah. saya menulis bukan untuk siapa siapa melainkan menulis untuk menulis. itulah masa masa terakhir hidup saya.
Wah mirip dengan kisah teman penulis di Malang Azizah Hefni (alias Zizi). Salut...Anda memang jujur menulis karena keadaan. Saya lebih salut yang seperti ini dari pada yang "pura-pura" idealis dan gak mau ngirim karya ke media. Padahal mereka cuma malas berkarya (tapi gak semua sih he2). Selamat berkarya!
Bung Mursidi sudah melewati ambang batas untuk jadi penulis. Kini menulis mengalir seperti air. Syukurlah Bung melewati hari-hari sebagai penulis "yatim-piatu" dengan jujur. Buah dari semua itu kini berbuah dan akan terus berbuah selama Bung pegang teguh prinsip-prinsip hidup itu. Saya sendiri sudah terinspirasi Menulis untuk menulis, menulis dengan hati!
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Aku menulis karena aku ingin dihargai. Dengan menulis, setidaknya buah karyaku bisa dibaca orang lain. Jika aku tidak menulis, maka hatiku menjadi gelisah. Sehingga hasrat menulis harus segera disalurkan.
Memang tidak dimungkiri jika sekarang motivasiku hanya untuk sekedar mendapatkan uang sebagai sarana untuk mendapatkan tambahan materi, tetapi untuk pemula seperti saya kondisi itu bukanlah sebuah hal yang patut digugat. Bukannya saya merasionalisasi diri, namun pada kenyataannya saya masih belum bisa mencapai tahapan menulis demi kepentingan keadilan atau sekedar murni berkarya tanpa bermaksud mendapatkan uang.
Terakhir dan tak ketinggalan, menulis sudah menjadi way of life. Karena dengan menulis, saya merasa perputaran waktu di dunia ini terasa sangat cepat sekali. Karena masa penantian untuk melihat apakah tulisan kita yang dikirim ke media cetak itu dimuat atau tidak adalah sebuah proses yang mampu menyadarkan saya bahwa waktu itu sungguh berharga.Jika tulisanku tidak dimuat di media massa, hatiku terasa panas dan bakalan sampai ubun-ubun untuk segera menulis yang lainnya.
Setelah tahu bahwa menulis itu banyak untungnya, saya akan terus menulis dan tidak peduli dengan perkataan orang lain. Dengan menulis kita bisa merubah dunia. Percayalah, kekuatan sebuah tulisan dapat mempengaruhi persepsi orang banyak. Untuk itu, bukanlah termasuk golongan rugi suatu kaum saat dia sudah menghasilkan sebuah tulisan yang dapat dibaca orang lain. Salam kenal dari Erik PP
Wasalamu’alaikum Wr. Wb
untuk apa kamu menulis??
aku menulis karena aku ingin menjadi aku. aku ingin mengungkapkan diriku, bukan hanya untuk orang lain, tetapi untuk mengenal lebih dalam lagi tentang diriku. Bagiku menulis seperti bercermin. Dengan menulis aku bisa melihat diriku, dengan sesungguhnya. Pikiranku, imajinasiku, pendapatku, kemarahanku, kecintaanku, keluh kesahku. Ya, aku dapat melihat diriku melalui tulisanku. Aku membiarkan jari-jari ini terus menulis, mengetik papan keyboard, sesuai dengan apa yang terlintas di pikiranku. Aku hanyut,hanyut dalam ceritaan hati tentang hati. Dengan menulis aku bebas dan lepas.
Aku tidak mengeluh lewat tulisan, tapi dengan tulisan2 ku, aku mengungkapkan isi hatiku.Bahwa aku, cinta menulis.
Nulis, Ya buat makan mas mursidi, kok dibuat, pokoknya nulis boet makan dan untuk ibadah kepada Tuhan. Titik No Commen
Untuk apa aku menulis? Seperti menanyakan untuk apa aku buang hajat (maaf) setelah makan! Memang tidak sama, tapi mirip. Membaca berarti mengunyah nutrisi untuk otakku.Menulis adalah proses sintesis pengetahuan yang dikunyah lewat mata.
