....

Jumat, 05 Oktober 2007

Saat Perempuan Jadi Aib

(resensi ini dimuat di Jawa Pos, Minggu 21 Mei 2006)

Judul buku : Samira dan Samir
Pengarang : Siba Shakib
Penerbit : Alvabet Sastra, Jakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2006
Tebal buku : viii + 363 halaman

MENJADI ayah atau ibu bagi seorang jabang bayi yang lahir dari "buah perkawinan" adalah dambaan bagi semua orangtua di belahan bumi manapun. Tapi saat bayi yang lahir ke dunia itu berjenis kelamin perempuan, sebagian orang masih menganggap itu merupakan nasib sial. Kelahiran bayi perempuan masih dianggap "aib", luka dan sebuah tragedi. Pandangan kuat seperti itu tak lain karena perempuan masih dianggap makhluk tak penting, tak bisa meneruskan kepemimpinan sang ayah dan dinilai tak membawa masa depan keluarga di kemudian hari.

Di sisi lain, kelahiran perempuan itu pun masih membuat sang ayah seakan-akan merasa bukan sebagai "lelaki sejati" dan sang ibu juga bukan sebagai "wanita sejati". Apalagi jika keluarga itu termasuk kalangan yang dihormati dalam masyarakat. Akibatnya, "aib" itu kadang membuat sang ayah tidak mau menerima takdir Tuhan, merahasiakan agar tidak dianggap gagal sebagai pemimpin dan kemudian mendidik sang buah hati perempuan itu seperti anak lelaki pada umumnya.

Kelahiran anak perempuan yang tak diharapkan itulah yang membuat Pak Komandan, seorang pemimpin perang di Hindu Kush, di Afghanistan --sebagaimana dikisahkan dalam novel Samira dan Samir karya Siba Shakib ini-- menutup mata. Karena itu, saat menjumpai Daria -istrnya- melahirkan anak perempuan, dia kecewa.. Terlebih lagi, dia dikenal sebagai pemimpin yang butuh anak lelaki sebagai penerus dan dalam leluhurnya juga tidak pernah ada kelahiran anak pertama perempuan. Karena itulah, ia berusaha menutupi aib itu dan mendidik Samira seperti anak laki-laki; menunggang kuda, menembak, berburu dan naik-turun gunung.

Tidak salah jika Samira kemudian tumbuh menjadi bocah yang kuat, pandai menunggang kuda dan juga berburu. Bahkan, dia lebih kuat dan mahir berkuda dibandingkan dengan anak lelaki seusianya. Di dataran tinggi Hindu Kush, sebuah daerah pegunungan di Afghanistan yang dilanda perang itu, Samira pun lebih dikenal sebagai laki-laki tangguh. Penduduk kampung, kemudian mengenalnya sebagai Samir, seorang bocah lelaki, bukan Samira sebagai anak perempuan.

Tetapi, kematian Pak Komandan dalam sebuah peperangan menjadikan Samira yang masih bocah tidak mampu melindungi sang ibu ketika suatu malam Daria diperkosa sekawanan orang asing. Meskipun Samir berhasil membunuh seorang dari mereka, namun ancaman balas dendam dan kekuasaan atas harta peninggalan sang ayah --menurut adat dan tradisi harus dikuasai pemimpin baru-- membuat Samir dan sang ibu memilih melirikan diri ke kampung kakeknya (dari pihak Daria).

Di tempat kakeknya itu, Samir mulai diperkenalkan dengan kehidupan lain. Oleh sang kakek, Samir dimasukkan ke sekolah sehingga ia bisa membaca dan menulis. Meski demikian, identitas Samira sebagai perempuan tidak ada yang tahu kecuali ia sendiri dan Daria. Bahkan kakeknya tak tahu kalau ia itu perempuan dan berharap Samir kelak bisa menjadi pilot.

Persoalan rumit akibat pembentukan identitas itu mulai muncul, kala Samira beranjak jadi perempuan dewasa, mengalami menstruasi dan dihadapkan pada dilema kisah cinta. Apalagi, saat itu ia dihadapkan pada dua pilihan; satu sisi Samira dikenal sebagai lelaki yang tampan dan jadi idaman semua perempuan sehingga tak salah kalau Komandan Rasyid hendak menikahkan Samir dengan Gol-Sar, anak perempuannya. Di sisi lain, rahasiannya sebagai seorang perempuan --sejalan dengan waktu-- ternyata sudah diketahui Bashir dan keduanya juga saling jatuh cinta. Tidak ingin mengkhianati keluarganya, terutama ibunya, maka Samir akhirnya menikah dengan Gol-Sar meski hanya semalam.

Lalu, ia menyusun siasat membuat dirinya seolah-olah mati syahid terkena ranjau. Padahal, di balik siasat itu ia sudah merencakan untuk hidup bersama Bashir. Siasat itu rupanya berhasil. Lalu, Samira dan Bashir menjadi suami istri meski dengan pilihan pergi dari desa tempat kakeknya. Tapi dalam perjalanan kembara itu, Samira merasa dirinya dengan Bashir bukanlah sepasang suami istri. Ia lebih merasakan kehangatan sebagai teman karena keduanya sejak kecil sudah akrab dan hidup sebagai teman sejati. Kedekatan sebagai teman itu, rupanya menjadikan Samira canggung menjalani kehidupan sebagai istri sebab ia harus memiliki perangai lembut, halus dan itu membutuhkan waktu yang tidak bisa diubah dalam semalam atau sebulan.

Meski Siba Shakib dikenal sebagai pengarang kelahiran Iran, namun hal itu tak menghalangi detail dan penggambaran setting di pegunungan Hindu Kush (di Afghanistan) menjadikan novel ini kering dan kabur. Shakib seakan tahu betul lereng dan bukit-bukit di Afghanistan itu sehingga penggabaran di novel ini membuat pembaca seolah melakukan kembara di pegunungan Afgahnistan sungguhan. Penggambaran yang berhasil itu lantaran Siba memang sering melakukan perjalanan ke wilayah teritorial Afgahnstan. Siba bahkan tidak cuma memotret "apa yang tampak" dipermukaan, juga behasil menggali relung terdalam dari kepercayaan, mitos dan mistik yang masih kuat dipegang oleh penduduk di Hindu Kush, semisal kekuatan "sihir" batu dan azimat di leher Samira -- sehingga menjadikan novel ini memiliki kekuatan lebih.

Kelebihan lain dari pengarang yang menempuh pendidikan di Universitas of Heidelberg, Jerman serta mempelajari lima agama ini adalah kemampuannya mengolah cerita yang tidak mudah ditebak. Dari kelebihan itu, pembaca akan merasa penasaran dan ingin terus membaca sampai tuntas. Apalagi, Shakib mampu menggabungkan kelincahan dalam mengembangkan cerita dan pilihan bahasa. Tidak salah, kalau membaca novel ini terasa seperti terbius karena pengarang yang kini menetap di tiga negara --Italia, New York dan Jerman-- ini mampu membuat tertegun pembaca dalam menggumuli cerita yang mengalir bagus namun berliku.

Mungkin yang patut disayangkan, konflik peperangan di Afghanistan yang berkecamuk hanya menjadi semacam serpihan cerita dan tak disinggung dengan cukup gamblang. Seolah-olah peperangan itu hanya sekedar desir dan kecamuk tragedi yang mengakibatkan penderitaan. Tak lebih dari itu! Jika saja Siba mau memasukkan sejarah keterlibatan Rusia dan persoalan Taliban, novel ini tentu akan lebih memiliki "nuansa historis" dan sosial, tak cuma menyentuh aspeks psikologis. Tetapi sehebat apapun sebuah karya novel, memang memiliki kekurangan dan itu wajar. Namun gejolak novel yang mengungkap sisi batin terdalam dari tokoh Samira --atau Samir-- sudah cukup membuat hati pembaca berdegup kagum dan hanyut.***

*) n_mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: