....

Senin, 20 Mei 2013

Semesta Sang Tukang Koran

resensi ini dimuat di majalah Paras edisi 115 Mei 2013
Oleh Wakhid Nur Effendi

Judul     : Tidur Berbantal Koran, Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cetakan : 1/Februari 2013
Tebal   : xiv + 243 halaman
ISBN    : 978-602-020-594-6
Harga   : Rp 44.800

Ini memang kisah sejati, namun ditulis dengan bahasa novel sehingga kisahnya yang diuntai dengan diksi tertata, khas bahasa para novelis, membuncahkan kalimat yang mengalir indah. Dengan plot linear, kita akan diantar sang penulis menelusur relung masa lalunya. Protagonisnya yang tak lain adalah si penulis sendiri, Mursisi berangkat dari pengalaman kepapaan dan kerasnya jalanan, tempat dia sabungkan asa dan harapan masa depan. Karena formasi berpikir dan bertindaknya adalah pelajaran dari jalanan, jangan harapkan terpapar kisah penuh wewangian.


Semenjak meninggalkan bangku SMU, ia yang tak diharapkan bersekolah lagi oleh keluarganya ini, nekad datang ke jogja demi obsesinya untuk bersekolah yang lebih tinggi. Karena latar belakangnya bukanlah anak dari keluarga berada, yang didalam hidupnya penh aturan dan serba diarahkan, Mursidi pun berjalan denga kerasnya kehidupan.

Namun selain medan keras, jalanan ternyata juga sebuah kawah penuh pembelajaran bagi mereka yang awas dan waspada. Bila yang lainnya larut, bahkan tertelan oleh kerasnya jalanan, Mursidi bertekad keluar dari labirin jalanan yang sering membuat mereka yang terjun di dalamnya tak mampu keluar dari situasi tersebut.

Ia memang berjualan koran, berteman bahkan bermusuhan dengan preman jalanan, berinteraksi dengan orang-orang kecil yang berebut medan jalanan itu, namun ia sangat tahu bahwa tujuannya bersekolah adalah menyambung hidup demi kuliahnya.Bermula dari tukang beca yang membeli korannya, lalu sang tukang becak itu khusyuk membaca koran yang dibelinya, Mursidi merenung sesaat, tukang becak saja membolak-balik koran, kok dia yang mahasiswa hanya menganggap koran sebagai mata dagangan, bukan sumber informasi dan ilmu ?

Mulai saat itulah, ia membaca, memilih dan memilah mana yang perlu dibaca demi penguatan intelek dan minatnya.Dari situ ia bergerak, dari situ ia tergerak menulis , dari resensi sampai esai berbasis artikel di Koran. Disinilah dirinya mulai toucing ke arah itu.Bukan hal mudah menembus redaktur koran agar tulisannya layak di muat. Namun ia terus-menerus menggedor, tanpa kenal lelah dan putus harapan.Mungkin sekarang Mursidi sudah mendapatkan hadiah dari buah ketekunannya. Menulis merangkai huruf, menata tema dan memilih judul, bukan hal yang sulit bagi dirinya.

Selain tulisan itu mengantarkan dia lulus dari sekolah tinggi, lalu dimahkotai dirinya dengan sebutan wartawan, ada hal yang lebih berharga dari itu semua, yakni nasib dirinya yang dikawal oleh keyakinan, pemikiran, kata-kata, aksi, perilaku, nilai yang membadan menjiwa menjadi Mursidi. Adakah anak yang dibesarkan oleh jalanan ini akan melesat lagi menjadi aneka kemungkinan di masa depan? Sejarah membuka lebar-lebar tentang kemungkinan itu yakinlah masa depan tidaklah deterministik.

(Wakhid Nur Effendi)

Tidak ada komentar: