....

Rabu, 24 Oktober 2007

Perang, Tradisi dan Sastra (Palestina)

(Esai ini dimuat di Surya dan penerbit alvabet, Minggu 10 Des 07)

KARYA sastra yang bagus kerap menyeruak dari celah keadaan zaman yang bergolak, adat yang mengungkung, situasi perang, kesengsaraan akibat pendudukan dan serinai "kesengsaraan hidup" yang mencekam. Karena itu, tak jarang sebuah karya sastra lahir dari gejolak perang, hegemoni adat istiadat yang memihak kaum lelaki dan kesengsaraan akibat pendudukan. Dengan kondisi zaman yang timpang itu, pengarang seakan dipanggil untuk bersuara lantang lewat karya sastra.

Lewat karya-karya itu, tidak ada misi lain yang ingin didengungkan oleh pengarang, kecuali menyuarakan keadilan, kebenaran dan berpihak kepada yang lemah. Bisa dimaklumi, kenapa pengarang harus bersuara lantang? Pertama, pengarang adalah penutur kehidupan. Ia memiliki sikap jujur, empati serta hati nurani yang mudah tersentuh tatkala zaman mengonyak rasa kemanusiaan. Kedua, pengarang adalah pembawa obor kebenaran. Jadi, apa yang menurutnya tidak sesuai dengan kebenaran --entah itu berdasar ajaran agama, hak asasi manusia, atau nurani-, maka ia akan memberontak lewat tulisan.

Kondisi zaman itulah, yang mau tidak mau, melahirkan pengarang-pengarang Palestina yang sepanjang sejarahnya nyaris tak pernah sepi dari "gejolak perang" untuk menuliskan apa yang dilihat, apa yang diterima dan apa yang dirasa atas perang dan adat yang mengungkung. Itu satu keniscayaan. Jadi, kelahiran pengarang seperti Mourid Barghouti dan Souad adalah "tuntutan zaman". Artinya jika tidak lahir kedua pengarang tersebut, Pelestina pun akan memberikan "ruang terbuka" bagi pengarang lain untuk tetap bersuara lantang guna menuntut keadilan, keberpihakan pada manusia yang lemah dan sebuah kehidupan yang lebih baik.


Menentang Perang
Di dalam novel I Saw Ramallah, Barghouti menuturkan negeri Palestina yang merana akibat pendudukan Israel. Tidak saja, negeri itu tak tertulis di dalam peta, atau tidak diakui sebagai sebuah negara, justru penduduk Palestina harus sengsara, tercerai berai atau berpisah dengan keluarga. Dan nasib tragis itulah yang dialami oleh Mourid Barghouti ketika Israel mencaplok negeri Palestina, sejak 5 Juni 1967.

Memang, Palestina seperti tidak pernah sepi dari gejolak. Sejarah Palestina mungkin adalah potret buram sejarah perang selama bertahun-tahun mulai dari perang salib, pertempuran Hattin 1187 dan pendudukan Israel. Dan sejak Palestina diduduki Israel 1967, Barghouti seperti tak lagi memiliki Palestina. Meski Palestina adalah tanah kelahirannya tetapi Israel melarang ratusan pemuda Palestina yang ada di luar negeri pulang ke Palestina, termasuk dirinya yang pada saat itu kuliah di Universitas Kairo.

Akibatnya, dia jadi orang naziheen (terbuang). Tak diizinkan masuk ke negerinya, terpisah dari keluarga dan selalu berpindah tempat tinggal. Ia baru bisa pulang setelah tiga puluh tahun hidup tanpa kewarganegaraan yang jelas. Setelah mengalami duka lara akibat dilarang pulang, akhirnya dia bisa berkumpul dengan keluarga di Palestina. Kisah I Saw Ramallah ini adalah perjalanan getir selama tiga puluh tahun itu sebagai orang terbuang.

Seperti Hemingway, Pramoedya dan juga masih banyak pengarang lain di dunia yang sempat turun ke medan pertempuran, Barghouti adalah pengarang yang merasakan hidup getir akibat perang. Maka tak salah jika perang menjadi semacam momok kehidupan yang harus ditolak. Hamingway pernah jadi tentara dan apa yang dirasakan dari perang kemudian dia kisahkan dalam Pertempuran Terakhir. Nasib sama dialami Pramordya. "Pahit getir" pada masa perang dapat ditengok dalam karya-karyanya. seperti Cerita dari Blora, Larasati, dan Perburuan.

Pendek kata, tak ada pengarang dunia manapun yang tak menolak perang. Karena pengarang memiliki semacam kewajiban untuk bersuara lantang dan tak ada cara lain lagi yang digunakan kecuali harus melakukan pemberontakan lewat tulisan, semisal novel. Dan Barghouti mendapat panggilan itu!


Ketidakadilan Tradisi
Palestina, rupanya, tidak hanya negeri yang masih dilanda kecamuk perang. Persoalan adat yang tidak adil masih juga mengungkung masyarakat Palestina, terutama di daerah-daerah pedalaman. Souad (nama samaran), dalam novel Burned Alive, menuturkan kisah yang dialami akibat tradisi yang memihak kaum lelaki, bahkan nyaris merenggut nyawanya.

Dikisahkan, di tempat Souad dilahirkan (Tepi Barat, Palestina), perempuan masih dianggap tak lebih dari keledai. Kelahiran anak perempuan adalah kutukan. Toh, kalau tidak dibunuh saat lahir maka diperlakukan tak adil, tak mendapat kesempatan seperti anak lelaki dan lebih tragis lagi; hukum menetapkan bahwa membunuh perempuan itu bukan "dosa." Apalagi, jika perempuan itu dicap sebagai charmuta (pelacur), maka atas nama kehormatan, adat telah menghalalkan perempuan itu dibunuh!

Nasib itu yang dialami Souad. Karena ia tidak direstui orangtuanya untuk menikah lantaran masih ada kakak perempuannya yang belum dilamar orang, maka dia yang sudah hamil duluan terpaksa dibunuh. Kenapa dibunuh? Karena, keluarga tidak mau menanggung malu. Dan, tindakan membunuh itu justru jadi hukum adat, dan pembunuh akan dijuluki sebagai "pahlawan". Hanya takdir yang kemudian menyelamatkan Souad dan pada akhirnya menuntun ia menulis novel kisah hidupnya ini supaya tradisi yang menghalalkan pembunuhan atas nama kehormatan itu diketahui penduduk dunia.

Masa Depan (Sastra) Palestina

Dari kedua novel yang ditulis oleh kedua pengarang asal Palestina itu, dapat digarisbawahi bahwa tema yang diangkat memang masih dalam kubangan sastra-kolonial dan masih belum "beranjak" dari bayang-bayang tradisi. Kenyataan itu dapat dipahami, karena Palestina hingga kini dalam gejolak perang. Kehadiran Barghouti seakan mewakili pengarang Palestina untuk menyuarakan keadaan negeri yang menjadi tanah kelahiran meraka dan mau tidak mau harus diperjuangkan.

Pada sisi lain, Palestina masih merupakan negara ketiga yang cukup kuat memegang tradisi. Dan salah satu kekuatan pendobrak yang mengikis kungkungan tradisi itu adalah mengulirkan gugatan yang dihembuskan lewat karya sastra. Kehadiran karya Souad, diakui atau tidak adalah jalan lempang bagi kemajuan Palestina, terutama bagi kaum perempuan supaya bisa terlepas dari jeratan radisi dan mendapat perlakuan adil seperti soal pendidikan dan tidak disamakan seperti keledai.

Satu hal lagi, masa depan sastra Palestina tak akan bisa mengalami perkembangan dan juga kemajuan selama perang masih bergejolak. Dengan kata lain, kemajuan sastra Palestina dengan begitu tergantung dari kemerdekaan Palestina. Tetapi, sayang seribu sayang. Sampai kapan rakyat Palestina akan menghirup udara bebas? Untuk itu, lewat sastra, Barghouti dan Souad berjuang untuk membuka "jalan lempang" bagi kemerdekaan Palestina dan juga kemajuan sastra Palestina.

Di sini bisa dibandingkan dengan kondisi pra-kemerdekaan Indonesia. Kehadiran sastrawan seperti Taufik Ismail dan Chaeril Anwar yang dapat mengobarkan semangat perjuangan guna melawan penjajahan adalah pintu awal dari sebuah perubahan. Juga kehadiran karya era Balai Pustaka seperti; Adab dan Sengsara, yang kemudian bisa membuat tradisi, lambat laun mulai ditinggalkan dengan satu catatan sepanjang adat itu mengungkung kehidupan manusia. Dan, apa yang dituturkan oleh Barghouti dan Souad, jelasnya diharap dapat mengubah keadaan bahwa kedua karya itu memang sebuah "potret buram negeri Palestina". ***

*) n_mursidi, adalah cerpenis, tinggal di Jakarta.


Tidak ada komentar: