....

Minggu, 16 September 2007

Menghidupkan Kembali Kisah Ramayana

(resensi ini dimuat di Surabaya Post, Minggu 4 Sep 05)

-----------------------------------------
Judul buku : Ramayana
Pengarang : R.K. Narayan
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2004
Tebal buku : xviii + 236 halaman
-----------------------------------------


KISAH Ramayana haruslah diakui bukan cerita sembarangan. Dalam suatu pendahuluan novel Ramayana, karya Narayan ini, ditulis, "Hampir semua orang di India menganal Ramayana. Siapapun, berapapun usianya, apa pun penampilan, pendidikan bahkan statusnya, mengetahui inti dari epik ini serta mengagumi tokoh utamanya --Rama dan Sita. Bahkan, setiap anak pernah didongengi kisah ini saat hendak berangkat tidur."

Ungkapan dari Narayan di atas memang tidak berlebihan. Karena, karya Ramayana sudah mendarang daging bagi masyarakat India dan --sebagaimana juga Mahabarata- telah menjadi cerita klasik yang tetap masih mempesona sepanjang zaman. Tak pelak, meski ditulis Walmiki abad ke-4 SM dengan bahasa Sanskerta India (dalam bentuk sajak dua seuntai --sloka--, terdiri dari dua empat ribu stanza), sampai kini kisah itu selain menarik dan digandrungi banyak pembaca juga jadi ilham bagi banyak pengarang, yang kemudian mengakibatkan kisah itu tersebar ke penjuru dunia dalam berbagai bahasa dan versi.

Seperti dikisahkan Walmiki, Rama memang tidak lebih sebagai simbol perjuangan dari seorang raja yang jujur, memiliki kekuatan, sadar kewajiban, teguh melaksanakan sumpah, penuh kasih sayang, terpelajar, percaya diri dan menawan hati serta tidak terpengaruh oleh amarah dan iri hati.

Karenanya, meski ia adalah putra mahkota yang seharusnya mendapatkan tahta, namun karena satu keteguhan dalam memenuhi janji sang ayah (Dasarata) ia rela meninggalkan kemewahan dan kenikamatan kerajaan, lalu memasuki hutan selama 14 tahun sebagai seorang pertapa. Namun karena Sri Rama sungguh bijak dan layak jadi raja, setelah 14 tahun dilalui, akhirnya berhasil mengalahkan Rahwana, ia pun dinobatkan jadi raja.

Tapi, tak bisa dipungkiri, karena karya Walmiki ditulis dalam bahasa Sanskerta dan bahasa itu sudah merupakan bahasa kuno yang tidak semua orang bisa dengan mudah memahami, maka kisah klasik itu pun lalu disardur kembali dan disalin dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa nasional dan daerah (India), setidaknya terdapat buah karya Ramayana. Salah satu pujangga, yang berupaya mempelajari karya "asli" Walmiki serta kemudian menuangkannya kembali dalam bahasa Tamil, adalah Kamban. Namun karya kamban itu masih dalam bentuk sajak yang tidak beda dengan Walmiki (hanya beda bahasa dengan interpretasi).

Terilhami oleh karya pujangga Tamil, abad ke-11 itu, Narayan melalui novel Ramayana ini mengisahkan kembali kisah "the path of Rama" itu ke dalam bentuk novel. Jelas, karya Narayan ini bukanlah sebuah hasil terjemahan dari karya Kamban atau suatu studi ilmiah. Karya ini, tak lebih dari suatu bentuk produk sastra, yang dihasilkan dari dampak Kamban terhadap pikiran Narayan, yang menurutnya, memiliki stimulasi puisi dan ketepatan bahasa tinggi. Tidak berlebihan, jika semua itu mendorong Narayan menulisnya kembali dalam bentuk novel agar pembaca bisa menikmati dalam bentuk sastra yang lain.

Narayan, yang cukup serius memahami sajak Kamban, dapatlah dikatakan cukup piawai dalam menulis novel ini. Ia mengisahkan bagaimana Sri Rama yang dipandang raja Dasarata sudah cukup umur untuk menjabat sebagai raja Ayodya, karena tuntutan Kekayi akhirnya rela meninggalkan kerajaan, bersama Sita dan Laksmana selama 14 tahun. Bukan sebuah kehidupan yang menyenangkan hidup di hutan tak ubahnya sebagai pertapa. Tapi, Rama cukup tabah dan menerima semua itu dengan hati lapang sebagai satu bentuk penderitaan untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.

Tetapi, godaan dan angkara murka, tampaknya tak pernah sirna di alam belantara yang bernama hutan. Selain harus memerangi aksi ketidakadilan dari para raksasa jahat, saat Sita diculik Rahwana (setelah ia meminta Rama untuk menangkap kijang kencana), Rama pun demi sebuah tanggung jawab sebagai suami dengan susah payah --setelah Rama diberitahu keberadaan Sita oleh Hanoman--, akhirnya ia mencari Sita ke Alengka untuk merebut sang istri tercinta.

Perang pun terjadi antara bala tentara Rama dengan Rahwana, karena raksasa jahat Rahwana tidak mau menyerahkan Sita begitu saja, malahan hendak dijadikan permaisurinya. Rama --akhirnya-- bisa mengalahkan Rahwana setelah panahnya menghujam di tubuh si otoriter itu. Dengan kekalahan Rahwana, Sita bertemu kembali dengan Rama. Bukan karena Rama ragu akan kesucian Sita, jika ia sebelum dibawa pulang ke Ayodya sempat diuji dengan dibakar api dihadapan balatentara Sugriwa. Tetapi, Rama ingin menunjukkan kepada publik kalau Sita suci, maka ia akan selamat.

Karena Sita memang masih suci, dengan setia mencintai Rama dan tidak terpengaruh bujuk rayu dan ancaman dari Rahwana, maka Sita pun bisa selamat, dengan tak terbakar api. Karena saat itu, 14 tahun sudah pengembaraan Rama, maka ia pulang ke Ayodya kembali. Bharata yang sudah menunggu Rama kembali, akhirnya menyerahkan jabatan tapuk kerajaan pada Rama.

Satu catatan, membaca novel Ramayana karya Narayan ini -setidaknya- kita akan menemukan keakuratan dengan versi Walmiki. Karena, Narayan (juga Kamban) tak melanjutkan kisah cerita ini sampai Rama dan Sita berpisah untuk yang kedua kalinya, kemudian Sita ditemukan Walmiki dan melahirkan dua anak kembar, Kusa dan Lawa. Bahkan dalam cerita versi itu dikisahkan meninggalnya Rama dan Sita kembali ke rumah asli mereka ke kahyangan. Sebab bagi Narayan, kisah itu selain tidak populer, juga dianggap kurang autentik. Dengan kata lain, tidak lebih tambahan dari para pujangga yang terjadi di kemudian hari kepada versi asli karya Walmiki.

Akhirnya, meskipun karya ini sudah tergolong klasik setidaknya masih bisa diambil pelajaran dan nilainya dalam segala kondisi dan keadaan di era sekarang ini. Itu tak lain, karena bentuk-bentuk kejahatan Rahwana, masihlah bisa dijumpai dalam berbagai variasi dan aksi, yang tidak hanya pada bentuk kekerasan militerisme, penguasa politik, penguasa ekonomi global, melainkan pula bisa menjamah dalam lingkup kecil keluarga. Sementara itu, seorang Rama akan selalu muncul dengan gagah berani menegakkan keadilan, kebenaran serta demi sebuah perdamain dunia untuk kelangusngan kehidupan yang damai.***

*) Nur Mursidi, cerpenis, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: