resensi "ketiga yang terpilih" oleh pengelola etalasebuku. Berhak mendapat honor 100 rb.
Judul Buku : Bukavu
Penulis : Helvy Tiana Rosa
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 228 halaman
Peresensi : Rini Nurul Badariah
Bahwa cinta menuntut pengorbanan dan kepedihan yang melebihi selaksa sembilu, banyak orang sudah tahu. Melalui Bukavu, Helvy Tiana Rosa menyatakan bahwa cinta dengan segala aspek konsekuensinya itu tidak melulu menyoal hati sepasang sejoli. Airmata dan keletihan yang menggerogoti batin hadir pula dalam cerita manusia yang mengasihi keluarga dan tanah tumpah darahnya.
Kumpulan cerpen ini merangkum napas tuturan Helvy yang sudah cukup familiar bagi para penikmat karyanya. Karakter wanita dibiarkan bergelut dalam kegelisahan berkepanjangan, utamanya kala menjadi saksi aneka kemurkaan alam (baca: Yang Maha Kuasa) dan kesewenang-wenangan penguasa. Mereka tidak hanya merenung, tetapi mengambil tindakan serta mencoba melawan hingga titik darah penghabisan.
Sebagian besar komponen Bukavu mengingatkan pada epik-epik yang dulu menghiasi halaman majalah Annida. Kendati sangat identik dengan Forum Lingkar Pena, Helvy tidak menggelontorkan denyut islami dalam goresan penanya secara dominan. Ia membubuhkan eufemisme dan metafora sehingga kisah yang bernuansa getir pun menjadi rupawan. Dengan demikian, buku ini dapat diapresiasi oleh khalayak ramai.
Cerpen Ze Akan Mati Ditembak (halaman 41) adalah yang paling menonjol. Bukan hanya lantaran Helvy menghadirkan lelaki sebagai pelaku utama tanpa kehilangan kekuatan karakterisasinya, cerpen ini menyodorkan kacamata lain terhadap kasus berdarah di Lorosae. Pembaca diajak meneropong peristiwa tersebut dari sudut pandang warga pro otonomi. Terlalu banyaknya pihak yang campur tangan dengan kedok kemanusiaan disuarakan dalam ucapan Ze, “Human right....,” Ze terbatuk-batuk. “Go to hell...!” (halaman 52)
Peringkat berikutnya diduduki Darah Hitam (halaman 69). Helvy menggedor ingatan pembaca terhadap kerusuhan etnis di Kalimantan. Betapa gegabahnya manusia, betapa mudahnya kita diterkam prasangka. Dengan kecermatan riset yang antara lain ditunjukkan oleh bahasa daerah nan proporsional, cerpen ini memaparkan banyak luka. Nuansa religius berbaur politik, yang mengandung buah pikiran kurang lebih sama, disajikan dalam Lelaki Semesta (halaman 177). Keberanian yang dikemukakan Helvy patut diacungi jempol.
Kreativitas cemerlang juga nampak pada pengolahan cerpen Lorong Kematian (halaman 159). Kejamnya peperangan dikarenakan kebengisan siasat orang-orang yang berada di baliknya digambarkan dengan tajam. Ini membuktikan bahwa berpindah-pindah setting dan karakter sentral tidak menjadikan cerita kehilangan benang merah satu sama lainnya, di samping kemampuan Helvy menggarap ruang-ruang ‘kosong’ untuk diangkat dalam fiksi. Seolah-olah ia berkata, “Tak perlu menengok terlalu jauh, ide dapat digali dari negeri sendiri.”
Helvy mengantisipasi kepenatan para pembaca apabila terus ‘mengkonsumsi’ sastra. Maka ia menyuguhkan keragaman topik, misalnya Juragan Haji (halaman 93). Cerpen ini memotret sebuah ironi. Pula loyalitas seorang pembantu rumahtangga yang senantiasa takjub oleh kemudahan-kemudahan yang direguk majikannya, termasuk untuk berkunjung ke Rumah Allah yang merupakan impian terbesarnya. Begitu pun Titin Gentayangan (halaman 201). Bahasa yang renyah tidak mengurangi bobotnya. Bahkan di balik tema yang ringan, tersisip pesan moral teramat kentara sehingga nyaris transparan. Melalui karakter Titin, Helvy mengajak kita menertawakan kedunguan akibat patah hati. Kebutaan cinta, yang sebenarnya bermuara pada kekalahan, mendorong Titin berbuat hal-hal di luar jangkauan akal sehat. Mendatangi dukun sampai berniat untuk mengakhiri hidup sendiri, walaupun tahu bahwa perbuatan itu dimurkai Allah.
Pendek kata, Bukavu merupakan fiksi yang menyehatkan wawasan. Sebuah representasi kegelisahan seorang Helvy ketika menatap sesamanya.
Kumpulan cerpen ini merangkum napas tuturan Helvy yang sudah cukup familiar bagi para penikmat karyanya. Karakter wanita dibiarkan bergelut dalam kegelisahan berkepanjangan, utamanya kala menjadi saksi aneka kemurkaan alam (baca: Yang Maha Kuasa) dan kesewenang-wenangan penguasa. Mereka tidak hanya merenung, tetapi mengambil tindakan serta mencoba melawan hingga titik darah penghabisan.
Sebagian besar komponen Bukavu mengingatkan pada epik-epik yang dulu menghiasi halaman majalah Annida. Kendati sangat identik dengan Forum Lingkar Pena, Helvy tidak menggelontorkan denyut islami dalam goresan penanya secara dominan. Ia membubuhkan eufemisme dan metafora sehingga kisah yang bernuansa getir pun menjadi rupawan. Dengan demikian, buku ini dapat diapresiasi oleh khalayak ramai.
Cerpen Ze Akan Mati Ditembak (halaman 41) adalah yang paling menonjol. Bukan hanya lantaran Helvy menghadirkan lelaki sebagai pelaku utama tanpa kehilangan kekuatan karakterisasinya, cerpen ini menyodorkan kacamata lain terhadap kasus berdarah di Lorosae. Pembaca diajak meneropong peristiwa tersebut dari sudut pandang warga pro otonomi. Terlalu banyaknya pihak yang campur tangan dengan kedok kemanusiaan disuarakan dalam ucapan Ze, “Human right....,” Ze terbatuk-batuk. “Go to hell...!” (halaman 52)
Peringkat berikutnya diduduki Darah Hitam (halaman 69). Helvy menggedor ingatan pembaca terhadap kerusuhan etnis di Kalimantan. Betapa gegabahnya manusia, betapa mudahnya kita diterkam prasangka. Dengan kecermatan riset yang antara lain ditunjukkan oleh bahasa daerah nan proporsional, cerpen ini memaparkan banyak luka. Nuansa religius berbaur politik, yang mengandung buah pikiran kurang lebih sama, disajikan dalam Lelaki Semesta (halaman 177). Keberanian yang dikemukakan Helvy patut diacungi jempol.
Kreativitas cemerlang juga nampak pada pengolahan cerpen Lorong Kematian (halaman 159). Kejamnya peperangan dikarenakan kebengisan siasat orang-orang yang berada di baliknya digambarkan dengan tajam. Ini membuktikan bahwa berpindah-pindah setting dan karakter sentral tidak menjadikan cerita kehilangan benang merah satu sama lainnya, di samping kemampuan Helvy menggarap ruang-ruang ‘kosong’ untuk diangkat dalam fiksi. Seolah-olah ia berkata, “Tak perlu menengok terlalu jauh, ide dapat digali dari negeri sendiri.”
Helvy mengantisipasi kepenatan para pembaca apabila terus ‘mengkonsumsi’ sastra. Maka ia menyuguhkan keragaman topik, misalnya Juragan Haji (halaman 93). Cerpen ini memotret sebuah ironi. Pula loyalitas seorang pembantu rumahtangga yang senantiasa takjub oleh kemudahan-kemudahan yang direguk majikannya, termasuk untuk berkunjung ke Rumah Allah yang merupakan impian terbesarnya. Begitu pun Titin Gentayangan (halaman 201). Bahasa yang renyah tidak mengurangi bobotnya. Bahkan di balik tema yang ringan, tersisip pesan moral teramat kentara sehingga nyaris transparan. Melalui karakter Titin, Helvy mengajak kita menertawakan kedunguan akibat patah hati. Kebutaan cinta, yang sebenarnya bermuara pada kekalahan, mendorong Titin berbuat hal-hal di luar jangkauan akal sehat. Mendatangi dukun sampai berniat untuk mengakhiri hidup sendiri, walaupun tahu bahwa perbuatan itu dimurkai Allah.
Pendek kata, Bukavu merupakan fiksi yang menyehatkan wawasan. Sebuah representasi kegelisahan seorang Helvy ketika menatap sesamanya.
1 komentar:
Selamat Idul Fitri 1429 H
Posting Komentar