Untuk memahami alasan menulis adalah sebuah proses panjang,karena bila dijawab langsung akan terasa normatif.Untukku, pertama menulis karena itulah yg diajarkan setelah membaca.Namun kemudian aku menulis untuk merumuskan ide&tujuan.Setelah berkenalan dg pengajian aku mengenal wasiat ustadz, QOYYIDUL "ILMA BIL KITABAH. ikatlah ilmu dg menuliskannya, karena memori terbatas dan aku butuh stimulan berupa tulisan untuk mengingat.Lalu aku kenal dg blog yg membuatku ingat catatan hidup,hampir serupa blog itu dg catatan kita.Apakah malaikat sekarang ini mencatat kita dg blog?(bercanda).
Setelah itu tergerak oleh motivasi ekonomi, mencukupi kebutuhan di luar kuliah,membeli buku sastra atau di luar keteknikan(bidangku) aku ikut lomba dan ada yang menang seperti lomba blog IGOS tempo hari.Selain itu menulis cukup bisa menyuarakan minat kepada lingkungan hidup, dan mencoba menata pengetahuan yang telah kuperoleh. Menulis juga membebaskan jiwaku.Aku tidak harus mengikuti selera orang kebanyakan.Tidak bisa dipungkiri usahaku mengirim tulisan2 ke Media itu dengan motif mendapat honor.Tapi itu tidak bisa disalahkan juga karena dengan tulisan kita bisa memberi terang, In Absentia Lucis Tenebrae Vincunt(dengan tidak adanya cahaya kegelapan akan menang,film Hellboy)..
Menjadi seorang penulis itu mungkin cita-cita bawah sadarku.Meskipun aku seorang calon engineer.
Akhirnya dengan menulis kita akan lebih mengenal diri kita. Gnothi seauton, kenalilah dirimu...itulah kebijaksanaan yang awal.
Untuk apa saya menulis?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin bercerita dulu awal mula saya menulis. Boleh??
Saat itu, saya masih duduk di kelas 1 menjelas kelas 2 SMP, Guru kami meminta saya mengikuti lomba mengarang dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanpa membantah, saya ikuti saja lomba itu dan beberapa minggu kemudian, saya mendapatkan piagam dari Pemerintah Kabupaten, saya menang sebagai juara 2.
Tahun berikutnya, pada kesempatan yang sama, kembali saya diminta mengikuti lomba itu dan...senang sekali saat itu karena saya juara 1! Sejak itu saya merasa bisa menulis!
Lalu saya mencoba menulis cerpen dan mengikuti beberapa lomba tingkat nasional. Tapi....beberapa tahun mencoba tidak pernah berhasil. Saya hanya menang sekali lagi sebagai juara 1 pada lomba mengarang memperingati hari Pendidikan Nasional th. 1992 di tingkat Kabupaten dan sebagai Juara 2 di tingkat Provinsi, selain itu, NIHIL.
Namun demikian saya terus mencoba hingga akhirnya berhenti setelah merasa ‘lelah’ dan kebetulan saat itu sedang mendapatkan promosi jabatan. Karenanya, saya meletakkan pena hingga 8 tahun! Beberapa tahun pertama, meletakkan pena tidak begitu menjadi masalah karena saya sibuk bekerja dan saat itu saya sangat mencintai pekerjaan dan dunia saya. Tapi ketika dunia yang saya cintai itu runtuh, siksa batin karena tidak menulis mengintip dan kian lama kian menyiksa. Siksa batin itu berlangsung lama, ada pergolakan antara yakin berhenti atau belajar untuk memulai lagi.
Saya belum bisa memutuskan mana yang akan saya ambil hingga suatu saat di pertengahan tahun 2004, saya tak sengaja menemukan buku-buku tentang menulis di sebuah toko baru. Rasa senang memeluk perasaan ketika itu. Saya mempelajari buku-buku tersebut dan termotivasi mulai berlatih. Kendala-kendala yang menyerang tidak melemahkan tapi justru kian mengukuhkan motivasi saya bahkan semakin sering saya berhenti menulis maka semakin hebat siksa yang dicambukkan di atas kegundahan hati saya.
Kini, sudah 4 tahun berlalu. Saya masih belum berhasil, belum mendapatkan apa-apa kecuali ’Sang Penjegal’, tapi InsyaALLAH saya akan berhasil.
Ya, menulis adalah kecondongan hati saya, saya tidak bisa meninggalkannya meskipun saya bukan orang yang pintar di bidang itu. Saya harus tetap belajar menulis karena bagaimanapun juga saya tak kuat menahan siksa saat berusaha berhenti menulis. Tapi menulis secara asal tidak bisa membuat saya puas dan terpuaskan. Tulisan saya harus dimuat di media massa! Harus menang di setiap sayembara!
Eit...tunggu!
Ada yang mengatakan niat itu kurang/tidak benar. Saya merenung. Dan, ya...itu bukanlah niat yang lurus, itu hanya ambisi negatif.
Saya telah disadarkan karenanya saya berusaha mengikuti nasehat bijak dari penulis/pengarang senior bahwa saya harus menulis dengan hati. Tak perlu ada embel-embel ini-itu yang membenai kepala dan hati saya saat menulis. Cukuplah menulis dengan hati. Dipublikasikan dan menang sayembara, bahkan menjadi populer dan kaya otomatis akan saya dapatkan jika hal pertama yang harus saya lakukan ―menulis dengan hati― senantiasa mengiringi perjalanan menulis saya.
Jadi, mengapa saya menulis? Karena saya tidak bisa berhenti menulis.
Ditulis oleh : Yathi
Dear Mas Mursid,
Aku menulis tentu untuk mencari nafkah, membayar tagihan dan untuk pembuktian diri..(halah..)
Berhubung sekarang aku kerja di penerbitan jadi tentu nulis balesan email dan pemberitahuan kepada penulis-penulis yang mau nerbitin naskahnya ditempatku apakah diterima, atau ditolak..
(ini juga termasuk kegiatan menulis kan?)
Salut buat Mas Mursid yang udah pasti bergelimang kata-kata dna pengalaman dalam menulis..
Regards,
Eviwidi
www.eviwidi.wordpress.com
Buat apa saya menulis?
Aduh-duh. Saya cuma anak muda yang punya banyak pendapat soal banyak hal kecil. Dari masalah keluarga yang pasti dialami setiap orang, hingga masalah nasionalisme. Wah. Kadang saya merasa naif, merasa terlalu muda untuk bisa berpendapat layaknya orang dewasa. Tapi toh saya tetap menulis. Biar kemampuan saya berkembang dan semoga berguna bagi orang banyak. Manusia mati, tapi karyanya tidak.
Yah. Dulu pertama kali menulis, saya juga mengincar hadiah lomba dan popularitas. Toh hal itu jadi penyemangat juga. Biar tulisannya makin bermutu dan dapat diapresiasi. Yang saya prihatin adalah soal masalah plagiasi yang dipraktekkan oleh adik kelas Bung Mursidi sungguh penuh komplikasi. Sebagai anak kos yang sehari-hari menderita, saya bisa mengerti bahwa masalah makan sungguh membuat orang gelap mata. Tapi saya percaya ada kalanya plagiat-plagiat itu tersingkir oleh karya-karya besar yang sesungguhnya.
Menulis adalah hal yang mengembangkan manusia. Jadi teruslah menulis dan biarlah semuanya berjalan seturut waktunya. Pertama-tama menulis dengan pamrih (dimotivasi oleh imbalannya), lalu menulis karena ingin, akhirnya menulis karena butuh. Butuh berbagi ide, butuh mengembangkan pemikiran.
Salam,
Pranadita
Untuk apa saya menulis? …
Jika saya pikirkan lebih jauh lagi mungkin tujuan akhir dari saya menulis adalah memang untuk mendapatkan penghasilan. Tetapi untuk mencapai tujuan akhir tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Untuk dapat menghasilkan suatu tulisan yang bernilai dan bermakna, saya harus terlebih dahulu memiliki jiwa seorang penulis. Dimana di saat saya menulis saya bisa merasakan seni dari suatu kegiatan menulis itu sendiri.
Seni dari suatu kegiatan menulis adalah dimana disaat kita sebelum menerbitkan suatu tulisan, kita harus melakukan beberapa kegiatan terlebih dahulu. Untuk dapat menghasilkan suatu tulisan yang akurat, kita terlebih dahulu harus melakukan ’riset’ kecil-kecilan. Riset yang dimaksud adalah penelaahan lebih lanjut terhadap topik yang akan diangkat. Kegiatan riset bisa dilakukan dengan pengamatan langsung ataupun wawancara informal dengan narasumber. Setelah melakukan ’riset’ kecil-kecilan tiba saatnya untuk menuangkan hasil pemikiran ke dalam suatu tulisan. Tahap inilah yang terhitung ’gampang gampang susah’, untuk mengungkapkan pemikiran ke dalam suatu tulisan tidak semudah mengungkapkan pemikiran ke dalam suatu percakapan. Untuk mengungkapkan pemikiran ke dalam suatu tulisan dibutuhkan kemampuan untuk mengemas kata-kata dan kalimat yang lebih singkat, jelas dan menarik.
Tahap yang berikutnya setelah selesai merampungkan tulisan adalah memuaskan diri kita sendiri dengan hasil tulisan kita. Kita harus membaca dan memikirkan berulang kali apakah kita sudah dapat merasa puas dengan hasil tulisan kita sendiri. Apa informasi yang akan disampaikan sudah jelas, apa bahasa yang digunakan sudah tepat? Untuk dapat memiliki kemampuan ’menilai’ suatu tulisan, sebelumnya kita harus sering-sering membaca hasil tulisan dari orang lain, dengan demikian kita punya perbandingan atau semacam contoh.
Kira-kira begitulah seni menulis yang dapat saya deskripsikan sebagai seorang penulis pemula. Jadi jika dipersingkat dari uraian saya mengenai ”untuk apa saya menulis?”, jawabannya yaitu untuk melatih dan meningkatkan kemampuan/skill saya dalam kegiatan menulis, yang sekaligus juga dapat mengembangkan hobi saya. Terakhir untuk dapat mendatangkan penghasilan dari hobi yang telah saya asah. Bukankah mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan hobi akan lebih menyenangkan?
Tasha..
Pertanyaan mengapa saya menulis adalah satu pertanyaan paling ringan namun mengesankan untuk saya. Sepanjang hidup saya selalu menulis, tanpa harus berpikir apa yang harus ditulis, mengapa saya menulis, bagaimana caranya menulis. Menulis adalah sama lazimnya seperti makan nasi atau minum air.
Apa kesamaannya? Keduanya adalah kebutuhan, yang mendasar. Ketika saya bertanya pada diri saya mengapa saya menulis, jiwa saya akan menyambutnya dengan senyum haru, "Karena saya membutuhkannya."
Menulis melengkapi jiwa saya. Menulis membantu saya menemukan hal-hal paling penting dalam hidup, berbagai alasan yang membuat saya terus hidup dan bergerak. Menulis membimbing saya mengenal diri dengan lebih baik, lebih dekat. Menulis mengizinkan saya untuk memperdalam pemahaman, memperluas wawasan, dan menyebarkannya demi kemanfaatan umat. Menulis membentuk saya menjadi seperti saya saat ini.
Maka pada akhirnya mempertanyakan mengapa saya menulis malah membuat saya merasa tak pantas lagi memikirkannya. Ini adalah helaan nafas, ini adalah aliran nadi. Ini adalah inspirasi! Ini adalah pencerahan!
Ini adalah hidup saya. Menulis.
sungguh benar-benar sebuah tulisan yang sangat bagus sekali,"untuk apa menulis", maka aku bilang "untuk apa tidak menulis" Tuhan menyediakan alam semesta ini untuk ditulis. bayangkan saja Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan sangat detail namun tak banyak orang memperhatikannya, hanya para penulis, dan penyairlah yang mampu mengenalinya karena mereka membaca detail demi detail karya Tuhan yang sudah tercipta meski hanya seonggok batu, mereka tidak hanya membaca saja tapi mereka menuliskannya, ketika menulis itulah ketulusan menjadi penanya dan kecintaan menjadi tintanya, ketika tulisan selesai anginpun menghembuskannya (bisa lewat buku, diary, blog atau semacamnya) sehingga sampailah ketangan pembaca yang lain. saat itulah pembaca tidak hanya menerima "tulisan" saja tapi juga kecintaan dan ketulusan penulisnya, bersama-sama mengagumi ciptaan Tuhan dalam cara yang lain.
untuk apa ya menulis??
sebenernya siih kadang males banget nulis + mikir bahan tulisannya
apalagi kalo udah buntu kalimatnya
knapa menulis??
bagi saya karena disitu tertuang semua harapan dan cita-cita saya
cita-cita untuk ikutan lomba seperti teman-teman yang sok pinter dan ga kasih kesempatan untuk temen yang lain berkreasi,,cita-cita untuk ngumpulin uang dan bisa biayain kuliah,,bisa beli handphone dan laptop,,dan banyak,,dan banyak lagi
alasannya sih memang egois dan matre banget ya kesannya [hehe].
Tapi sekarang karna sering nulis untuk ikutan lomba essay yang kebetulan ada di internet selain untuk hadiah lama-lama saya jadi peduli dengan masalah sosial di sekitar kita. Mungkin tidak bisa membantu terlalu banyak untuk masalah-masalah tersebut tapi semoga aja dari tulisan itu banyak orang yang hatinya lebih terbuka untuk ikhlas bantu-bantu mengatasi masalah tersebut.
Oh iya,,selamat ya atas kemenangan blog ini di blogger buku PBJ,,juara 1 lagi. Saya juga sebenernya pengen punya blog tapi blum berhasil-berhasil hehe,,
menulis...kenapa saya menulis..
Niat awal karena ingin menyalurkan bakat, yang kata teman-teman saya ada bakat. Dan saya ingin membuktikan itu.
Yang kedua karena saya nggak pandai berkata lewat bibir dengan bahasa yang baik sebagaimana saya menulis
Karena saya mencintai profesi penulis, bebas dalam etika dan bebas bereksprsi. Dan suatu ketika saya ingin memberi kontribusi positif bagi dunia melalaui tulisan saya, mimpi mungkin tapi bukankah sebuah kesuksesan berawal dari impian.
Yang selanjutnya tanpa menafikkan diri pengin dapat penghasilan dari menulis dan bisa mengatakan pada dunia bahwa profesi menulis itu mulia dan menjanjikan untuk masa depan dunia akhirat..
Dan satu lagi saya pengen meninggalkan sejarah untuk anak cucu saya kelak dengan tulisan saya..
Saya menulis karena saya butuh. Saya butuh hidup dalam arti semuanya. Sama seperti halnya orang makan karena butuh makan, maka saya menulis karena 'kelaparan' jika tidak melakukannya.
Kalau kata Dewi 'dee' Lestari dia menulis untuk menghindari sembelit otak, terlalu banyak membaca tapi tidak dikeluarkan dengan menulis, maka saya menulis untuk menghindari kembung otak. Terlalu banyak makan angin, tidak bagus untuk kesehatan, lhoo... :-)
Salam kenal, blog dan penulis blog yang hebat. Tabik!
kalo aku ditanya untuk apa aku menulis, mungkin sekarang aku akan
menjawab bahwa aku menulis karna aku cinta dengan dunia ini. aku merasa
nyaman ketika harus bergaul dengan berbagai macam koleksi buku dan
bacaan. meskipun tak dapat kupungkiri bahwa suatu saat aku ingin
menjadikan kecintaanku ini sebagai salah satu caraku untuk mendapatkan
tambahan penghasilan.
saat ini ketika aku mendengar kata penulis atau tulisan, dibenakku
selalu muncul keinginan suatu saat aku ingin menjadi seorang penulis
dan aku bisa dikenal dari sebuah tulisan. aku masih belajar walaupun
hanya secara otodidak. makasih mas, blognya menginspirasi sekali.
zahrajannah.blogspot.com
bagi saya menulis adalah membebaskan. entah itu sebagai penulis artikel, opini, esai, cerpen, puisi, novel, penulis sms, penulis yahoo mesengger, penulis buku harian, coretan di dinding, maupun penulis di kamar wc. terlepas dia itu miskin-kaya, mapan-gelandangan, buruk-baik. terlepas tulisannya itu mutu-tidak, legenda-picisan, pakai nurani-pakai nur aini.
menulis itu membebaskan kita dari kemiskinan, penderitaan, kegelisahaan, penjajahan, kapitalisme, orang tua, tuhan, setan dan membebaskan diri kita sendiri. wah jadi freedom institut banget, maaf kawan mursidi, komentarnya mbulet
Posting Komentar