....

Minggu, 16 September 2007

Menolak Ambiguitas Acara Televisi

resensi buku

Judul buku : Menolak nonton TV
Penulis : Kun Sri Budiasih
Penerbit : Dar Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal buku : 192 halaman

TELEVISI -diakui atau tidak- merupakan kotak ajaib yang membuat kita terhipnotis. Tak salah saat kita berada di depan layar televisi, kita seakan lupa waktu. Apalagi setelah di negeri ini lahir stasiun TV swasta yang tidak kurang 15 chanel. Televisi, kemudian menjadi sahabat atau teman yang menemani kita di kala duka dan suka. Bagaimana tidak? Dari pagi sampai malam, TV hadir untuk menghibur dan memberi sajian menarik seperti film, berita, pengetahuan, dan seabrek acara hiburan.

Tetapi, tak dapat diingkari dari siaran yang disajikan TV itu, sungguh bersifat ambigu. Sebab, di satu sisi, TV memang sebuah "jendela pengetahuan" karena dari berita dan informasi yang dibeberkan bisa membuat kita mengetahui dunia. Bayangkan saja, peristiwa yang terjadi di negara lain, ketika itu juga bisa kita ketahui dari layar kaca. Sementara pada sisi lain, televisi --tidak bisa dibantah lagi-- adalah kotak dungu yang membuat kita jadi bodoh. Sebab, tak jarang acara yang disajikan kerap diwarnai kekerasan, seks dan pornografi yang tidak membawa pengalaman baru atau hal baru.

Tak salah, jika "ambuguitas" siaran televisi itu kemudian mengundang kecaman sekaligus "pujian". TV digandrugi sekaligus dicaci maki. TV dikutuk sekaligus disenangi. Dari situlah, sangat beralasan kalau kemudian mengundang rasa prihatin banyak pihak. Sebab, dampak dari tanyangan TV tak bisa dibantah bisa meracuni anak-anak karena tak sedikit acara yang ditayangkan memang "tak mendidik". Apalagi, jika hal itu ditilik dari segi moral dan agama.

Buku Menolak Nonton TV karya Kun Sri Budiarsih ini lahir dari adanya rasa keprihatinan itu. Sebab di mata penulis meski TV memberikan pengetahuan, di sisi lain juga memiliki "dampak buruk". Ditulis oleh seorang yang memiliki rasa peduli dan keprihatinan mendalam akan dampak tayangan TV dengan memakai sudut pandang etika, penulis mengajak pembaca untuk kritis "memilih acara" yang disajikan. Selain itu, penulis memperlakukan TV bukanlah sebagai dewa, melainkan tak lebih sebagai tontonan yang sekaligus juga tuntunan (dakwah).

Pada awal sejarahnya, kehadiran TV memang dimaksudkan sebagai media komunikasi. Tak salah jika dari telusuran penulis tentang "sejarah televisi" ditemukan bahwa lahirnya TV memang didesain untuk media berkomunikasi. Bahkan sebelum ada TV, dulunya orang melakukan komunikasi menggunakan "bahasa asap" (bangsa India), obor (bangsa Romawi), memukul genderang (bangsa Afrika) dan kentongan (bangsa Indonesia). Lalu dengan berkembangnya zaman, ditemukanlah radio.

Tetapi, kehadiran radio itu diterpa tampilan visual TV yang ditemukan sekitar tahun 1930-an. Kendati demikian, stasiun TV percobaan yang dibuat di Amerika baru bisa beroperasi 4 tahun kemudian. Bahkan ketika perang dunia II (1942) meletus, stasiun TV itu terhambat lagi, karena Jepang menyerang Pearl Harbour dan baru tahun 1945 stasiun TV itu kembali "tayang" dan sejak itulah keberadaan radio digeser kekuasaan siaran TV.

Sementara, di negeri kita kelahiran televisi terjadi tahun 1962. Saat itu, baru lahir stasiun TVRI. Lalu sekitar tahun 1980-an, berkibar stasiun TV swasta dan kian tahun bertambah dan kini tak kurang dari 15 stasiun TV swasta yang mengudara. Anehnya, semakin banyak stasiun TV swasta yang siaran, justru menu acara yang disajikan ternyata tak proporsional. Sebab, di mata penulis, banyak sajian yang selain tidak tepat waktu "jam" tayangnya, juga tak jarang kurang mendidik, sehingga tak ubahnya menjadi racun.

Dari bermacam acara yang bersifat tak mendidik itu, Kun menyebutkan semisal; Dunia Lain, Kisah Misteri, Hantu dan acara yang menjadikan perempuan sebagai "obyek eksploitasi". Juga, acara gosip (seperti KISS), dan kriminal (semisal PATROLI, SERGAP, BIDIK, LACAK dan TKP). Sedang, untuk acara dialog keluarga, kesehatan dan mengelola rumah tangga boleh dikata minim.

Tak salah lagi jika penulis berang atas sajian yang tak proporsional itu. Sebab di mata Kun, sajian TV boleh dikata memenuhi standart dan memberi tauladan hanyalah saat bulan Ramadhan. Di bulan itu, TV menyadari pentingnya proporsi rohani, pendidikan dan dakwah. Sebut misalnya, sinetron "Jalan Lain ke Sana", "PadaMU Kubersimpuh", feature semisal Jazirah Nabi (TransTV) yang dapat "membuka" mata kita akan dunia Islam di masa lalu, meski masih juga ada beberapa tayangan yang tetap kurang layak seperti Variety Show.

Sebab, menurut penulis buku ini, televisi tetap tidak bisa lepas dari 6 prinsip untuk menjaga keseimbangan dalam memberikan informasi dan hiburan. Adapun 6 prinsip itu, pertama adalah jujur. Anehnya, banyak "sajian hiburan" gosip artis yang ditayangkan sekadar mencari sensasi. Kedua, tepat sasaran. Di sini Kun menyadari kalau banyak acara yang ternyata tidak tepat. Ketiga, bersifat obyektif. Di sini, penyampaian informasi dan berita harus obyektif dan tidak memihak. Keempat, dengan menggunakan bahasa mulia. Tapi kita sering mendengar bahasa yang digunakan para pembawa acara, kerap tak sopan. Kelima, mengajak kebaikan dan yang keenam, adalah memilih kata-kata yang baik dalam menyampaikannya.

Jika kita mau memegang enam prinsip itu, bukan saja telah menjadikan tameng diri untuk memilih acara mana yang perlu ditonton dan acara mana yang perlu diacuhkan, tetapi juga bisa kritis. Karena itu, buku ini harus diakui memiliki misi agung mengingat penulis mengajak kita bijak dalam memilih acara TV yang baik. Lebih dari itu, kita juga tak akan terhipnotis serta menjadikan TV seperti dewa.

Hanya saja, buku ini ditulis dengan cara sederhana dan tanpa didukung dengan kelengkapan referensi memadai. Tak salah, kalau kita tidak menemukan "daftar pustaka" di akhir buku ini, meski penulis tetap memakai rujukan tak seberapa banyak. Lebih dari itu, penulis dalam memberikan ulasan dan analisis juga kurang karena kering teori ilmu komunikasi dan pertelevisian.

Kendati demikian, sudut pandang yang dipakai penulis dengan memakai etika dan agama sebagai pijakan tak bisa dipungkiri justru memiliki kelebihan sebab bisa membuat kita sadar pentingnya moral di tengah gejolak zaman adalah keniscayaan. Tentunya, agar kita tak buta hati dan jiwa.***

*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta. Kini, jadi wartawan majalah Hidayah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sekarang pun acara-acara di bulan ramadhan juga tidak "baik" seperti dulu. misalnya sinetron; kok bisa-bisanya di bulan ramadhan ada cerita ttg perencanaan pembunuhan, pelecehan, caci maki....dll. Dari segi cerita pun makin aneh, tidak relevan, dan terkesan dibuat-buat. pun untuk adegan peluk-pelukan, berpegangan tangan masih saja ada.