....

Minggu, 17 Maret 2013

Jatuh Bagun Seorang Penulis


resensi ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu 17 Maret 2013
oleh: Abd. Basid

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit   : Elex Media Komputindo
Cetakan  : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN      : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-

Pernahkah pembaca membayangkan kalau seorang penjual koran bisa menjadi penulis handal dan bahkan wartawan? Menjawab pertanyaan sederhana ini mungkin pembaca agak bingung karena nyaris bisa dipastikan bahwa kehidupan penjual koran waktunya dihabiskan di jalanan. Dan juga tidak jarang penjual koran tidak pernah membaca isi apa yang ia jual. Bagaimana mungkin orang yang menghabiskan waktunya di jalan dan tidak pernah membaca apa yang ia jual bisa menjadi penulis dan wartawan.


Sejenak hal di atas masuk akal, tapi akan berbeda ceritanya kalau pembaca membaca buku Tidur Berbantal Koran yang ditulis oleh N. Mursidi, mantan penjual koran dan sekarang menjadi penulis handal dan wartawan sebuah majalah Islam di Jakarta.

Dalam buku setebal 243 halaman ini, N. Mursidi berkisah akan perjuangannya dalam meraih mimpinya untuk menjadi penulis yang dipenuhi dengan perjuangan hingga “berdarah-darah”. Keadaan ekonomi keluarganya yang terbilang pas-pasan membuat N. Mursidi meninggalkan kampung halamannya, Lasem, Jawa Tengah, pergi kuliah ke Yogyakarta berharap setelah lulus nanti bisa memperbaiki nasib dan bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Namun siapa sangka, kuliah baru semester satu ternyata ia tidak bisa melanjutkannya karena tidak bisa membayar SPP. Usaha menjual Koran di jalanan sebelum berangkat kuliah hanya cukup mengganjal perut dalam setiap harinya. Orangtua di rumah sudah tidak lagi mengiriminya uang. Ayahnya sudah tua dan sering sakitsakitan sehingga hasil usahanya habis untuk berobat dan makan sehari-hari.

N. Mursidi pun terpaksa berhenti dan memendam ambisi kuliahnya. Sejak itulah ia sepenuhnya menghabiskan hari-harinya di jalanan. Jika sebelumnya, di tengah-tengah menjajakan koran, ia dibayangi-bayangi jadwal kuliah, namun sekarang bayang-bayang itu hilang dan membebaskan dirinya untuk terus berkelahi dengan waktu di jalanan.

Setahun berlalu ia seakan dibesarkan oleh garam jalanan yang penuh dengan persaingan. Untuk bisa memikat penumpang bus agar membeli koran pada dirinya, tidak pada orang lain, ia harus memutar otak mencari strategi. Salah satu strategi yang sering ia lakukan ialah membacakan headline utama dan aktual yang ada di koran dan kemudian ia mebagi-bagikan pada setiap penumbang agar sedikit bisa membaca dan setelah itu koran tersebut segera ditarik kembali sehingga mereka yang penasaran untuk membacanya lebih lanjut rela merogoh kocek sakunya membeli koran yang waktu itu seharga Rp. 200,00 (hal. 48).

Meskipun N. Mursidi seakan asik dengan profesinya sebagai penjual koran, namun ia sadar bahwa peliknya jalanan hanya menjanjikan makan seharian. Berawal dari sebuah tulisan di koran yang ditulis oleh seorang penulis berstatus mahasiswa N. Mursidi tertarik untuk juga bisa seperti mereka dan suatu saat nanti namanya juga terpajang di koran. Ketika itu juga dia sempat bergumam bahwa jika orang lain bisa, kenapa dia tidak bisa.

Semenjak itu, ia berazam untuk juga bisa seperti mereka, meski sementara ini ia hanya seoranng penjual koran. Untuk mewujudkan mimpinya itu, sehabis jualan koran N. Mursidi tidak langsung pulang ke kontrakannya, tapi pergi ke perpustakaan daerah Malioboro dan jalan Tentara Rakyat Mataram (hal. 64).

Meski tidak ada guru yang mengajarinya menulis, keinginan untuk bisa menulis di koran semakin kuat. Ia belajar menulis secara otodidak dari koran-koran yang ia jual, dengan usaha menyelami apa yang ada di balik teks.

Singkat cerita, akhirnya ia pun bisa menulis dengan sebuah mesin ketik temannya yang digadaian padanya. Ia pun gembira dan senang tujuh keliling karena dengan itu ia beranggapan bisa menulis dan dimuat di koran. Namun apa yang terjadi? Satu tahun berlalu tak satupun tulisan cerpennya dimuat di koran, padahal ia sudah rajin menulis dan mengirimkannya ke koran. Hatipun terasa sedih dan ia seakan putus asa—hingga memutuskan untuk istirahat dari dunia tulis-menulis dan pindah ke dunia fotografi.

Dunia fotografi ternyata tidak membuat dirinya lebih baik, hingga suatu hari ia dibangunkan oleh sebuah buku yang ia pinjam dari salah seorang temannya dan kemudian ia meresensinya. Kali ini jerih payahnya dikabulkan Tuhan. Resensi buku pertama ternyata berhasil dimuat di koran. Sejak itulah ia mengintimi dunia resensi buku, hingga akhirnya ia serasa terjebak dalam lumpur resensi yang membuat dirinya tidak bisa lepas dari buku.

Koran-koran lokal berhasil ia taklukkan, tapi menembus koran nasional membuat dirinya berdarah-darah. Bertahun-tahun ia berusaha menaklukkan koran nasional, semisal Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia, Republika dan lainnya tak kunjung tercapai. Hingga tiga tahun lamanya ia baru bisa menaklukkan Jawa Pos yang menjadi raja koran di jagat Jawa Timur itu. Hingga kini tulisantulisannya sudah tersebar di mana-mana, baik lokal maupun nasional, bahkan hingga The Jakarta Post yang berbahasa inggris. Sehingga tidak salah jika salah satu koran di Jakarta, yang memuat profilnya, kemudian menyebut dirinya sebagai raja resensi.

Buku memoar ini cocok untuk dibaca bagi mereka yang berniat untuk menjadi seorang penulis. Buku ini menyiratkan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak bisa menulis dan meraih cita-cita setinggi mungkin. Lebih dari itu buku ini menjadi bukti bahwa kegiatan menulis juga bisa menjadi sebuah profesi yang bisa mencukupi kebutuhan hidup.(*)

*) peresensi adalah peminat perbukuan


Tidak ada komentar: