....

Sabtu, 06 April 2013

Lembaran yang Terlewatkan

Catatan  Memet Abdul Hamid atas buku Tidur Berbantal Koran

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis    : N. Mursidi
Penerbit  : Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan  : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN      : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-

Saya penasaran ketika mendengar kabar dari media sosial bahwa sahabatku N. Mursidi baru saja me-launching buku perdananya “Tidur Berbantal Koran”. Saya sendiri memang tidak pernah bertemu langsung dengan dia. Persahabatan yang kami jalin hanya melalui media sosial facebook dan twitter. Rasa penasaran saya untuk membeli buku tersebut semakin memuncah kala sahabatku Subro mengirim pesan lewat kronologi di Facebook. Katanya “Bukunya sangat menginspirasi”. Tanpa berpikir panjang aku meminta seseorang  segera memburu buku itu ke Gramedia Ayani Mall.


Alhasil, buku itu aku dapatkan dan aku berencana melahap buku itu hanya dalam tempo semalam. Karena saya melihat buku Tidur Berbantal Koran tidaklah begitu tebal selayaknya novel- novel yang lain.

Setelah solat isya’ berjamaah sayapun mulai membuka lembaran buku itu. Mata saya langsung tertuju pada lembaran pendahuluan. Kalimat demi kalimat saya nikmati, hingga ketika saya sudah masuk pada bagian III (aku, buku dan koran) aku mendegar suara ibuku dari kamar sebelah merintih kesakitan. Akupun segera beranjak dari kasur dan menghampiri ibu. Sekujur tubuhnya diselimuti dua lapis selimut tebal,  matanya menatap langit-langit kamar. Tubuhnya panas seperti terbakar api ketika aku menyentuhnya. Aku berteriak minta bantuan portolongan kerumah paman yang berada disamping rumahku. Seluruh isi rumah berhamburan keluar menghampiriku yang panik seperti anak ayam kehilangan induknya.

Paman langsung mengeluarkan becaknya untuk segera mambawa ibu kerumah sakit. Bibi serta anak-anak nya menghampiri ibu yang merintih kesakitan. Saya sendiri masuk ke kamar untuk membongkar celenganku untuk saya bawa kerumah sakit.

Dalam perjalanan diatas becak, Ibuku menolak dibawa ke rumah sakit, Ia hanya meminta untuk dibawa ke klinik saja. Saya tahu mengapa ibu menolak untuk dibawa kerumah sakit? Setelah lulus kuliah saya hanya bekerja paruh waktu pada lembaga mikro finance . ibu pasti berpikir uang saya tidak akan cukup untuk biaya rumah sakit. Tapi aku tetap bersikeras, bahwa ibu harus dibawa kerumah sakit. “Uang Saya cukup untuk biaya rumah sakit” kataku menatap mata ibu dalam- dalam. Tetapi ibu tetap menolak. Saya pun mengikuti apa kata Ibu. Yang penting beliau mau berobat.

Setelah kurang lebih 20 menit di periksa oleh dokter. Ibuku di vonis sakit types. Kata dokter “Ibu Kamu kelelahan, kurang istirahat dan makannya sering terlambat.” Dokter membolehkan ibu dirawat dirumah dengan catatan tidak boleh banyak bergerak. Dan meminum obat tepat waktu dan tuntas.

Sayapun melewati hari itu sebagaimana seorang suster. Menyiapkan makanan, obat hingga mencucikan baju-baju ibu yang kotor.

Dua berselang, keadaan ibu sudah mulai membaik. Saya menghampiri buku Tidur Berbantal Koran yang sudah 2 hari aku tinggal. Saya Merasa kehilangan dengan apa yang sudah saya baca. Saya memulai lagi membaca lembaran buku itu dari awal. Dengan pelan jari saya mulai membuka lembaran buku sambil duduk bersandar di pintu kamar.  Jari saya tiba-tiba terhenti ketika mataku melilhat lembaran ketiga. Dalam lembaran itu tertulis.

Buku ini aku persembahkan untuk ibunda, Masmiah : sosok wanita tangguh yang tak perlu membaca buku ini

-       Karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau.

Airmata saya serasa tak mampu dibendung. Membaca lembaran yang terlewatkan beberapa hari yang lalu itu. Jari telunjuk saya tak mampu membuka lembaran-lembaran berikutnya. Aku tertunduk dibelakang pintu dengan air mata yang bercucuran.

Sudah satu tahun saya menjadi penulis cerpen. Tiap minggu saya menulis cerpen dengan genre “rekonsiliasi” pada sebuah koran lokal tanpa sebuah bayaran. Cerpen  itu saya dedikasikan untuk sebuah rekonsiliasi di Kalbar. Tapi saya jarang untuk menulis cerpen dengan kisah perjuangan seorang ibu. Seingatku hanya sekali menulis tentang ibu. Saya lupa menjadikan Ibu sebagai sumber inspirasiku. Saya baru sadar bahwa kertas ini tidak akan cukup untuk mengurai jerih payah beliau.

Terima kasih untuk N. Mursidi yang telah menyadarkan saya lewat buku nya.

Putri Dara Hitam, 31 Maret 2013

Tidak ada komentar: