....

Jumat, 15 Maret 2013

Menulis Itu Perjuangan [Bagian Ketiga]

Oleh Ngainun Naim

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit   : Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan  : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN      : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-


Riwayat sekolah yang kurang menggembirakan bukan berarti tidak berprestasi dalam bidang lainnya. Jika mengikuti paradigma Howard Gardner, Mursidi bisa dikategorikan sebagai sosok yang memiliki kecerdasan bahasa. Ia mampu menangkap ide, mengolah kata, menyusun kalimat, dan menyajikan kepada pembaca tulisan yang memikat. Ulasan-ulasannya, sebagaimana bisa Anda cermati—salah satunya--diblog yang dikelolanya, menunjukkan bagaimana seorang Mursidi begitu terampil menulis.


Tetapi keterampilan menulis yang dimilikinya tidak terbentuk secara mendadak. Ia memulainya melalui jalan terjal, berliku, penuh kelokan, dan banyak membentur hambatan. Tetapi ia tetap kukuh. Ia terus melaju. Dan untuk itulah, saya menyebut dalam judul tulisan ini dengan ”Menulis Itu Perjuangan”.

Mursidi, sebagaimana teman lainnya, Kholilul Rohman Ahmad, adalah penulis produktif yang merajai dunia menulis. Kholilul Rohman Ahmad, yang diceritakan di buku Mursidi pada halaman 164-165, sesungguhnya sosok yang sudah cukup lama aku kenal. Aku bahkan sudah mengenalnya sejak ia masih duduk di bangku Madrasah Aliyah.

Pada tulisan yang ketiga ini, aku akan banyak bercerita tentang Kholilul Rohman Ahmad, sebagaimana permintaan N. Mursidi. Ulasan tentang Maman—sapaan akrab Kholilul Rohman Ahmad--ini aku kira memang harus aku lakukan karena aku cukup mengenal tokoh mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga tahun 2000-an ini.

Saat itu, sekitar tahun 1997, aku sedang belajar menulis. Sebagai mahasiswa tingkat akhir S-1 yang baru saja transfer dari IAIN Sunan Ampel Surabaya ke IAIN Sunan Ampel Cabang Tulungagung, aku sering berkumpul di kantor PMII Cabang Tulungagung. Di tempat inilah, aku sering melihat seorang siswa berseragam Aliyah. Ia masih lugu. Bisa aku maklumi, karena ia masih Aliyah, sementara aku sudah hampir lulus S-1. Belakangan aku ketahui namanya Maman.

Walaupun masih Aliyah, Maman memiliki minat yang besar dalam menulis. Jujur, aku sangat kagum dengan semangatnya. Aku sendiri, sama seperti Maman, baru belajar menulis. Di masa awal belajar menulis, aku pernah membuat sebuah resensi di Majalah MPA Surabaya yang ternyata resensiku dimuat bersama dengan resensi karya Maman.

Karier kepenulisan Maman kian berkibar saat ia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aku yang tetap tinggal di daerah dan tidak memiliki komunitas menulis, jauh tertinggal dari Maman. Aku tetap menulis, walaupun tidak produktif. Memang sudah ada tulisanku yang dimuat di Kompas, Jawa Pos, Surabaya Post, Republika, dan beberapa media lainnya, tetapi tetap masih kalah produktif dengan Maman.

Saat Maman sedang sangat produktifnya, aku menerima sebuah surat panjang dari dia. Surat itu masih aku simpan secara rapi sampai sekarang sebagai kenangan dari seorang sahabat. Maman menulis panjang lebar tentang dunia menulis yang ia tekuni. Ia juga mengkritik tajam terhadap apa yang aku lakukan. Pada surat bertanggal 28 November 2000 itu Maman menulis begini;

Dulu ketika masih di Tulungagung, terus terang, aku sangat bangga dapat berkenalan erat dengan kamu karena tulisannya dimuat di Surabaya Post—tahun 2000 ini aku juga membaca dua tulisan resensimu di Surabaya Post melalui internet, analisanya tidak berkembang, pancet! Barangkali karena ketika itu aku tak bisa menembus koran sore itu, sehingga hampir mendewakanmu.

Saat membaca surat Maman waktu itu, saya agak emosi juga. Tetapi saya sadar sepenuhnya bahwa Maman memang sudah jauh berkembang. Ia bisa menjadi penulis yang sangat produktif—bahkan punya nama samaran yang juga banyak—karena menemukan iklim yang tepat. Sementara aku yang tinggal di sebuah kota kecil dan jauh dari akses, tetap saja menjadi penulis kecil. Aku tidak pernah menyesalinya dan kujadikan semua itu sebagai tantangan untuk menulis secara lebih baik lagi.

Di bagian lain suratnya, Maman memprovokasi mengenai produktivitasnya. Ia bercerita;

Kebetulan akhir-akhir ini banyak juga tulisanku yang dimuat. Selama September dan Oktober 2000 ada yang di Kompas, detik.com (2 tulisan), berpolitik.com, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya Post (29/10/2000), MPA, dan media-media kecil di Yogyakarta dan Semarang yang honornya Cuma 20-30 ribu per tulisan.

Surat Maman seolah menjadi tantangan bagiku untuk semakin meningkatkan produktivitas menulis. Tetapi seperti yang ditulis Mursidi dengan meminjam penjelasan Islah Gusmian, menulis di media massa itu ibarat judi. Tulisan yang kita kerjakan dengan totalitas dan menurut ekspektasi kita akan dimuat, ternyata masuk ke kantong sampah redaksi. Sementara tulisan yang kita buat dengan biasa-biasa saja justru yang dimuat. Demikian juga dengan nasibku. Saat itu aku mampu menulis lima belas artikel sebulan. Bulan Agustus tahun 2000, ada sepuluh tulisanku yang dimuat media massa. Tapi bulan-bulan berikutnya, nasib pasang surut. Kadang dimuat dua, tiga, dan tidak jarang tidak ada yang dimuat sama sekali.

Namun dari semua bagian suratnya Maman sepanjang tiga halaman yang bagiku paling menantang adalah pada bagian penutupnya.

Kata adik-adikmu, sekarang kau sudah jadi dosen (luar biasa) di STAIN TA. Syukurlah, namun jangan merasa dan mengaku sudah menjadi intelektual. Kau berhak mengaku intelektual jika nama dan tulisanmu pernah (minimal sekali) terpampang di Harian Kompas. Catat itu!

Aku tidak pernah mengaku sebagai intelektual. Aku hanya berusaha untuk terus belajar. Aku tersenyum kembali saat menulis catatan Maman ini. Tanpa perlu berkoar, semua tantangan Maman sebenarnya sudah aku jawab. Aku tidak peduli ia ingat dengan tantangannya atau tidak. Aku juga tidak terlalu risau Maman tahu atau tidak kalau tulisanku pernah dimuat Kompas. Bagiku, yang penting aku terus menulis dan bisa memberikan manfaat buat orang lain. Kalau kemudian aku pernah mendapatkan bantuan dana dari Kompas saat aku mengajukan proposal penelitian studiku karena aku melampirkan fotokopi artikel-artikelku di Kompas dalam proposal tersebut, semua itu kusyukuri sepenuh hati. Tetapi di luar itu semua, Maman adalah seorang sahabat yang telah mendorongku untuk mampu menembus ketatnya persaingan di Kompas.

Bagiku, Maman adalah seorang sahabat yang telah menjadi bagian dari perjalananku dalam belajar menulis. Ia tahu persis bagaimana aku mulai belajar menulis artikel dan resensi buku, sebagaimana aku juga tahu bagaimana ia belajar menulis. Jika sekarang ia telah menjalani kehidupan yang tidak lagi berkaitan secara langsung dengan dunia menulis, aku yakin itu hanya bersifat sementara. Aku yakin suatu saat ia akan rindu pada dunia menulis. Menulis telah menjadi dunia yang memberinya warna unik dalam kehidupannya. Bahkan aku pernah menemukan buku kumpulan puisinya yang diterbitkan Ar-Ruzz Media Yogyakarta. Aku tidak membeli buku kumpulan puisi karya Maman karena dari seluruh karya sastra, puisi yang paling tidak kumengerti.

Suatu ketika, aku menemukan sebuah buku kecil seukuran saku karya Maman. Tanpa pikir panjang, buku itu langsung kubeli. Aku membeli buku itu, tentu saja, karena aku kenal baik penulisanya. Kubuka dan kubaca dengan cermat buku yang berjudul How to Write.... 15 Cara Cepat Menyusun Tugas Akhir. Dan saat membuka buku itu, aku menemukan hal yang menarik, yaitu setiap babnya diawali dengan kata ”Provokasi”. Jadi, di buku itu ada 15 provokasi yang dilakukan Maman. Usai membaca buku itu, aku ketawa. Dasar Maman, menulis buku tentang cara cepat menyusun skripsi, padahal dia sendiri bisa lulus pada saat semester 14 [Bersambung].

Parakan Trenggalek, 14/3/2013

*) Ngainun Naim, dosen STAIN Tulungagung   

Tidak ada komentar: