....

Selasa, 20 Maret 2012

Perjuangan Hebat untuk Tetap "Hidup"

resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 20 Maret 2012

Judul buku :  Karmaka Surjaudaja; Tidak Ada yang Tidak Bisa
Penulis       : Dahlan Iskan
Penerbit    : Elex Media Komputindo
Cetakan     : Pertama, 2012
Tebal buku : 280 halaman
Harga buku: 49.800,00

SUNGGUH hebat dan luas biasa! Itulah pujian yang layak diberikan kepada Karmaka Surjaudaja. Sebab, dia tak sekadar sosok yang ideal untuk dijadikan teladan dalam dunia bisnis, cermin bagi siapa pun yang ingin jadi pemimpin tapi yang tidak kalah menakjubkan lagi adalah perjuangannya melawan vonis kematian. Pasalnya, tahun 1978 dokter terhebat di Amerika menjatuhkan vonis dia "tinggal 5 tahun" lagi menjalani hidup.

Tapi, Karmaka (yang bernama Tionghoa Kwee Tjie Hoei, lahir di Hokja, Tiongkok 1934) tak menyerah. Ia tidak menganggap vonis itu kiamat. Dia tetap berjuang membesarkan Bank NISP dan menyiapkan anak-anaknya menyambut masa depan. Rupanya, vonis itu tidak terbukti. Pasalnya, 5 tahun berlalu, dia masih bernapas dan berdiri tegak. Dia "tidak dikalahkan" vonis kematian. Bahkan, ketika akhirnya Karmaka harus menjalani transplantasi liver.

Perjuangan hebat Karmaka itulah yang "menyentuh hati" Dahlan Iskan untuk menulis kisah Karmaka. Sebab, bagi Dahlan Iskan --yang juga menjalani transplantasi liver pada 2007 sebagaimana ia tulis dalam buku Ganti Hati: Tantangan Jadi Menteri-, perjuangan Karmaka bahkan lebih "dramatis" dibanding perjuangan yang pernah dia alami. Apalagi, di matanya, Karmaka dikenal sebagai sosok sukses di balik kebesaran Bank NISP ketika Karmaka harus jatuh bangun berkali-kali untuk membesarkan NISP.

Padahal, Bank NISP --yang didirikan mertua Karmaka, Lim Khe Tjie itu-- harusnya sudah hancur dihantam badai berkali-kali. Apalagi Karmaka hanya lulusan SMA dan lahir dari keluarga miskin. Pasalnya, setelah sang mertua pergi ke Tiongkok untuk menziarahi orangtuanya dan tak diizinkan kembali ke Indonesia --karena paspornya disita-- dan NISP diselewengkan orang-orang kepercayaan mertuanya, Karmaka seperti dibebani setumpuk masalah yang tak mungkin sanggup dia panggul. Saat itu, tahun 1962, mertuanya meminta Karmaka menyelamatkan NISP yang sudah kronis karena bangkrut dan kehilangan kepercayaan.

Tetapi Karmaka berhasil menyelamatkan Bank NISP. Rupanya, perjuangan Karmaka tak berhenti di situ.Tak selang lama, saham 43% yang dalu dikuasai mantan pimpinan-pimpinan NISP meninggalkan masalah setelah dibeli orang lain yang tidak mau diajak kerjasama --bahkan ingin menguasi NISP. Dia pun berjuang lagi menyelamatkan NISP. Lagi-lagi, NISP itu seharusnya hancur lantaran 1965 pemerintah menerapkan sanering dan modal NISP susut drastis (karena uang Rp1000 jadi RP1).

Tapi ia bisa menyelamatkan kondisi buruk tersebut. Meski ia harus menutup semua kantor cabang (tinggal NISP yang di Bandung dan Jakarta). Juga, harus menangung utang yang nyaris tak mampu dibayar. Apalagi, kala itu ia memecat 3000 karyawan dan harus memberi "uang pesangon" besar. Hingga kepelikan itu sempat membuat Karmaka mengakhiri hidup; bunuh diri minum racun. Tapi, Tuhan tidak mengizinkan dia mati sehingga dia sadar bahwa hidup kembali adalah satu kekuatan yang harus membuatnya "bangkit". Pengalaman itu yang membuat dia kuat bahkan ketika menghadapi kriris moneter yang membuat Soeharto jatuh.

Tapi pengalaman itu belum seberapa. Pasalnya, ia harusnya sudah ditimbun tanah. Apalagi bisa berumur panjang menyaksikan Bank NISP jadi bank ternama masuk 10 besar bank swasta di Indonesia. Sebab, tahun 1997, dia mencoba bunuh diri lagi lantaran menyanggap telah menyusahkan keluarga (tapi usaha itu tak berhasil). Tahun itu, setelah dia berhasil melawan vonis dokter (1978), 18 tahun kemudian, dia terkena sirosis liver bahkan sudah berkembang jadi kanker dan harus menjalani transplantasi liver, tapi tidak jelas mendapat donor liver. Tuhan lagi-lagi, memberinya hidup. Dia diselamatkan dari bunuh diri, dan 3 hari kemudian dapat donor liver dan berhasil menjalani transplantasi liver. 

Keberhasilan itu memberi Karmaka semangat; Tuhan belum mengizinkan dia mati. Meski setelah itu dia beberapa kali harus masuk rumah sakit, tapi menjalani semua itu dengan kuat. Bahkan ketika dia kemudian menjalani transplantasi ginjal dua kali. Dia berjuang keras  tetap hidup bahkan melalui buku ini, seakan bahwa tidak ada yang tak bisa dilakukan selama ada kemauan dan perjuangan yang tak mengenal putus asa. Lewat buku ini, spirit itu seakan dengan jelas dibaca.

Jadi, lewat buku ini, pembaca tak saja mengenal sosok Karmaka --yang ditulis Dahlan Iskan dengan apik-- mulai dia berusia 10 bulan berapung-apung di laut lantaran pada 1935 ia dibawa ibunya dari Hokjan Tiongkok ke Indonesia untuk menyusul ayahnya. Selanjutnya, pembaca disuguhi perjuangan Karmaka sebagai sosok ulet  tidak saja sebagai warga dari suku moniritas, tetapi juga semangat bekerja keras, tik kenal putus asa meski sewaktu remaja Karmaka hidup miskin.
   
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: