Selama bulan Juli ini, aku nyaris ditikam waktu. Kalau dulu, tatkala aku masih tinggal di Yogyakarta dan belum memiliki pekerjaan tetap, aku justru seperti tidak memiliki waktu. Aku hidup dengan bebas, tidak ada yang memerintah, dan tak diikat waktu. Siang dan malam, seperti tidak ada bedanya. Tetapi kini, aku nyaris seperti digerus, dilipat dan digulung waktu. Setumpuk perkerjaan dan aktivitas, seakan menuntutku untuk selalu menyambutnya dengan siap sedia dan beringas.
Ironisnya, karena aku ini tergolong orang yang tidak kenal dengan konsep disiplin, nyaris semuanya jadi berantakan.
Pertama, selama bulan ini, aku nyaris tak menulis di media massa -kecuali cuma satu (1 ) tulisan; resensi buku Istana Kedua (dimuat di Surabaya Post, Minggu 27 Juli 2008). Jadi, kalau aku hitung, selama tiga bulan ini aku hanya menghasilkan tiga tulisan. Selain resensi Istana Kedua, ditambah lagi 1 esai (Kematian Sejarah Novel --yang dimuat di Seputar Indonesia pada Minggu 27 Juli 2008) dan 1 resensi buku Granada (yang dimuat Media Indonesia, Sabtu 27 Juni 2008). Kedua, jadwal kursus yang tidak kuperhitungkan, jadi ikut terbengkalai. Ketiga, pekerjaan baruku (sampingan sih?) yang dulu dijanjikan oleh pemiliki modal akan bisa diharapkan, ternyata tak bisa diandalkan.
Padahal, aku sudah tak banyak lagi menulis di media massa sesering dulu. Tak heran, jika di bulan ini aku nyaris tidak mendapatkan banyak buku gratis seperti pada bulan-bulan sebelumnya. Dengan kata lain, hanya --dapat buku gratis yang nyaris-- bisa dihitung dengan jari;
1. The Alchemyst, Michael Scott (Penerbit Matahati, Jakarta)
2. Branding You with Your Smile, Effendi Budi P (Gradien Books, Yogyakarta)
3. Detektif Monk Ngocol di Hawaii, Lee Goldberg (Dastan Books, Jakarta)
4. Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna, Muhammad Baqir Ash-Shadr (Zahra, Jakarta)
Terpaksa, karena buku gratis yang aku terima bulan ini tidak bisa diandalkan, aku membeli 12 buku baru yang aku keluarkan dari uang kocekku sendiri. Jujur, itu pun lantaran bulan ini aku mendapat hadiah uang 5.000.000,00 --meraih juara I lomba blogger Pesta Buku Jakarta 2008. Tanpa hadiah itu, aku nyaris tak bisa membeli buku baru.
Tanpa kerja keras memang aku tak bisa mendapatkan sesuatu dengan maksimal! Terbukti, saat aku tak banyak menulis, maka aku hanya mendapatkan buku gratis yang bisa dihitung dengan jari.***
(Ciputat, 30 Juli 2008)
2 komentar:
semangat donk, nulis itu hidupmu kalau mau tetep hidup yo nulis. males dikit2 boleh aja, asal jangan sampai ngeblak he..he..
Menulis bagi saya posisinya sama dengan "ijtihad intelektual" dan "jihad keberaksaraan". Kelelahan menuangkan ide -- kendati kerap merongrong semangat -- harus berupaya ditumpurkan. Menulis apa saja dan dibaca siapa saja -- tanpa harapan material -- adalah filosofi hidup seorang intelektual publik. Aku juga ngerti mas, kadang-kadang pusing dengan soal duit. Mas masih untung. Saya pada bulan juli hanya dua kali dimuat di media massa. Padahal buat pengeluaran bulan agustus saya harus megang uang 2 juta lebih buat bayar kontrakan di Bandung.semangat terus nulisnya ....rezeki mah pasti dikasih sama Tuhan. Apalagi buat orang yang mewakafkan waktu, tenaga, dan pikirannya buat nyerdasin masyarakat. Ya kayak mas ini lho. Salam blogger!
Posting Komentar