....

Senin, 15 April 2013

Sindrom Anak Singkong

oleh: Hartono Rakiman

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit   : Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan   : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN       : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-

Kisah Penjual Koran yang Jadi Wartawan

Sindrom anak singkong bagus untuk dihidupkan dalam rangka membangun karakter bangsa yang mau bekerja keras, dan mencintai produk dalam negeri (baca: singkong, bukan keju!).Menurut kamus Webster, sindrom adalah himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi. Istilah ini sering dipakai di bidang kedokteran dan psikologi. Tapi istilah ini juga dipakai untuk menerangkan gejala sosial tertentu. Seperti contoh munculnya “Cinderella syndrome,” yang menjelaskan gejala perempuan yang memiliki masalah ketidakmandirian dan berhasrat untuk menikah dengan lelaki yang lebih tua atau lebih kaya, seperti kisah Cinderella yang melegenda itu.


Pada contoh yang lain, ada yang disebut sebagai “Stockholm Syndrome,” yang merujuk pada kejadian penyanderaan di  Stockholm, Swedia, sekian tahun lalu. Pada kasus penyanderaan itu, terjadi pola relasi yang intim antara penyandera dengan pihak yang disandera. Alih-alih terjadi kebencian dan balas dendam di hati para pihak yang disandera, mereka justru simpati dengan misi penyenderaan itu.

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai buku kisah sukses orang yang mengawali karirnya dari orang biasa. Bahkan ada yang secara eksplisit menyebut dirinya sebagai “Anak Singkong.”  Memoar orang sukses akan lebih memikat ketika diawali dengan sederet kisah perjuangan dan lelehan keringat.  Kisah orang sukses yang dilahirkan sebagai anak orang kaya, bisa  kuliah di luar negeri, mahir berbahasa Inggris, bergaul dengan kaum sosialita, tak akan menjadi bahan bacaan yang menarik. Karena itu sudah lumrah dan memang seharusnya begitu. Tak ada pelajaran moral yang bisa ditarik dari sana, kecuali ada nilai-nilai lain yang unik dan  khas dari tokoh yang ditulis di sana. Pelajaran moral dari kisah sukses yang berasal dari anak orang miskin, punya mimpi besar dan mau bekerja keras akan terasa indah dan bermakna jika dilalui dengan cara itu.

Saya menyebut fenomena baru itu sebagai sindrom anak singkong. Novel  “Tidur Berbantal Koran” karya N. Mursidi (Elex Media Computindo: 2013), kembali menegaskan tentang perjuangan keras seseorang dalam meraih mimpi. Ini adalah sebuah novel tentang cerita anak singkong. Cerita tentang anak desa yang punya hak yang sama untuk meraih mimpi. Sebangun dengan spirit novel tetralogi “Laskar Pelangi” yang ditulis oleh Andrea Hirata.

Dalam tulisan resensi buku N. Mursidi ini, tentu saya tidak sedang menempatkan dirinya seperti tokoh besar dan superkaya yang bangga menceritakan kepada orang-orang bahwa dulunya adalah orang biasa, anak orang miskin atau orang desa. Saya hanya ingin menempatkan N. Mursidi pada satu posisi di mana anak singkong bisa meraih kesuksesan yang dia impikan ketika masih jaman susah dulu. Maka segala sisi kemiskinan, penderitaan yang perkepanjangan bukan lagi menjadi sesuatu yang harus disembunyikan, atau tabu untuk diceritakan. Pada satu sisi, justru di situ kekuatan narasi yang ingin dibangun melalui tulisan. Dan pada sisi yang lain, pembaca akan sangat menikmati tulisan semacam itu.

Novel yang berdasarkan pada kisah nyata ini  menceritakan dengan gamblang dan lugas perjuangan N. Mursidi yang ingin keluar dari jerat kemiskinan dengan cara ingin kuliah di Jogja. Tapi kuliah di Jogja justru menyorongkan dirinya pada nasib lain berupa kebutuhan finansial yang tidak sedikit. Kuliah di univeritas swasta, Universitas Sarjana Wiyata, pastilah akan menyedot kebutuhan finansial yang tidak sedikit. Terutama dengan latar belakang ekonomi keluarganya yang tidak mendukung. Tapi niat itu sudah terpatri dan pantang baginya untuk pulang ke Lasem, Jawa Tengah, tempat dia lahir dan dibesarkan.

Pada semester awal kuliah di Universitas Sarjana Wiyata itu, N. Mursidi terpaksa kembali lagi ke Lasem karena orang tuanya sakit keras. Keputusan itu membuat dia harus merelakan melepas mimpi untuk kuliah di Jogja. Tapi seberapa lama dia sanggup dengan kondisi itu? Dengan tekad yang membara dia putuskan untuk kembali lagi ke Jogja. Dan kuliah di IAIN adalah pilihan terbaik, karena itu adalah sebuah perguruan tinggi negeri yang relatif lebih murah. Lalu bagaimana dia menghidupi dirinya, karena pasokan finansial tak lagi lancar dari orang tuanya? Cara yang paling mudah untuk menopang hidupnya sembari kuliah adalah sebagai penjual koran. Maka suka duka sebagai penjual koran jalanan menjadikan novel ini menarik untuk diikuti. Di sana, sekolah kehidupan justru sedang dimulai. Di jalanan, N. Mursidi banyak pelajaran hidup, terutama kerasnya kehidupan jalanan, yang telah menjadikan dirinya sebagai pribadi yang matang dan pantang menyerah.

Suka duka mencari topangan hidup sembari kuliah, tinggal di kost yang mirip kandang ayam, dan mimpi untuk menjadi penulis terus menjadi obor semangatnya untuk terus bertahan di Jogja.

Karir kepenulisan N. Mursidi justru dimulai sebagai tukang koran itu. Karena seperti yang dia kutip dari Stephen King, “Kalau engkau ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kau lakukan: banyak membaca dan menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal itu, dan tidak ada jalan pintas.”    (hal 168).  Bahan bacaan berlimpah dari tulisan yang ada di koran yang dia jual setiap hari. Nasib juga mempertemukan N. Mursidi dengan buku-buku yang dia temukan di kamar terkunci di sebuah rumah kontrakan yang dia sewa bersama teman-temannya, juga dari buku-buku yang dia dapat pinjam dari temannya. Tak ada guru dalam menulis. Semua dia lakukan secara otodidak, dengan cara melakukan pengamatan dari berbagai tulisan, dan latihan yang hampir setiap malam dia lakukan dengan mesin ketik butut. Olah latih menulis itu dia lakukan di tengah guncangan rel kereta yang hanya berjarak sekian meter dari kamar kost-nya. Di tengah-tengah insomnia malam hari.

Kejadian paling membekas dalam karir kepenulisannya adalah ketika untuk pertama kalinya N. Mursidi mendapat honor dari karyanya sebesar Rp. 20.000. Dan ketika teman-teman kampusnya tahu, dia ditodong untuk mentraktir mereka. Dan hasilnya dia harus mengeluarkan uang sampai Rp. 22.000. “Kalian semua memang rakus! Honor yang kuterima cuma dua puluh ribu, tetapi kalian makan menghabiskan lebih dari honor yang aku terima…” (hal 116). Padahal sejatinya uang itu adalah andalan satu-satunya di dapat bertahan hidup di Jogja dengan cara menulis. Orang lain mungkin sudah sampai pada taraf aktualisasi diri ketika menulis. Tapi N. Mursidi menulis untuk mengganjal perut. Dan teman-temannya telah menyerbot kebutuhan dasarnya.

Novel ini juga menegaskan soal pilihan hidup yang dijalanai dengan tulus dan penuh kecintaan. Di sana ada passion. Jalan hidup N. Mursidi juga menunjukkan bahwa passion adalah penuntun sejati. Jalur sekolah formal, selembar ijazah, menjadi tidak ada artinya jika itu tak dilandasi dengan kecintaan penuh untuk melakukan sesuatu.

Novel ini juga sedikit dibumbui dengan kisah asmara antara N. Mursidi dengan seorang dara bernama Aida, meskipun tidak secara jelas diceritakan kelanjutan dari kisah asmara ini. Di sana juga bertebaran bumbu-bumbu humor yang keluar dari dialog dengan teman-temannya semasa kuliah. Nama teman-teman N. Mursidi sengaja ditulis dengan nama asli, bahkan dengan nama panggilan mereka. Barangkali itu adalah salah satu ungkapan terima kasih N. Mursidi atas jasa mereka dalam rentang sejarah hidupnya.

JIka ingin menyebut kekurangan, maka kekurangan novel ini terutama terletak pada pengolahan karakter tokoh-tokoh yang ada di sana. Sebagai sebuah novel, karakter N. Mursidi terlalu dominan mewarnai mulai dari lembar pertama hingga lembar terakhir. Tokoh-tokoh lain yang ada dalam novel ini hanya hadir sebatas figuran tempelan yang tak begitu penting. Plot cerita juga tak memiliki konflik yang berujung pada solusi di akhir cerita. Kecuali fragmen cerita yang dia susun dalam beberapa bab, dan pecahan sub bab.

Terlepas dari semua itu, novel ini masih relevan untuk hadir di tengah-tengah publik Indonesia yang kian lama kian terpuruk dalam kubangan penyakit kronis konsumtif dan koruptif yang kian hari kian menggerogoti sendi kehidupan bangsa Indonesia. Sindrom anak singkong justru bagus untuk dihidupkan dalam rangka membangun karakater bangsa yang mau bekerja keras, dan mencintai produk dalam negeri (baca singkong, bukan keju!)

*) Hartono Rakiman, pengasuh Rumah Baca

Tidak ada komentar: