....

Kamis, 30 Juli 2009

daya tahan meresensi buku

(sumber: http://indonesiabuku.com 23 juni 2009)

Nur Mursidi. Lahir di Rembang, 30 Maret 1975. Kini tinggal di Tangerang. Sarjana Akidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogja ini sudah 11 tahun membaca dan meresensi buku. Pelbagai tema tentu saja dirambahnya. Ia akan berbagi pengalamannya selama satu dasawarsa lebih. Sebaiknya kita tanyakan dulu apa dan bagaimana dunia resensi itu kepada wartawan tetap majalah Hidayah dan kontributor majalah Anggun dan majalah Variasari ini.

Wawancara yang dilakukan Muhidin M Dahlan via e-mail ini kita bagi dalam dua sesi. Sesi pertama adalah proses kreatifnya [di sini]. Sesi kedua adalah bagaimana tips-tips meresensi.

BAGIAN II

Ada orang membaca buku hanya sekadar membaca. Tapi ada juga orang menuliskan resensinya. Bagaimana menurutmu yang baik?
Membaca pada dasarnya adalah menyelami sebuah buku untuk dikuak lebih jauh tentang apa yang disampaikan oleh si penulis buku. Tetapi ingatan seorang pembaca itu tak jarang terbentur pada keterbatasan; lupa. Karena itu, bagi saya menulis resensi buku adalah langkah untuk “mengikat makna” –meminjam istilah Hernowo—agar buku yang pernah dibaca itu tidak lupa. Toh kalau lupa, tak lagi perlu membaca buku itu dari awal hingga akhir melainkan tinggal membaca resensi yang telah ditulis.

Karena itu, menurut saya, agar makna atau pemahaman kita atas sebuah buku itu tetap teringat dan terjaga, setelah membaca sebuah buku selayaknya menulis resensi (atau minimal membuat sinopsis). Itu langkah yang baik.

Apa modal utama dalam meresensi buku?
Modal utama meresensi buku itu, bagi saya adalah paham (berusaha mendekati maksud yang dikehendaki penulis buku) tentang “sebuah buku yang hendak diresensi”. Jika modal utama itu sudah digenggaman otak, maka menulis resensi tidak lagi sesuatu yang sulit. Karena hal-hal yang lain, seperti teknik menulis resensi, memilih jenis buku, dan unsur-unsur yang harus dikuasai dalam menulis resensi bisa mengikuti.

Buku apa baiknya kita resensi. Lama atau baru?
Untuk menulis resensi buku, jika sedari awal memang ditargetkan untuk dimuat di media maka buku yang diresensi hendaknya buku baru. Palagi ada redaktur resensi buku yang memang menetapkan; dia akan memuat resensi buku; setidaknya 6 bulan dari terbitnya buku.

Kalau kita nggak punya uang beli buku baru, langkah2 taktis apa yang kita lakukan? Apa penerbit mau ngasih kalau kita minta???
Tidak punya uang untuk membeli buku bukan berarti jalan untuk bisa meresensi buku kemudian tertutup rapat-rapat. Dulu, waktu saya masih awal-awal menulis resensi buku, saya kerap meminjam buku dari teman jika memang tidak punya uang untuk beli buku. Setelah saya intens menulis resensi buku dan mulai kenal akrab dengan bagian promosi beberapa penerbit buku, jika memang ada buku baru yang bagus saya tak segan meminta untuk dikirimi karena sebagian besar penerbit tak jarang menganjurkan pada saya untuk meminta buku jika ada buku yang saya kehendaki.

Jadi, penerbit tak keberatan mengirim buku jika memang buku yang diminta itu kemudian diresensi, karena permintaan buku oleh peresensi bisa dikata sebanding lurus dengan promosi sebuah buku. Di sini, ada timbal balik antara penerbit dan peresensi.

Ada yang bilang meresensi itu mudah. Tetapi, ada juga yang bilang sulit. Bagaimana itu?
Bagi saya pribadi, menulis resensi buku itu tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Mudah atau susah itu tergantung dari kemauan atau ketekunan seseorang. Setiap ada kemauan, pastilah ada jalan. Jadi kalau ingin menulis resensi buku dan serius, maka menulis resensi itu akan jadi mudah. Tapi sebaliknya, bagi orang yang malas dan mudah menyerah bahkan tak mau belajar, maka menulis resensi buku itu akan menjadi sesuatu yang sulit.

Bagaimana baiknya meresensi. Baca semua isinya atau asal-asalan saja. Baca pendahuluan misalnya, langsung diresensi. Bagaimana itu?
Untuk bisa maksimal meresensi buku, kunci utama adalah memahami isi buku. Karena itu, dibutuhkan pembacaan yang detail (menyeluruh) agar nanti dapat meresensi dengan bagus. Bisa saja, membaca buku dengan cara membaca sekilas, tapi saya berani jamin; hasil resensi itu tidak akan bisa maksimal. Ada “celah dan lubang” yang tidak bisa diungkap karena membaca buku yang diresensi dengan tidak detail.

Apa saja unsur dalam meresensi?
Unsur-unsur dalam meresensi buku itu sebenarnya simpel. Pertama, judul resensi. Dalam membuat judul, usahakan yang menarik dan mewakili isi tulisan resensi. Kedua, data buku; meliputi a) judul buku, b) penulis, c) penerbit, d) tahun terbit, e) cetakan, f) tebal buku dan g) harga buku (jika memang diperlukan).

Ketiga, pengantar atau pembuka resensi. Pembuka inilah yang cukup memiliki kekuatan muat, karena dengan pembuka yang memikat bisa dipastikan redaktur akan terpikat setidaknya untuk pertama kali membaca sebuah resensi. Keempat, mengungkap isi buku; lebih jauh lagi jika kemudian dijelaskan dengan mengikutkan “teori” yang bisa menjelaskan buku itu dengan analisis yang tajam. Kelima, kritik peresensi atas buku itu (mengungkapkan kelebihan dan kekurangan buku, tema yang diangkat, teknis penulisan dan lain). Keenam, penutup; mengungkap kontektualitas buku dikaitkan dengan kondisi kekinian, untuk siapa buku itu ditulis dan bisa ditambah lain lagi ulasan khusus tentang buku tersebut secara spesifik.

Sepanjang apa sih meresensi buku. Maksudnya jumlah halaman???
Jika resensi itu “ditargetkan” untuk dikirim ke media massa, panjang pendeknya resensi harus menyesuaikan space atau kolom yang disediakan media yang akan dikirimi naskah resensi. Misal di Kompas, resensi bisa panjang sekitar 7500 karakter, sementara di media yang lain bisa sekitar 6000-6500 karakter.

Setelah meresensi, di kemanakan resensi itu?
Setelah menulis resensi, biasanya saya mengirimnya ke media. Karena sejak awal menulis resensi dulu (waktu itu memang belum ada blog) saya sudah menargetkan nulis untuk dimuat di media massa. Baru jika kemudian tidak dimuat di koran atau majalah, saya mempublikasikan resensi tersebut di blog (saya).

Bagaimana caranya resensi menembus media massa. Perlu gak ndekatin redakturnya?
Sepanjang pengalaman saya menulis resensi buku di sejumlah media massa, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh peresensi agar resensi yang ditulis itu bisa dimuat. Pertama, adalah pilihan buku yang diresensi. Kedua, adalah siapa penulis buku itu. Karena penulis yang terkenal bisa dipastikan memiliki nilai muat yang tinggi. Ketiga adalah mengetahui kecenderungan (spesifikasi) keilmuan redaktur sebuah media yang bersangkutan.

Kalau ketiga faktor tersebut diperhatikan, maka peresensi tidak akan mengalami kesusahan untuk menembus atau bisa dimuat di media! Memang, kedekatan peresensi dengan redaktur itu bisa sedikit banyak membantu, tetapi hal itu bukanlah segalanya.

Selama 11 tahun meresensi apa saja untung dan ruginya?
Keuntungan saya selama sebelah tahun meresensi buku tidaklah sedikit. Pertama adalah saya bisa belajar (dari membaca semua jenis buku), mendapat honor, mendapat buku gratis (secara berkala), dan di belakang hari saya menemukan bahwa menulis – entah itu resensi buku atau menulis genre lain adalah sebuah pertarungan, pergulatan hidup dan sekaligus menemukan jati diri.

Adapun satu kerugian yang saya alami; menulis resensi seperti mata rantai yang pada ujungnya menjadikan kecanduan. Saya tak tahu; apakah ini dialami oleh peresensi lain atau tidak. Tetapi setelah saya menceburkan diri untuk intens menulis resensi, saya seperti terjebak pada genangan lumpur dan anehnya saya susah meloloskan diri. Kenapa bisa demikian?

Kiriman buku-buku gratis kerapkali tak memberi ruang bagi saya untuk punya kebebasan. Ada beban moral jika saya tidak meresensi ketika saya mendapatkan kiriman buku gratis dan itu seperti sebuah mata rantai yang susah untuk dilepaskan. Selain itu, keranjingan membaca tak jarang menuntut saya dihinggapi perasaan rugi jika kemudian tak menulis dalam bentuk resensi buku setelah saya membaca sebuah buku. Untungnya, sudah satu tahun ini saya bisa membebaskan diri; untuk intens menulis cerpen, esai dan novel. Saya menulis tidak terpaku pada resensi buku. Dengan cara itu, sekarang saya tak lagi terkooptasi lingkaran dunia resensi buku. Pendek kata, ada hal lain yang jauh lebih penting yang memang harus saya kejar!

Di koran mana saja resensi Anda dimuat? Sebutkan rincinya ya. Nama-nama korannya saja?
Selama rentang waktu sebelas tahun, resensi saya sudah dimuat di hampir semua media nasional dan lokal, di antaranya Kompas, The Jakarta Post, Majalah Tempo, Koran Tempo, Majalah Gatra, Majalah Mata Baca, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Bisnis Indonesia, Majalah Gamma, Forum Keadilan, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Keadaulatan Rakyat,
Bernas, Wawasan, Suara Merdeka, Solo Pos, Bengawan Post, Riau Mandiri, Majalah Hidayah, Majalah Anggun dan lain-lain.

2 komentar:

achmad ridwan mengatakan...

wah...ternyata aku baru sadar, mungkin tulisanmu kalau diukur kira ada nggak sejaug 300 KM..??

penulis mengatakan...

nek diukur paling2 mung omahmu sampai lasem. wong sakti satu ini pancen neko2... hihihihihi