....

Kamis, 14 Maret 2013

Menulis itu Perjuangan [Bagian Kedua]

Oleh Ngainun Naim

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit   : Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan   : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN       : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-

Butuh waktu tiga hari untuk menuntaskan membaca true story yang ditulis dengan apik dan mempesona ini. Kesempatan membaca yang paling memungkinkan kulakukan di malam hari setelah semua penghuni rumah terlelap. Tetapi itu biasanya tidak bisa bertahan lama. Karena capek, biasanya aku cepat dibantai kantuk yang mendera. Tanpa sadar, buku yang kupegang tiba-tiba jatuh. Pada kondisi semacam ini, aku harus berhenti, karena kalau kupaksakan juga percuma. Tidak akan ada yang masuk di otak. Maka buku bagus ini aku tuntaskan di banyak tempat; pagi sebelum berangkat kerja, di sela-sela mengajar, sore sebelum pulang dari kantor, dan sebagian di atas bis yang setia mengantarku pergi-pulang dari rumah ke kantor.


Memasuki halaman demi halaman buku ini, aku seperti disihir. Aku sungguh terpesona dengan caranya bertutur, pilihan bahasanya yang bagus, dan kecermatannya yang menghentak kesadaran pembaca. Aku jadi teringat sebuah kata-kata menarik tentang menulis yang sayangnya aku lupa siapa yang mengatakannya. Kira-kira begini bunyinya, ”Jika Anda membaca sebuah buku yang menarik, mudah dipahami, dan membuai pembaca, pastilah buku itu ditulis dengan penuh perjuangan, kerja keras, dan tidak kenal menyerah dari penulisnya”. Dan aku yakin, itulah yang dilakukan Mursidi saat menulis buku ini. Ia penulis yang telah melakukan kerja keras sehingga buku ini ”menyihirku” sebagai pembacanya.

Pada bagian ”Pendahuluan: Dari Penjual Koran Jalanan Menjadi Penulis”, aku menemukan banyak sekali pelajaran dan hikmah. Pada paragraf pertama, aku sudah menemukan sebuah kata pembuka yang menghentak. Kalimat penuh energi itu berbunyi, ”Tanpa dihimpit oleh cobaan, aku mungkin tidak akan pernah menjadi penulis”. Bagiku, kalimat ini menjadi kunci dari seluruh isi buku ini.

Cobaan demi cobaan yang menjadikan Mursidi seperti batu karang dalam dunia menulis. Ia mampu bertahan sebagai penulis sampai sekarang karena sudah kenyang asam garam dunia menulis. Di saat teman-teman seangkatannya sudah mundur teratur karena punya pekerjaan atau penghasilan yang lebih menjanjikan, Mursidi masih setia menulis dan berkompetisi di media massa. Ia kini sebagai wartawan Majalah Hidayah, tetapi menulis berbagai genre masih setia dilakoninya. Tulisan yang tidak jelas nasibnya di meja redaksi media massa sudah menjadi hal yang tidak ia pedulikan. Baginya, tugas penulis adalah menulis. Sementara nasib tulisan itu terserah kepada redaksi dan takdir Tuhan.

Jalan hidup Mursidi yang sarat cobaan ini menemukan pembenarannya kalau kita telisik pada bagian berikutnya. Pada bab ”Kandas Kuliah, Terjerumus di Ujung Gang”, ia menulis dengan nada pilu;

”Aku menjalani hidup seperti memanggul beban sejarah yang cukup berat terkait riwayat sekolahku yang kelabu. Dalam dunia pendidikan, aku mungkin dapat dikatakan menjalani hidup seperti Sysipus yang kena kutukan sejarah. Meskipun aku tidak pernah tinggal kelas, tapi aku tak pernah berhasil memasuki sekolah impianku”.

Riwayat sekolah Mursidi, sebagaimana dituturkan secara apik dalam buku ini, memang membuat hati trenyuh. Nyaris ia tidak merasakan bangku sekolah sebagaimana diharapkan. Lulus MI, gagal masuk SMPN 1 sebagaimana impiannya. Lulus SMP, ia mengidamkan bisa memasuki SMAN 2, tapi ”nasib kembali menggusurku ke tepian jurang”, tulisnya dengan nada memelas. Karena tidak lolos seleksi, ia pun kembali menjadi murid SMU swasta.

Setelah tamat SMU, ia kembali gagal kuliah. Ia menganggur selama dua tahun. Ikut UMPTN dua kali juga tidak pernah lolos. Saat nekat kuliah di sebuah PTS, itu hanya bertahan selama satu semester karena himpitan ekonomi yang mendera memaksanya keluar. Begitu juga saat ia kuliah lagi di IAIN, juga nyaris tidak lulus, walaupun pada akhirnya sejarah memberinya kesempatan untuk menjadi seorang sarjana. Saat di IAIN, ia sudah begitu asyik dengan dunia menulis. Memang, dunia menulis yang penuh perjuangan kadang sangat menggoda. Harapan, kompetisi, perjuangan, dan pekik kemenangan saat sebuah tulisan dimuat menjadikan penulisnya melupakan hal-hal lain di luar menulis, termasuk urusan kuliah [Bersambung].

Parakan Trenggalek,
pagi hari tanggal 14/3/2013.

*) Ngainun Naim, dosen STAIN Tulungagung  

Tidak ada komentar: